Share

Bab 2

Author: Wisdan
Bau cairan disinfektan rumah sakit yang menyengat membuat Cindi merasa sangat tersiksa. Dia mengabaikan nasihat dokter dan memaksa untuk pulang lebih awal.

Ponselnya berdering terus-menerus. Sekilas dia melihat nama di layar ponsel, Zaki.

Tanpa pikir panjang, dia menolak panggilan itu dan langsung memasukkan nomor itu ke dalam daftar blokir.

Begitu tiba di rumah, Cindi mulai mengobrak-abrik seluruh ruangan.

Cincin pertunangan mereka masih tergeletak di dalam kotak beludru. Sebuah kotak musik buatan khusus menampilkan figur sepasang pengantin pria dan wanita. Sebuah buku harian tebal berisi kenangan masa pacaran mereka, berisi tiap percakapan mereka yang penuh cinta. Dan di dinding ada foto pernikahan mereka yang besar dan indah.

Cindi hanya menatap semua itu sejenak, lalu mulai memasukkan semua benda itu satu per satu ke dalam kotak. Setelah penuh, dia membuang semuanya ke tempat sampah.

Seolah beban lama yang selama ini menempel di pundaknya akhirnya terlepas sepenuhnya.

Dia lalu membuka galeri ponsel, menatap satu per satu foto kenangan mereka. Setiap gambar membuatnya mengingat kenangan bahagia mereka saat itu.

Seperti saat mereka bermain adonan di dapur hingga wajah mereka belepotan tepung, atau duduk berdua di atas bianglala dan berciuman tepat di titik tertinggi.

Cindi menghapus foto-foto itu satu per satu. Setiap foto yang terhapus seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Semua gambar itu mengingatkan betapa indah masa lalu itu dan betapa palsunya semua itu sekarang.

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Zaki masuk dengan langkah besar.

Wajahnya tampak muram, tapi saat melihat Cindi, dia seakan terlihat sedikit lega.

"Cindi, kenapa nggak angkat teleponku?" Suaranya mengandung nada tekanan yang menakutkan. "Aku sudah meneleponmu lima puluh empat kali!"

Cindi terdiam, tentu saja dia tidak mengangkat panggilan Zaki, karena sudah masuk daftar blokir.

"Kenapa kamu keluar dari rumah sakit?" Zaki melangkah maju, mencengkeram pergelangan tangan Cindi dengan kuat, dia berkata, "Kamu tahu bagaimana rasanya saat aku nggak bisa menemukanmu? Aku kira kamu ...."

Zaki menghentikan kalimatnya, memejamkan mata dengan marah.

Cindi mengernyit, dia berkata dengan nada acuh, "Lepaskan, kamu sudah menyakitiku!"

Namun, Zaki tak melepaskannya. Tatapan Zaki menyapu dinding yang kini kosong dan sorot matanya seakan penuh badai.

"Kenapa kamu buang foto pernikahan kita? Aku tahu kamu masih marah, tapi Cindi, kamu tahu siapa aku. Aku melakukan semua ini bukan untuk diriku, tapi untuk negara! Sekarang kami butuh Sukma, tidak boleh terjadi sesuatu pada Sukma."

"Cukup!" Cindi tiba-tiba melepaskan tangannya dengan kasar. "Aku nggak mau dengar kebohonganmu lagi!"

Surat nikah palsu itu dan perhatian Zaki pada Sukma tak akan bisa menipu siapa pun lagi. Cindi bukan orang buta!

Zaki menatapnya dengan kecewa, "Cindi, kamu sudah berubah."

Cindi nyaris tertawa. Ya, dia memang berubah, karena akhirnya dia berhenti jadi orang bodoh.

"Aku hanya ingin kamu tahu, orang yang paling aku cintai adalah kamu. Aku nggak bisa hidup tanpamu, aku!"

Mata Zaki mulai memerah. Tiba-tiba, dia melangkah dengan cepat dan langsung memeluk Cindi.

Meski Cindi berusaha melepaskan diri, Zaki menyeretnya ke tempat tidur. Dia mengeluarkan sepasang borgol perak dari sakunya, lalu memborgol tangan Cindi ke kepala ranjang!

Mata Cindi membelalak tak percaya. "Zaki, kamu sudah gila?"

"Aku benar-benar mau gila saat nggak bisa menemukanmu!"

Zaki menindih tubuh Cindi, lalu mulai menciumnya dengan paksa. "Cindi, jangan marah lagi. Kumohon ...."

