Share

Bab 3

Author: Wisdan
Saat dalam kondisi tak sadar, Cindi seolah bermimpi kembali ke hari ketika Zaki melamarnya. Saat itu, Zaki menatapnya dengan penuh kelembutan, dia berkata dengan pelan dan serius, “Aturan paling penting bagi seorang negosiator adalah selalu tetap tenang. Tapi sejak bertemu denganmu, setiap hari aku melanggarnya.”

Zaki memasangkan cincin ke jarinya dengan sangat lembut dan mencium dirinya dengan penuh kasih sayang. Semua itu, bagaimana mungkin semua itu adalah kebohongan?

Perutnya terasa sakit hebat, dia tersadar sesaat, terombang-ambing di antara rasa sakit dan kesadaran, hingga hampir berpikir bahwa dirinya akan mati begitu saja.

“Braak!”

Pintu tiba-tiba didobrak terbuka, lalu terdengar suara panik Zaki, “Cindi!”

Borgol yang mengikatnya bergetar hebat saat dibuka dengan tangan gemetar.

Dia langsung menggendong Cindi dan segera membawanya keluar.

“Maaf, maafkan aku!”

Suara Zaki hampir seperti menangis. Dia membawa Cindi masuk ke dalam mobil, penuh ketakutan berkata, “Aku bukan sengaja melupakanmu, Cindi, tolong bangun!”

......

Saat Cindi membuka mata lagi, Dia kembali berada di kamar rumah sakit yang disinari lampu putih menyilaukan. Dalam beberapa bulan terakhir, dia sudah tiga kali masuk rumah sakit. Semua karena pria yang dulu sangat dia cintai.

Pria yang selalu berkata mencintainya, tetapi tak pernah berhenti menyakitinya.

Kepalanya terasa sangat sakit. Begitu jarinya yang terkulai mulai sedikit bergerak, langsung ada seseorang yang menggenggamnya.

“Cindi?” Suara Zaki serak dan penuh kecemasan. “Apa masih ada yang terasa sakit?”

Begitu mendengar suaranya, Cindi langsung menarik tangannya dengan kuat. Namun, gerakannya yang mendadak justru membuat luka di tubuhnya kembali terasa perih, hingga dia menghirup napas dalam-dalam menahan sakit.

“Jangan bergerak!”

Zaki langsung memegang pundaknya, dan Cindi melihat matanya yang memerah.

Tanpa pikir panjang, dia menggunakan seluruh tenaganya untuk menampar wajah Zaki.

Sayangnya, tubuhnya sangat lemah, tamparan itu kurang kuat. Namun, Zaki tetap terdorong hingga wajahnya menoleh.

“Tamparan yang bagus.” Dia berbalik menatapnya, bahkan masih tersenyum.

Pipinya yang ditampar memerah. “Aku pantas menerimanya. Kalau perlu tampar aku beberapa kali lagi, asal kau bisa lega.”

Dengan suara serak, Cindi berkata, “Aku nggak mau melihatmu lagi.”

Senyuman di wajah Zaki menghilang. Dia segera menggenggam tangan Cindi, lalu berkata lembut, “Sayang, jangan berkata seperti itu. Semua ini salahku. Aku tiba-tiba dapat tugas darurat, negosiasi seharian semalam, tolong maafkan aku.”

Cindi menutup mata.

Sebenarnya dia ingin berkata. dia tahu siapa yang menelpon malam itu. Itu adalah Sukma.

Hanya karena satu panggilan dari wanita itu, Zaki langsung pergi, meninggalkannya terborgol di tempat tidur selama satu hari satu malam.

Bagaimana mungkin Cindi bisa memaafkannya?

Cindi mengangkat pergelangan tangannya. Luka dari borgol sudah berubah menjadi memar ungu kebiruan, sangat menakutkan.

Matanya memerah. “Zaki, dulu kamu nggak pernah memperlakukanku seperti ini.”

Wajah Zaki berubah.

“Karena kamu terus marah soal Sukma akhir-akhir ini. Aku waktu itu takut, dan juga marah.”

Cindi berkata pelan, “Lalu kenapa kamu terus melakukan hal-hal yang membuatku marah?”

Kali ini Zaki terdiam lama. Akhirnya dia bicara lagi, suaranya penuh penderitaan, “Cindi, jangan bersikap emosional, kumohon. Kami hanya rekan kerja, sedang menjalankan misi penting bersama.”

“Kamu pergi saja. Aku mau istirahat.”

“Baiklah, aku akan menjagamu di sini.”

Keesokan harinya, Cindi keluar dari rumah sakit. Zaki tetap menemaninya siang dan malam selama seminggu. Mengganti perban, menyuapi makanan, bahkan saat diperlakukan dingin, Zaki tetap tidak marah.

