Share

3. And Do You Think That You Have Another Choice?

PASPOR? Ya, Liz punya, tapi belum sempat dia menjawab, Luca lebih dulu mengangkat sebuah tas berwarna biru. Tepatnya tas biru milik Liz yang berisi semua dokumen berharga yang dia kumpulkan semalam dan pria Italia itu tengah mengubek isinya.

“Oke, beres, semua yang dibutuhkan ada di sini,” ujar Luca setelah menepuk lembut tas itu. “Jessy, sana cari ponselnya.”

“Ke mana perginya skenario ramah tamah yang kita pelajari semalam?” gerutu Jessy.

“Hei! Jangan sentuh barang-barangku!” protes Liz pada mereka. Dia akan menyemburkan protes lainnya seandainya pria pirang yang Jessy panggil Stefan tidak berbalik dan membawanya ke lorong.

Liz merasa seperti anak kecil yang dirampok kakak kelas. Tidak, tunggu, apa lebih tepatnya ini penculikan?

“Tu-turunkan aku,” pinta Liz sembari bergerak gelisah dalam gendongan Stefan.

Jawaban pertama Stefan adalah memiringkan bibirnya. “Dan membiarkanmu kabur? Tidak, terima kasih, lagi pula kau lebih ringan daripada wanita hamil terakhir yang aku gendongan.”

Apa yang pria ini ocehkan? Liz tak yakin.

Jessy dan Luca menyusul tak lama kemudian. Jessy menggerutu sementara Luca dengan santai menenteng tas biru milik Liz.

“Ru-rumahku, apa yang kalian—” Liz tergagap.

“Wow, tenang-tenang, kami menguncinya kok, dan kami juga sudah menghubungi pemilik apartemen untuk mengamankan rumahmu, pokoknya beres. Ngomong-ngomong kau memang sudah bersiap pergi ya? Untung kami tidak terlambat,” ujar Jessy sambil menampilkan senyum manis.

Liz tak tahu apakah harusnya dia naik darah, menangis, atau malah bersyukur karena orang-orang ini bilang akan membantunya. Tapi mereka bahkan orang asing! Bagaimana dia bisa percaya semudah itu pada mereka?

Oke, Liz memang mengenal Jessy tapi itu hanya sebatas mengikuti sosial media dan majalahnya, dan itu jelas berbeda.

Mereka memasuki lift diiringi celotehan Jessy dalam bahasa yang tak dipahami Liz. Sementara itu, Stefan menekan tombol ke lobi setelah menurunkan Liz. 

“Berapa usia kandunganmu?” tanya Stefan.

“Tiga bulan,” jawab Liz. “Ka-kau benar-benar akan membawaku ke—”

Stefan tersenyum, dan dia punya satu lesung pipi kecil di sudut bibirnya. “Italia? Rumah keluarga Robin dan Luca? Ya, tentu saja itu yang akan kami lakukan.”

“Kau pikir aku mau ikut begitu saja?” pekik Liz.

“Dan kau pikir kau punya pilihan lain?” tanya pria itu dengan satu alis terangkat.

Liz terdiam. Apa dia punya? Apa Liz punya kuasa untuk menolak orang-orang ini? Mereka jelas punya uang dan kekuasaan untuk membantu atau malah mempersulit Liz. 

“Stefan,” desis Jessy, “kau membuatnya takut!”

“Aku hanya membantunya membuat pilihan yang logis. Dia toh tak akan bisa bertahan dengan mudah mengingat dia pengangguran dan tanpa sokongan,” sahut Stefan. “Kau yang bilang sendiri lebih cepat lebih baik.”

Jessy kembali mengomel dalam bahasa yang tak dipahami Liz.

Lift berdenting merdu dan pintunya membuka. Stefan meraih Liz lagi dan wanita itu memekik kaget ketika kembali digendong. Sialnya, dada bidang Stefan memberikan rasa aman bagi Liz tatkala pria itu mendekapnya.

Liz bersyukur tak banyak orang yang berada di lobi saat ini. Hanya beberapa tetangga yang tidak terlalu dia kenal. Hanya saja dia tetap merasa malu karena orang-orang itu sampai melongo menatapnya.

Atau malah mereka melongo menatap tiga orang rupawan yang mengawal Liz ini? Sesuatu seperti:

Ya Tuhan, apa itu benar-benar Jessy Hester?!