Pada saat napasnya mulai terenggut, Cindi merasa mual luar biasa.

Dengan tangan bebasnya, Cindi menampar wajah Zaki sekuat tenaga.

"Plak!"

Zaki berhenti.

Cindi terengah-engah, matanya memerah dan berkata, "Pergi! Siapa yang memberimu izin untuk menciumku?"

"Aku .…"

Belum sempat dia menjelaskan, dering ponsel Zaki tiba-tiba berbunyi. Zaki melihat siapa yang menelepon, raut wajahnya langsung berubah.

Dia segera berdiri dan terburu-buru berjalan ke luar.

"Cindi, tunggu aku. Aku ada urusan sebentar. Aku akan segera kembali."

Dalam sekejap, dia pergi.

Di dalam kamar, hanya suara napas Cindi yang tersisa. Dia berusaha melepaskan diri. Pergelangan tangannya cepat memerah karena bergesekan dengan logam borgol.

Rasa sakit dari luka yang belum sembuh, kembali menyerang saat dia banyak bergerak.

Ia terdiam sebentar, lalu menangis pelan. bibirnya yang pucat hanya bisa terkatup rapat.

Langit mulai gelap.

Pria yang katanya akan segera kembali itu, tak kunjung muncul.

Ponsel Cindi masih tertinggal di sofa.

Cindi mencoba membongkar kunci borgol dengan jepit rambutnya. Gagal.

Dia mencoba menyeret ranjang dan membuka penyangga tempat tidur, semua gagal.

Lebih parah lagi, kepalanya mulai pusing, lukanya berdenyut sakit, dan perutnya lapar, semuanya datang menyerang bersamaan. Dia meringkuk lemas di atas ranjang, dilanda rasa sakit dan kelaparan.

Siang berganti malam. Selama semalaman penuh, Zaki tidak kembali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 22

    Raut wajah Zaki tiba-tiba berubah bengis dan penuh amarah. Dia menatap Cindi dan berteriak keras, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Sekarang kamu menjadi kekasihnya? Kamu mau menikah dengannya?"Setiap pertanyaan yang dia ucapkan membuat matanya makin merah.Cindi menarik napas dalam, lalu menatapnya dingin.Cindi berkata, "Apa urusannya denganmu? Sekarang pergi!"Zaki membalas dengan suara lantang, "Kenapa? Padahal dulu orang yang paling kamu cintai adalah aku!"“Dilarang berteriak di rumah sakit!” Beberapa dokter dan perawat segera menghampiri dengan wajah kesal sambil berkata, “Pak, silakan keluar sekarang!”"Katakan, Cindi!"Zaki seakan sudah kehilangan kendali. Dia dengan cepat melangkah ke depan, hendak menarik tangan Cindi. Namun, tidak lama kemudian, pergelangan tangannya dikunci kuat oleh seorang petugas kepolisian. Dengan wajah dingin, polisi itu menunjukkan identitasnya."Zaki, Anda diduga terlibat langsung dalam kecelakaan ini. Mohon kerja sama Anda untuk penyelidikan."Cindi

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 21

    Cindi melangkah keluar dari ruangan, menatap bunga mawar merah cerah di tangannya, lalu berkata pelan, "Sebenarnya, kamu nggak perlu sengaja sampai seperti itu untuk membuat memancing emosinya."Leo membuka kancing atas seragam militernya dan menjawab dengan santai,"Memangnya nggak boleh kalau aku hanya ingin memberimu bunga?""Boleh." Cindi tersenyum kecil, dia melanjutkan, "Tapi aku tetap mau bilang, sekarang aku nggak perlu lagi cinta dari siapa pun untuk membuktikan nilai diriku."Leo sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. "Itu hal yang bagus.""Aku sudah bisa menyelamatkan diriku sendiri." Setelah mengatakannya, raut wajah Cindi terlihat damai. Awan mendung yang selama ini membayangi dirinya akhirnya sirna.Leo menatapnya dan melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang pas."Tapi ... kamu nggak perlu menolak beberapa hal yang indah dalam hidup ini, ‘kan?"Leo menunjuk ke arah mawar di tangan Cindi dan berkata, "Seperti bunga ini, dia nggak akan jadi beban atau belenggu hany

