Gendhis begitu antusias mengajak Reksa berkeliling desa. Semua gadis yang melihatnya tampak begitu iri karena Nona Gendhis bisa dengan mudah berdekatan dengan Juragan tampan yang dari kota itu. Sampai di sebuah sungai yang jernih airnya, Reksa mengamati satu persatu orang yang ada di sekitar sungai itu. Sampai akhirnya Reksa tersenyum ketika menemukan sosok gadis yang ia cari-cari. Gadis itu di sana, sedang bermain air dengan kedua gadis lain seumuran dengannya.
"Sungai di sini sangat jernih," Reksa mulai membuka suara.
"Iya Tuan, itu sebabnya saya mengajak Anda mampir di sini agar bisa melihat indahnya tempat ini." Sahut Gendhis dengan senyumnya yang merekah indah.
"Sebetulnya saya juga ingin bermain air di sungai seperti mereka. Tapi mereka dan saya berbeda. Mereka gadis desa biasa, sedangkan saya gadis dari keluarga terhormat anak seorang Juragan terhormat di desa ini." Ucap Gendhis mengamati aktifitas orang-orang desa di sungai. Ada yang mencuci, ada yang mandi, ada juga yang sekedar bermain air ataupun memancing.
Reksa tersenyum masam mendengar penuturan dari gadis yang bersama dengannya ini. Menurutnya gadis yang saat ini berdiri di sebelahnya ini terlalu sombong.
Wajah Gendhis berubah sinis ketika penglihatannya menangkap ada seorang gadis berjalan hendak meninggalkan sungai diikuti oleh kedua temannya. Gadis itu menyapa Gendhis dan Reksa dengan tersenyum dan menundukan sedikit kepalanya. Namun Gendhis malah membuang mukanya.
"Bukankah gadis itu sedang menyapamu?" tanya Reksa.
"Aku tak sudi melihatnya!" Seru Gendhis membuat Reksa menyerngit.
"Gadis itu yang membuat Ayah dan Ibu dulu sering bertengkar," sahut Gendhis.
"Mengapa begitu?" tanya Reksa penasaran.
Gendhis membuang nafasnya, "setahun lalu Ayah meminang dia untuk dijadikan istri kedua Ayah. Padahal gadis itu seumuran denganku."
"Ibumu menolak, lalu mereka bertengkar?" ucap Reksa mengira-ngira.
"Iya, Ibu dan aku tentu saja menolak. Tapi Ayah tak perduli, Beliau tetap melaksanakan keinginannya meminang gadis itu."
"Lalu?"
"Orang itu cukup jual mahal." Sambung Gendhis lalu tertawa sinis.
"Orang itu menolak pinangan dari Ayah. Itu membuatku senang sekaligus terhina. Dia gadis anak petani biasa menolak pinangan dari seorang Juragan besar seperti Ayahku. Sungguh menggelikan." Ucap Gendhis sambil tertawa sinis.
Reksa semakin tertarik pada gadis itu setelah mendengar sekilas cerita dari Gendhis. "Ayo, lebih baik kau tunjukan padaku rumah yang akan kutempati selama aku di sini," ucap Reksa.
Gendhis tersenyum, "baiklah ... mari kita ke sana."
Gendhis mengantar Reksa melihat rumah yang nanti akan Reksa tinggali. Rumahnya cukup luas dan bersih. Sudah ada beberapa pelayan yang mulai bekerja di rumah ini.
Sudah puas berkeliling, Reksa mengajak Gendhis untuk kembali ke rumah Juragan Ardi.Sampai di rumah Juragan Ardi, Reksa langsung menemui Juragan Ardi di ruang kerjanya.
"Tuan ...."
"Silakan duduk, Tuan Reksa. Bagaimana jalan-jalan Anda dengan putri saya. Menyenangkan bukan ...," kata Ardi.
"Iya. Saya ke sini ingin menyampaikan bahwa saya ingin segera tinggal di rumah yang sudah Anda siapkan, Tuan."
"Kenapa terburu-buru sekali, apa di sini Anda tidak merasa nyaman?" tanya Ardi.
"Bukan begitu, tapi saya lebih suka tinggal di rumah sendiri," sahut Reksa.
"Baiklah kalau begitu, kapan Anda akan pindah?"