Siapa para eksekutif tampan itu?

Sejak kapan aku punya tetangga sekeren mereka?

Dan sebagainya-dan sebagainya.

Liz merutuki diri sendiri karena masih sempat-sempatnya memikirkan itu di saat seperti ini. Empat tahun tinggal dengan gadis Asia berselera humor hiper yang siapa lagi kalau bukan sahabatnya Niki membuat Liz ketularan kebiasaan aneh melucu di saat-saat urgent.

Di depan lobi, sebuah mobil hitam dan seorang pria kekar bak bodyguard resmi menunggu mereka. Pria itu membukakan mobil untuk Stefan dan Stefan mendudukkan Liz di jok penumpang dari kulit itu.

Jessy dan Luca menyusul masuk. Jessy duduk di sebelah Liz, dan para pria duduk menghadap mereka.

Luca mengatakan sesuatu pada sopir setelah si pria kekar masuk ke jok penumpang depan. Luca kemudian menekan tombol untuk menutup jendela pemisah sementara mobil mulai berjalan menjauh dari apartemen Liz.

Melaju melewati jalanan lembap London di bulan April.

***

“KALIAN menculikku,” gerutu Liz, setengah jam setelah pesawat jet pribadi keluarga Lucchesi lepas landas. Liz merasa seperti berada di dimensi yang berbeda di dalam segala kemewahan pesawat ini. Dengan kursi empuk dan selendang kasmir tersampir di sandarannya. “Aku bahkan belum mandi pagi!”

Dan dia masih memakai pakaian tadi malam sementara jam digital pesawat menunjukkan pukul sebelas tiga puluh, sebentar lagi tengah hari. Rambutnya awut-awutan, dan bercak di wajahnya pasti terlihat jelas karena Liz sama sekali tak berbedak.

Meski Niki selalu menyeletuk, “Kenapa malu? Freckles kan sedang jadi trend sekarang.” Liz tetap malu karena dia adalah wanita keturunan Irlandia dengan bercak di seluruh tubuh. Seringnya dia merasa iri dengan kulit mulus bak bayi milik Niki.

Ugh, bayi, aduh ... enam bulan lagi Liz akan memiliki bayi dan dia malah meributkan masalah kulitnya.

“Apa kau sudah sarapan?” tanya Jessy ramah.

“Belum.” Karena Liz mengalami morning sickness dan memilih menyibukkan diri dengan mengemasi barang-barangnya. “Tapi kalau pun kau hidangkan makanan untukku, aku mungkin hanya akan memuntahkannya.”

Jessy berkedip lalu meletakkan majalah fashion sebelumnya dia bolak-balik. Dia lalu bertanya, “Bagaimana kalau makanan ringan saja? Susu untuk hamil? Puding?”

“Kalian punya susu ibu hamil di pesawat?” tanya Liz terheran-heran.

“Yah, tentu saja kami menyiapkannya untukmu,” jawab Jessy. Model ternama itu lalu berbicara pada seorang pramugari. Lima menit berikutnya Liz mencicipi sesendok puding lembut dengan potongan buah jeruk di dalamnya, san kemudian menyerbu puding itu.

“Baiklah, sepertinya kau sudah cukup santai sekarang,” gumam Luca.

Liz mendongak dari piring pudingnya dengan ekspresi malu. Pipinya bersemu lebih merah lagi ketika sadar Luca dan Stefan tengah menatapnya.

“Dengar, Liz, aku akan menjelaskannya singkat saja agar kau tidak ketakutan lagi. Nanti di rumah kami, kau akan menemui ayahku dan Robin, kakek bayimu. Kuharap kau bisa bersikap kooperatif dengan kami demi ayahku,” jelas Luca.

Sayangnya Liz tidak memahami apa yang cowok itu bicarakan. “Ayahmu? Robin pernah bercerita sekali tentang dia ... namanya Matteo?”

Luca mengangkat bahu lalu menjawab, “Satu bintang emas untukmu, benar. Ayahku menghormati hubungan kekeluargaan, dan dia benar-benar ingin bayimu menyandang nama Lucchesi. Jadi, kau tidak boleh mengatakan apa pun yang menjurus ke menjauhkan ayahku dari cucunya. Atau kau akan menyesal.”

Atau kau akan menyesal. Kalimat itu berdegung di telinga Liz dan dia kembali merasa ketakutan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status