Nadya melangkah masuk ke dalam cafe tempat dirinya dan Lukman berjanji untuk bertemu. Baru beberapa langkah, saat dia melihat Lukman sudah duduk dengan segelas kopi kesukaannya.
Dengan langkah anggun Nadya mendekat, lalu duduk di kursi berhadapan dengan pria kepercayaannya itu.
“Maaf, aku terjebak macet,” seru Nadya sesaat setelah bokongnya mendarat dengan nyaman di kursi.
“Tidak apa-apa Nyonya, saya juga baru saja sampai. Oh, ya! Nyonya pesan apa?” Lukman melambaikan tangan kepada pelayan, yang dengan sigap langsung menghampiri mereka.
“Pesan apa Nyonya?” si pelayan bertanya dengan pena dan note book di tangan.
“Saya pesan segelas Americano.”
Pelayan tadi tampak mencatat, “ Ada lagi Nyonya?” tanya pelayan itu kembali.
“Tidak! Cukup itu saja.”
Si
“Ma -maaf kan saya Tante, eh, Nyonya!” Alea bangkit dari kursi, kemudian membungkuk berkali-kali pada Nadya. Dia sungguh merasa malu sudah mengatakan hal yang tidak-tidak tadi.“Tidak usah merasa bersalah begitu, panggil saja tante! Lagipula bos mu itu memang harus diberi pelajaran pakai sapu!” Nadya mengedipkan sebelah matanya, membuat Alea semakin salah tingkah.“Ayo, duduk sini.” Nadya menepuk kursi Alea, sebagai isyarat agar gadis itu kembali duduk. Tapi Alea sudah tidak merasa nyaman berada disana.“Bagaimana tawaran Bu Nadya tadi, apa kau menerimanya? Mencari pekerjaan sekarang sangat sulit, dan aku yakin bos mu itu, sudah menyuruh asistennya untuk memblokade semua jaringan bisnis yang dimilikinya, agar tidak menerima pegawai atas nama Azalea.”Bola mata Alea membulat sempurna mendengar ucapan Lukman barusan. Dia tidak percaya jika Leon akan berti
“Aku minta maaf!” ucapnya sekali lagi dengan nada ketus.“Kelihatannya kau tidak tulus,” sahut Alea mencibir. Gadis itu bersedekap, memandang Leon sinis.“Ulangi!” perintah neneknya sekali lagi.Leon menghela nafas panjang kemudian berdehem, lalu berkata, “Aku minta maaf Alea! Aku sangat menyesal, tolong maafkan aku.”Usai berkata seperti itu, Leon mengurai seulas senyum pada gadis di hadapannya. Sejenak Alea terpaku melihat senyum Leon yang mengingatkannya pada seseorang, tapi lagi-lagi dia menepis perasaan itu.Hamidah yang melihat keduanya saling tatap, kemudian berdehem dengan senyum dikulum. Wanita tua itu dengan mudah bisa melihat perasaan dua orang beda jenis di depannya.“Alea, apa kau sudah memaafkan cucu nenek?” tanya Hamidah lembut.“Iya, Nek! Demi nenek, a
Dengan kesal Leon melajukan mobil nya kembali menuju kantor. Dia akan terlambat setengah jam walaupun sudah memacu kenderaan itu dengan kecepatan tinggi. Sementara Alea sudah berada di dalam rumah, dan berbincang dengan Hamidah di meja makan. “Kau pasti belum sarapan, ayo! Sarapan dulu sama nenek. Setelah ini kita ke kebun belakang, temani nenek memeriksa tanaman buah disana.” Hamidah memberi kode pada asisten rumah tangga agar membawakan piring untuk Alea. Gadis itu terlihat canggung untuk menolak ajakan si nenek. Lagipula perutnya memang belum berisi apapun, karena Leon menjemputnya terlalu cepat. Usai makan, mereka berbincang sebentar, lalu Alea mengikuti langkah nenek itu ke belakang rumah yang jaraknya lumayan jauh. Dalam hati, gadis itu jadi berfikir berapa kira-kira luas rumah keluarga Hutomo. “Kita duduk di sana,” seru Hamidah menunjuk sebuah gajebo di antara po
Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Nadya. “Maaf, saya tidak faham ucapan tante,” ujar Alea tidak enak.“Aku tidak bermaksud apa-apa, tidak usah terlalu di fikirkan.” Nadya tertawa garing melihat reaksi Alea. Kemudian bangkit dan memasangkan kalung tadi di leher jenjang gadis itu.“A -apa, aduh ma -maaf, tante tapi aku tidak bisa menerima ini!” seru Alea menolak saat kalung itu hampir saja bertengger indah di lehernya.“Kenapa?” tanya Nadya heran.“Saya hanya merasa tidak pantas. Kalung itu sangat berharga untuk tante dan keluarga tante. Saya rasa Leon lebih berhak, Tante!”Alea menolak dengan sopan. Wajah nya terlihat sangat tidak nyaman.“Leon sudah punya yang sama persis seperti ini,” sahut Nadya mengangkat kalung itu tinggi-tinggi di depan wajah.“Aya