"Sekarang juga," sahut Reksa.
"Baiklah," sahut Ardi pasrah.
"Barang-barang saya sudah saya kemasi. Saya hanya ingin berpamitan pada Anda," ucap Reksa.
"Begitukah, apa perlu saya antar?"
"Tidak perlu, Tuan. Kalau begitu saya pamit, terima kasih Anda sudah berkenan menjamu saya."
"Ah, tidak perlu sungkan seperti itu, Tuan," sahut Ardi.
Reksa bersama supir dan asisten pribadinya pergi meninggalkan rumah Juragan Ardi. Saat di jalan Reksa mengutus supirnya mengambil sepeda milik Elmira yang kemarin ada di bengkel lalu mengantarkannya ke rumah Elmira. Sedangkan Reksa sudah lebih dulu ke sana diantar oleh Haris.
"Selamat siang." Ucap Reksa saat tiba di depan rumah Elmira.
"Iya ...." Elmira terkejut ketika mendapati Reksa lah yang bertamu ke rumahnya.
"Tuan ... mari silakan masuk," ajak Elmira.
Reksa duduk di bangku sedangkan Haris berdiri di belakangnya.
"Saya buatkan minum dulu," ucap Elmira.
"Tidak perlu repot, Nona Elmira. Saya ke sini hanya ingin memberi tahu jika saat ini supir saya sedang mengambil sepeda milik Nona. Nanti biar dia antarkan ke sini."
Elmira tersenyum, "terima kasih, Tuan. Saya jadi tidak enak merepotkan Anda, Tuan."
"Oh tidak, justru saya yang tidak enak karena sudah hampir membuat Nona celaka. Untuk itu saya mengundang Nona untuk makan malam di rumah saya," kata Reksa.
Elmira mengerutkan keningnya, "rumah Anda?" tanya Elmira memastikan.
"Saya baru saja pindah, rumah saya tak jauh dari sini," sambung Reksa.
Elmira tersenyum lega, karena tidak mungkin Elmira mau menginjakan kakinya di kediaman Juragan Ardi. Itu hanya semakin membuat permusuhan antara dirinya dengan Nyonya Wina dan juga Gendhis.
"Iya."
"Kalau begitu saya permisi dulu, Nona. Selamat siang." Ucap Reksa lalu pergi meninggalkan rumah Elmira.
***
Yasinta mencoba menenangkan Emran dan Abraham agar tak lagi rewel. Kedua bocah laki-laki itu terus saja mencari keberadaan Elmira saat mereka tahu ibunya tak ikut pulang bersama mereka.“Ibu mengapa belum pulang, Nenek?” rengek Abraham.“Sabarlah sebentar, Sayang. Ibu dan Ayahmu akan segera pulang. Kau tenanglah karena adikmu terus saja menangis. Jangan membuat Nenek semakin bingung,” ucap Yasinta.Mengerti jika saat ini neneknya sedang pusing, Abraham menghampiri Margi. “Bibik, hubungi Ibuku, katakan padanya aku menangis mencarinya,” ucap Abraham.“Tapi Anda tak menangis sama sekali kan, Tuan kecil, jadi saya tak bisa memberitahu kebohongan seperti itu kepada Ibu Anda,” ucap Margi.“Hhhh ... kau ini!” seru Abraham.“Ibu!” seru Edrea.&
Elmira membenahi riasannya saat ia sudah tiba di rumah orangtua Andini. Ini kali pertamanya ia menginjakkan kaki di rumah orangtua Andini ini, karena sebelum-sebelumnya Andini-lah yang berkunjung ke rumah utama Dhanuar.“Sudah, Sayang. Mau sampai kapan kau berdandan? Anak-anak sudah berlari masuk,” ucap Reksa. Ia memasang wajah nelangsanya melihat istrinya yang membenahi riasan tanpa henti padahal ibunya dan romongannya yang lain sudah masuk ke tempat acara.“Kau ini apa tak suka melihat istrimu tampil cantik?” ucap Elmira dengan wajah muramnya.“Hhhh ... ya. Lalu kapan kau akan menyelesaikan ritualmu itu?”“Aku sudah selesai.” Elmira menyimpan kembali alat riasnya. Ia lalu keluar dari mobil dan membenahi gaun panjangnya.“Apa aku sudah terlihat cantik?” tanya Elmira sebelum ia melangkahkan kakinya memasuki tempat acara.“Ya, kau terlihat sangat cantik dan anggun. Kau terlihat