Namun, Cindi menyadari, Zaki sering diam-diam menelepon dari balkon. Setiap kali selesai menelepon, Zaki tersenyum lembut.

Dia tahu, siapa yang di seberang telepon dan itu membuat hatinya makin sakit.

Tiga hari setelah pulang dari rumah sakit, Sukma pindah ke unit sebelah, menjadi tetangga mereka. Sejak itu, makanan yang dimasak Zaki selalu dibagi dua, satu untuk Sukma. Setiap kali mengantar makanan ke sana, Zaki akan menemani Sukma makan dulu, baru kembali.

Saat kembali dan bertemu Cindi, dia hanya berkata, “Ini semua markas, kami tadi mendiskusikan detail misi.”

Cindi melihat senyum yang belum sepenuhnya menghilang di wajahnya dan rasanya seperti pisau menancap di jantungnya.

Zaki selalu sengaja atau tak sengaja menghindari agar Cindi tidak bertemu dengan Sukma.

Namun hari itu, Zaki berpakaian rapi, tiba-tiba berkata, “Hari ini hari jadi pernikahan kita. Aku sudah dapat tiket kapal pesiar, malam ini ada makan malam romantis.”

Cindi ingin menolak, tapi Zaki sudah menariknya keluar. Di depan pintu, dia melihat Sukma sudah berdiri menunggu.

“Halo, Kak Cindi. Nggak apa-apa ‘kan kalau aku ikut? Aku nggak akan mengganggu kalian kok.”

Sukma menjulurkan lidah dengan gaya manja dan ceria.

Zaki tersenyum, berbalik berkata, “Sukma juga ingin coba naik kapal pesiar. Kebetulan tiketnya ada tiga. Kita pergi bersama ya. Cindi, kamu nggak keberatan, ‘kan?”

Cindi tersenyum sinis. Dia menunduk, berkata pelan, “Tentu saja tidak keberatan.”

Apa haknya untuk keberatan? Pernikahan mereka hanyalah kebohongan dan sandiwara belaka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 22

    Raut wajah Zaki tiba-tiba berubah bengis dan penuh amarah. Dia menatap Cindi dan berteriak keras, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Sekarang kamu menjadi kekasihnya? Kamu mau menikah dengannya?"Setiap pertanyaan yang dia ucapkan membuat matanya makin merah.Cindi menarik napas dalam, lalu menatapnya dingin.Cindi berkata, "Apa urusannya denganmu? Sekarang pergi!"Zaki membalas dengan suara lantang, "Kenapa? Padahal dulu orang yang paling kamu cintai adalah aku!"“Dilarang berteriak di rumah sakit!” Beberapa dokter dan perawat segera menghampiri dengan wajah kesal sambil berkata, “Pak, silakan keluar sekarang!”"Katakan, Cindi!"Zaki seakan sudah kehilangan kendali. Dia dengan cepat melangkah ke depan, hendak menarik tangan Cindi. Namun, tidak lama kemudian, pergelangan tangannya dikunci kuat oleh seorang petugas kepolisian. Dengan wajah dingin, polisi itu menunjukkan identitasnya."Zaki, Anda diduga terlibat langsung dalam kecelakaan ini. Mohon kerja sama Anda untuk penyelidikan."Cindi

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 21

    Cindi melangkah keluar dari ruangan, menatap bunga mawar merah cerah di tangannya, lalu berkata pelan, "Sebenarnya, kamu nggak perlu sengaja sampai seperti itu untuk membuat memancing emosinya."Leo membuka kancing atas seragam militernya dan menjawab dengan santai,"Memangnya nggak boleh kalau aku hanya ingin memberimu bunga?""Boleh." Cindi tersenyum kecil, dia melanjutkan, "Tapi aku tetap mau bilang, sekarang aku nggak perlu lagi cinta dari siapa pun untuk membuktikan nilai diriku."Leo sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. "Itu hal yang bagus.""Aku sudah bisa menyelamatkan diriku sendiri." Setelah mengatakannya, raut wajah Cindi terlihat damai. Awan mendung yang selama ini membayangi dirinya akhirnya sirna.Leo menatapnya dan melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang pas."Tapi ... kamu nggak perlu menolak beberapa hal yang indah dalam hidup ini, ‘kan?"Leo menunjuk ke arah mawar di tangan Cindi dan berkata, "Seperti bunga ini, dia nggak akan jadi beban atau belenggu hany