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 20

    Cindi langsung pergi ke markas dan melaporkan Zaki dengan nama asli atas tuduhan melindungi penjahat dan melalaikan tugas serta kedisiplinan.Cindi memulihkan rekaman pengawasan di tangga dan langsung menjadikannya sebagai bukti langsung.Rekaman pengawasan dengan jelas menunjukkan Sukma mendorong Cindi hingga jatuh, sementara kesaksian Zaki saat itu menyatakan bahwa dia menyaksikan Cindi jatuh sambil mendorong Sukma.Cindi baru saja memberikan kontribusi besar dan tak seorang pun berani mengabaikan tuntutannya. Komandan langsung mengeluarkan perintah untuk segera menyelidiki masalah tersebut dan Zaki pun segera terkendali.Zaki tidak pernah tahu bahwa Cindi memiliki kemampuan seperti itu. Dia terkejut sekaligus sedih.Namun, Zaki tidak dapat membantah. Memang dialah yang menyakiti Cindi demi Sukma saat itu, dia sudah dibutakan oleh Sukma."Zaki, apa lagi yang ingin kamu katakan?"Zaki memejamkan mata, raut wajahnya dipenuhi kepahitan dan rasa sakit."Tidak ada."Dadanya seakan telah d

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 19

    Upacara pemberian penghargaan jauh lebih megah dari yang dibayangkan oleh Cindi. Misi yang mereka jalankan kali ini benar-benar luar biasa sukses. Dia berdiri di atas panggung bersama Leo dan yang lainnya, dengan medali kehormatan yang berat menggantung di pundaknya.Terdengar tepuk tangan bergemuruh dari bawah panggung. Di barisan paling depan, duduk kakaknya di atas kursi roda, bertepuk tangan sekuat tenaga dengan mata yang basah oleh air mata.Cindi tiba-tiba merasa ingin menangis.Dia seperti melihat bayangan ayah dan ibunya tidak jauh dari sana, berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan di wajah. Cindi berkata dalam hati, “Aku nggak terus-menerus berjalan di jalan yang salah. Sekarang, apa kalian masih bisa merasa bangga padaku?”Komandan dan panglima berjabat tangan serta memeluknya. Setelah upacara selesai, Cindi menolak dengan halus ajakan ke pesta perayaan dan memilih berjalan sendirian di sepanjang jalan.“Cindi!”Suara yang sangat familiar itu menghantamnya seperti peluru. Ci

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 18

    Saat Cindi menutup laptop-nya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari belakangnya.Pada detik berikutnya, pergelangan tangannya ditarik dan dia langsung terlindungi dalam pelukan seseorang dengan tubuh yang lebar dan kokoh.Tanpa sempat berpikir panjang, dia segera berkata, “Sudah selesai, arah pukul dua!”Setelah keluar dari rumah sakit bersama sandera, mereka berencana kembali ke negara asal. Namun, di tengah jalan mereka disergap. Setelah Cindi berhasil membobol sistem gangguan sinyal, dia segera menemukan celah untuk menerobos.Begitu ucapannya selesai, Leo langsung menyesuaikan komando dan bergerak cepat.Kapal tempur mereka menerobos pengepungan layaknya pisau tajam membelah air, meninggalkan kobaran api pertempuran di belakang.Suara dari alat komunikasi terdengar, “Lapor komandan, kapal penyelamat sudah terhubung! Selamat datang kembali!”“Selamat datang di rumah!”Cindi terengah-engah. Lalu karena tak sanggup menahan lelahnya, dia akhirnya jatuh terdudu

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 17

    Seminggu kemudian, penyelidikan terhadap Sukma selesai sepenuhnya dan polisi menyerahkan hasilnya kepada Zaki.Tatapannya terlihat rumit, tetapi Zaki tidak peduli dengan hal lainnya.Sukma mengakui semua yang diketahuinya dan berdasarkan ceritanya, sebuah tim khusus dikerahkan untuk menangkap semua organisasi bawah tanah yang belum melarikan diri.Sukma hanyalah bidak catur kecil, dengan tujuan melemahkan pertahanan Zaki, seorang ahli negosiasi krisis di markas tersebut, dan mengambil keuntungan bagi mereka.Bahkan memasang bahan peledak di kapal pun, juga mereka perintahkan pada Sukma.Zaki tiba-tiba berdiri, kursinya terjatuh dan mengeluarkan suara keras di lantai. Tanpa ragu, dia bergegas keluar pintu.“Aku ingin bertemu Sukma!”Sukma bahkan lebih lesu daripada terakhir kali Zaki melihatnya, dengan tatapan kosong seperti boneka. Zaki langsung menyerbu, meraih Sukma, dan berteriak, "Di mana Cindi?" Sukma bereaksi perlahan, melirik Zaki sejenak sebelum berkata dengan suara serak, "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status