Yasinta dan Reksa pulang saat waktu makan malam, sehingga mereka bisa makan malam bersama.“Ada apa, Sayang? Kau tampak ceria sekali?” tanya Reksa.Pertanyaan Reksa pada Elmira telah berhasil membuat Yasinta juga menoleh ke arah Elmira.“Ada berita baik yang datang hari ini.”“Oh ya? Berita apa itu?” tanya Reksa.“Tadi pagi Andini datang ke sini.”“Andini?” gumam Reksa memotong kalimat Elmira.“Yaa, dan kau tahu apa yang dia katakan padaku?!” seru Elmira antusias.“Apa?”“Satu bulan lagi Andini akan menikah dan kita semua diminta untuk datang ke sana,” ucap Elmira dengan begitu cerianya.“Benarkah itu?!” tanya Yasinta.“Iya, Ibu. Itu benar,” ucap Elmira.“Aku turut
“Nenek, apa Ibu dan Ayah tak ikut sarapan bersama kita?” tanya Sabrina.“Sabrina, kau makan saja makananmu, Sayang, atau kau akan terlambat untuk ke sekolah,” sahut Yasinta.“Tapi ke mana Ayah dan Ibu?” tanya Shaka.“Ayah dan Ibu kalian mungkin sedang ada sesuatu yang harus segera diselesaikan. Kau cepat habiskan sarapanmu dan segeralah berangkat dengan supir bersama Kakakmu,” ucap Yasinta.“Nenek, lihatlah. Emran makan belepotan,” ucap Edrea.“Mamama.” Emran begitu senang jika ia menyuap makanannya sendiri meskipun wajahnya akan belepotan dengan buburnya.“Nenek, aku sudah selesai,” ucap Sabrina.“Aku juga,” sambung Shaka.“Edrea, ayo kita berangkat,” ajak Sabrina.“Iya,” sahut Edrea.
Setelah kepergian Delia dan Andini dari rumah Dhanuar dan dari kehidupan keluarga Dhanuar, Elmira dan Reksa selalu melewati hari-hari yang membahagiakan. Elmira dan Reksa tak pernah membeda-bedakan anak-anak mereka, semua yang mereka lakukan adalah adil dan sama hingga Sabrina dan Edrea tak pernah merasakan kehilangan sosok ibu kandung dalam hidupnya.Mula-mula Sabrina terus menanyakan perihal Andini yang sekarang tak ikut tinggal bersama dengannya lagi namun lambat laun Reksa dan Elmira menjelaskan bahwa sekarang situasinya sudah berbeda dari dulu. Mereka memberi pengertian pada Sabrina bahwa ayah dan ibunya sudah berpisah dan tak akan pernah bisa kembali bersama lagi. Meski dulu Sabrina tak terlalu paham namun sekarang gadis itu sudah paham setelah usianya hampir menginjak remaja.Sabrina tumbuh menjadi gadis yang cerdas, cantik dan anggun yang memiliki tutur kata lembut dan sopan. Saat ini usianya sudah menginjak sepuluh tahun, satu tahun lagi ia akan memasuki sekol
Reksa sampai di rumah utama keluarga Dhanuar saat hari sudah lewat tengah malam. Ia pun langsung berjalan menuju kamarnya untuk beristirahat.Rasa lelah dan penat yang ia rasakan menghilang begitu saja setelah ia melihat wajah damai Elmira yang kini telah terlelap. Ia tersenyum lalu ikut bergabung bersama Elmira di atas ranjang. Ternyata pergerakannya mengusik tidur Elmira hingga membuat istrinya ini membuka matanya.“Reksa, kau sudah pulang? Maaf aku ketiduran,” ucap Elmira.“Iya, baru saja.” “Kau sudah makan malam? Jam berapa ini, akan aku siapkan dulu.” Elmira bergerak hendak turun dari ranjang namun dicegah oleh Reksa.“Tidak perlu, ini sudah lewat tengah malam. Sebaiknya kita tidur saja, aku juga sudah sangat lelah,” ucap Reksa.“Baiklah,” sahut E