Entah kenapa, walaupun dia sangat membenci Leon, hatinya merasakan sakit saat mendengar ucapan pria itu barusan.“Apa salahku?”Apa salahku? Apa pria ini benar-benar tidak tahu letak kesalahannya? Baiklah akan kuberi tahu dia tentang kesalahan nya!Alea segera berbalik. Hatinya yang tadi tersentuh, kini kembali mengobarkan api amarah. Dengan langkah lebar dia berjalan mendekati Leon yang masih setia berdiri di balik pagar.Namun, semua amarah yang tadi hendak meluap, seketika kembali surut saat melihat pria itu memperlihatkan wajah putus asa. Ekspresi wajah yang selalu diperlihatkan Leon kecil, padanya dulu saat di kampung.Alea kembali tertegun dengan bibir membisu. Dia menatap wajah Leon beberapa saat lamanya, hingga mata mereka saling beradu pandang. Buru-buru gadis itu mengalihkan pandangan, dengan wajah bersemu merah. Kini Leon memiliki kesempat
“Kamu pilih juga yang kamu suka ya,” ucap Hamidah pada Alea. Gadis itu mengangguk sungkan dan membiarkan Hamidah memilih-milih pakaian dengan pegawai tadi.Setelah kedua orang itu hilang di balik tumpukan baju, Alea berjalan mendekati pakaian yang sangat disukainya tadi. Perlahan tangannya mengusap permukaan bahan pakaian itu, sangat halus. Diusapnya dengan sayang, dan memeriksa tiap bagian-bagian baju itu.“Cantik sekali!”“Kamu suka?” tiba-tiba Hamidah sudah ada di belakangnya bersama pegawai tadi.“Eh, enggak Oma! Cuma lihat-lihat aja, kok!” seru gadis itu kikuk, karena ketahuan.“Udah! Ambil aja. Mbak, ini di bungkus juga ya!” Hamidah memerintah pegawai tadi untuk membungkus pakaian itu juga bersama pakaian yang sudah di pilih untuk dirinya.“Jangan, Oma!” Alea menolak dan memberi isy
Hamidah melarang Alea menelepon ibunya. Dengan sengaja ingin membuat kejutan antara ibu dan anak itu.Sekitar satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah Alea, setelah sebelumnya membeli banyak makanan juga oleh-oleh dan buah. Alea sampai berkali-kali menolak dan meminta tolong agar Hamidah tidak melakukan hal itu padanya, tapi tak sekalipun di gubris oleh wanita tua itu.Mobil berhenti di depan rumah Alea yang memiliki halaman luas dan tidak dipagar. Mendengar suara mobil di luar, Ibunda Alea yang sedang memasak di belakang, mematikan api kompor dan berjalan tergopoh-gopoh ke bagian depan rumah. Tak biasanya ada tamu dengan mobil datang berkunjung.“Assalamu’alaikum, Bunda!” seru Alea setengah berlari memeluk ibunda nya. Sang bunda balas memeluk anaknya dengan perasaan bingung.Di belakang Alea, Hamidah berdiri bersama sopir pribadinya. Menyadari hal itu, Ibunda Alea melepas pelukann
“Kenapa?” tanya Asha, bunda Alea keheranan melihat reaksi anaknya. “Ya, enggak apa-apa sih, Bunda!” Alea meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gadis itu merasa mati kutu. Bagaimana bisa bunda nya dengan santai mengundang pria yang paling di hindarinya itu ke rumah mereka. “Kamu udah siapkan kamar depan buat Oma?” Bundanya lagi-lagi bertanya, hingga membuyarkan lamunan gadis itu. Diapun mengangguk mengiyakan, dengan kedua jempol terangkat ke depan. Hamidah dan Asha sama-sama tersenyum melihat tingkah gadis itu. “Pak Asep kemana ya?” Hamidah bertanya sambil melongokkan kepala mencari keberadaan sopir nya. “Tadi sepertinya di depan, sama ayahnya Alea. Kebetulan hari ini ayahnya pulang cepat. Habis rapat katanya.” Bunda Alea menjelaskan dengan panjang lebar, sambil tangannya tak henti merapikan berbungkus-bungkus makanan yang tadi dibawa Alea dan Hamidah. Menyusunnya ke dalam lema