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 20

    Cindi langsung pergi ke markas dan melaporkan Zaki dengan nama asli atas tuduhan melindungi penjahat dan melalaikan tugas serta kedisiplinan.Cindi memulihkan rekaman pengawasan di tangga dan langsung menjadikannya sebagai bukti langsung.Rekaman pengawasan dengan jelas menunjukkan Sukma mendorong Cindi hingga jatuh, sementara kesaksian Zaki saat itu menyatakan bahwa dia menyaksikan Cindi jatuh sambil mendorong Sukma.Cindi baru saja memberikan kontribusi besar dan tak seorang pun berani mengabaikan tuntutannya. Komandan langsung mengeluarkan perintah untuk segera menyelidiki masalah tersebut dan Zaki pun segera terkendali.Zaki tidak pernah tahu bahwa Cindi memiliki kemampuan seperti itu. Dia terkejut sekaligus sedih.Namun, Zaki tidak dapat membantah. Memang dialah yang menyakiti Cindi demi Sukma saat itu, dia sudah dibutakan oleh Sukma."Zaki, apa lagi yang ingin kamu katakan?"Zaki memejamkan mata, raut wajahnya dipenuhi kepahitan dan rasa sakit."Tidak ada."Dadanya seakan telah d

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 19

    Upacara pemberian penghargaan jauh lebih megah dari yang dibayangkan oleh Cindi. Misi yang mereka jalankan kali ini benar-benar luar biasa sukses. Dia berdiri di atas panggung bersama Leo dan yang lainnya, dengan medali kehormatan yang berat menggantung di pundaknya.Terdengar tepuk tangan bergemuruh dari bawah panggung. Di barisan paling depan, duduk kakaknya di atas kursi roda, bertepuk tangan sekuat tenaga dengan mata yang basah oleh air mata.Cindi tiba-tiba merasa ingin menangis.Dia seperti melihat bayangan ayah dan ibunya tidak jauh dari sana, berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan di wajah. Cindi berkata dalam hati, “Aku nggak terus-menerus berjalan di jalan yang salah. Sekarang, apa kalian masih bisa merasa bangga padaku?”Komandan dan panglima berjabat tangan serta memeluknya. Setelah upacara selesai, Cindi menolak dengan halus ajakan ke pesta perayaan dan memilih berjalan sendirian di sepanjang jalan.“Cindi!”Suara yang sangat familiar itu menghantamnya seperti peluru. Ci

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 18

    Saat Cindi menutup laptop-nya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari belakangnya.Pada detik berikutnya, pergelangan tangannya ditarik dan dia langsung terlindungi dalam pelukan seseorang dengan tubuh yang lebar dan kokoh.Tanpa sempat berpikir panjang, dia segera berkata, “Sudah selesai, arah pukul dua!”Setelah keluar dari rumah sakit bersama sandera, mereka berencana kembali ke negara asal. Namun, di tengah jalan mereka disergap. Setelah Cindi berhasil membobol sistem gangguan sinyal, dia segera menemukan celah untuk menerobos.Begitu ucapannya selesai, Leo langsung menyesuaikan komando dan bergerak cepat.Kapal tempur mereka menerobos pengepungan layaknya pisau tajam membelah air, meninggalkan kobaran api pertempuran di belakang.Suara dari alat komunikasi terdengar, “Lapor komandan, kapal penyelamat sudah terhubung! Selamat datang kembali!”“Selamat datang di rumah!”Cindi terengah-engah. Lalu karena tak sanggup menahan lelahnya, dia akhirnya jatuh terdudu

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 17

    Seminggu kemudian, penyelidikan terhadap Sukma selesai sepenuhnya dan polisi menyerahkan hasilnya kepada Zaki.Tatapannya terlihat rumit, tetapi Zaki tidak peduli dengan hal lainnya.Sukma mengakui semua yang diketahuinya dan berdasarkan ceritanya, sebuah tim khusus dikerahkan untuk menangkap semua organisasi bawah tanah yang belum melarikan diri.Sukma hanyalah bidak catur kecil, dengan tujuan melemahkan pertahanan Zaki, seorang ahli negosiasi krisis di markas tersebut, dan mengambil keuntungan bagi mereka.Bahkan memasang bahan peledak di kapal pun, juga mereka perintahkan pada Sukma.Zaki tiba-tiba berdiri, kursinya terjatuh dan mengeluarkan suara keras di lantai. Tanpa ragu, dia bergegas keluar pintu.“Aku ingin bertemu Sukma!”Sukma bahkan lebih lesu daripada terakhir kali Zaki melihatnya, dengan tatapan kosong seperti boneka. Zaki langsung menyerbu, meraih Sukma, dan berteriak, "Di mana Cindi?" Sukma bereaksi perlahan, melirik Zaki sejenak sebelum berkata dengan suara serak, "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status