공유

4. Lucchesi's Palazzo

KAMAR mandi pesawat jet pribadi itu sangat bagus, yah, sama seperti seisi pesawat yang bahkan jauh lebih mewah daripada apartemen Liz. Hanya saja berada di sana membuatnya tegang. 

Sepanjang perjalanan Liz bertanya-tanya apa yang menunggunya di Italia? Keluarga kaya raya? Wah, kalau yang itu sepertinya sudah jelas. Nah, bagaimana kalau keluarga kaya raya yang tiran? Liz gugup memikirkan kemungkinan itu.

Tapi rasanya tak baik mencegah keluarga bayinya dekat dengannya. Jessy toh bilang bahwa mereka berniat membantu Liz, meski Liz merasa seperti tengah terlibat dalam adegan penculikan tak masuk akal. Lagi pula Liz yakin keluarga Robin tak akan menyakiti Liz maupun calon bayinya.

Kini dari balik kaca mobil, Liz memandangi teras dengan tiang marmer putih yang dililiti tumbuhan wisteria itu. Deretan lampu bundar bersinar kuning pucat membuat tempat itu semakin eksotis dengan tembok yang tertimpa efek bayangan dari dedaunan wisteria. Berlatar langit gelap malam hari dengan sepercik bintang. Tempat ini terlihat seperti puri megah dari zaman kejayaan Yunani alih-alih hunian sebuah keluarga modern.

Dan Liz pasti sudah sinting karena membandingkan teras indah itu dengan kamar mandi pesawat. Tidak, tidak, Liz hanya sedang mengira-ngira apakah tempat itu sama nyamannya tapi menakutkan seperti efek pesawat mewah itu?

“Terima kasih,” ujar Liz pada seorang pria yang membukakan pintu mobil untuk Liz.

“Nah, kau akan suka tempat ini,” ujar Jessy yang kini menggamit lengan Liz.

Rombongan mereka lalu berjalan menapaki undakan batu depan, menuju pintu ganda dari kayu yang teroksidasi.

Liz berusaha keras untuk tidak melongo sementara tangannya mencengkeram tepian gaun krem yang dia kenakan. Oh ya, dia sudah mandi dan berganti pakaian di pesawat, dan Jessy bahkan menyisiri rambut serta mendandaninya sedikit. Penampilannya, yah, setidaknya sudah pantas untuk menghadap keluarga miliuner Robin.

Tapi Liz tetap merasa gugup, dan sepertinya juga jet lag.

Pintu ganda besar itu terbuka.

Jessy mendorong lembut Liz agar terus melangkah.

Bagian dalam aula rumah itu mengguncang Liz secara mental.

Seandainya situasinya berbeda, jiwa seniman Liz pasti sudah menggila dalam tuntutan untuk meneliti setiap detail rumah berkelas ini. 

Mulai dari jambangan bunga porselen, lampu kristal megah di langit-langit, barang-barang antik, tangga melingkar dari marmer, dan barisan pelayan berseragam serasi yang membungkuk ke arah pintu. Tempat ini terlihat seperti museum. Yang paling menarik perhatian Liz adalah lukisan besar di dinding yang menggambarkan sebuah pesta di pedesaan.

Liz berdoa semoga dirinya tidak kolaps di tempat semegah ini.

Di tengah-tengah barisan para pelayan, seorang pria Italia dengan rambut abu-abu tapi masih berdiri tegak dengan sisa masa kejayaan seorang pria muda tersenyum cerah pada Liz.

Nah, Liz pernah melihatnya di foto yang ditunjukkan Robin. Hanya saja dalam foto itu, Matteo Lucchesi mengenakan kemeja biru muda dan terlihat seperti pria akhir lima puluh dengan ekspresi tenang. Alih-alih dengan setelan resmi yang dia kenakan sekarang.

“Selamat datang di Palazzo Lucchesi, Nak.” Pria itu menyapa ramah sembari merentangkan tangan dan memeluk Liz dengan lembut. Sementara itu, Liz terbengong-bengong kikuk setelah Matteo mengurai pelukannya. “Selamat datang di keluarga kami,” tambah Matteo.

Liz mengangguk gamang pada pria itu lalu pada seorang wanita paruh baya dengan beberapa helai uban. Liz mengenalinya sebagai bibi Robin yang perawan tua, Laura Ana Lucchesi. Sayangnya wanita itu tidak seramah Matteo. Hanya membalas sapaan Liz dengan mengangkat dagu lebih tinggi dan mendengus.

“Ayo, kemari, ikuti aku. Perjalananmu pasti melelahkan apalagi kau sedang hamil,” ujar Matteo prihatin. Pria Italia itu menggiring Liz menaiki tangga besar berlapis karpet merah tebal.

Mereka sampai pada puncak tangga yang mengarah pada tiga kiridor berbeda. Matteo menuntun Liz untuk berjalan ke koridor kiri. Dinding dipenuhi lukisan antik serta pintu-pintu dari kayu ek hingga rasanya Liz tengah memasuki sebuah hotel bergaya art deco. Liz sangat ingin berhenti dan mengamati setiap lukisan itu, tapi Liz tak ingin membuat Signor¹ Matteo repot. 

Matteo akhirnya berhenti dan mendorong salah satu pintu hingga terbuka. “Ini kamarmu,” ujarnya pada Liz, mempersilakan wanita itu masuk lebih dulu.

Oke, kamarnya bahkan lebih bagus daripada kamar hotel murah yang pernah dimasuki Liz. Dengan karpet bulu tebal, ranjang bertiang empat dilengkapi tirai kain putih berenda, dan jendela besar yang menampilkan pekarangan samping palazzo.

“Callida akan membantumu menyediakan dan menyiapkan keperluanmu selama tinggal di rumah ini,” ujar Matteo.

Liz refleks berbalik untuk menatap ayah Robin itu dan mendapati seorang wanita montok berpakaian pelayan dengan overal hitam dan sepatu datar hitam mengilap, berdiri tak jauh dari Matteo. Yang lebih penting, wanita itu membawa tas biru milik Liz yang sebelumnya ditawan Luca.

Matteo lalu berkata, “Nah, kuharap kau suka kamar ini.”

“Oh, Signor Lucchesi, tempat ini menakjubkan.” Liz jujur dalam hal ini. Ekspresi lega sontak terlukis di pria paruh baya itu.

“Syukurlah kalau begitu. Kau bisa istirahat dulu dan nanti Callida akan memberitahumu waktu untuk makan malam.” Matteo lalu pamit dan menghilang di koridor.

Liz termenung untuk beberapa saat, lupa bahwa Callida masih menemaninya tanpa suara.

“Oh, uhm ... bisa tolong berikan tasku?” pinta Liz dengan senyum canggung. Callida mengangguk dan memberikan tas biru itu.

Liz lalu duduk di kursi yang menghadap sebuah meja kayu antik, berhati-hati agar tidak menggores perabotan sementara tangannya memeriksa isi tas.

Semua dokumennya lengkap, Liz toh tak punya banyak dokumen penting, beserta ponsel Liz dan kunci apartemen. Mereka bahkan memasukkan iPad warna metalik yang sayangnya itu bukan milik Liz melainkan kepunyaan Niki, yah nanti Liz mungkin akan memaketkannya ke London.

Dan ... pada dasarnya Liz tak punya apa-apa kecuali dokumen tersebut, serta enam puluh pound sterling sisa uang pemberian Niki sebelum gadis itu—Liz tak pernah bisa menyebut Niki sebagai wanita meski dia sudah dua puluh tiga, Niki selalu terlihat seperti sembilan belas—pergi ke Oxford. Sekali lagi Liz merasa kehilangan jangkar kehidupannya.

“Callida?” panggil Liz pada wanita montok yang sebagian rambutnya beruban itu. “Kau bisa err ... tinggalkan aku, aku baik-baik saja sendiri.”

Semenit berikutnya, Liz menyelami keheningan dalam kamar itu. Wanita itu juga mulai menimbang-nimbang untuk menelepon ibunya, tapi sayangnya Liz masih terlalu gugup. Liz belum memberitahu soal calon bayinya, dan kini dia malah berakhir di rumah mewah di Italia.

Liz lalu duduk di pinggir ranjang dan serta merta tergoda untuk berbaring, karena demi apa pun ranjang itu lembut sekali. Liz berbaring telentang dan mengelus perutnya.

“Apa ayahmu masih di rumah sakit?” bisik Liz pada bayinya, yang entah sudah memiliki indra pendengaran atau tidak. Yah, biologi bukan bidang Liz.

Jessy dan yang lainnya sama sekali tidak membahas keadaan Robin. Kenapa? Untuk menghormati perasaan Liz karena Robin membuatnya patah hati? Atau apa karena pria itu masih koma? Karena itu adalah berita terakhir yang Liz baca di koran sebelum memutuskan untuk mengenyahkan Robin dari pikirannya.

Liz nyaris tenggelam dalam tidur ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Buru-buru wanita itu turun dari ranjang dan menyambar ponsel dari meja.

Detik berikutnya setelah Liz membaca sekilas nama penelepon, jantung Liz seakan direnggut.

“Robin ...,” bisiknya.

AN:

1. Bahasa Italia yang setara dengan Mr. / Tuan

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status