Share

Bab 5

Author: Wisdan
Ayah Cindi meninggal saat dia masih kecil. Dia tumbuh besar bersama ibu dan kakaknya, saling bergantung satu sama lain.

Namun, setelah ibunya meninggal dan dia menikah dengan Zaki, hubungannya dengan sang kakak mulai renggang.

Lama kelamaan, kakaknya benar-benar memutuskan kontak dengannya.

Kakaknya adalah seorang polisi kriminal, pekerjaan yang membuat mereka jarang bertemu. Cindi sempat meminta Zaki untuk menanyakan keberadaan kakaknya melalui instruksi markas, tapi hanya mendapatkan satu kalimat sebagai jawaban.

Zaki berkata, “Kakakmu bilang … setelah Ibu meninggal, keluarga ini sudah bubar. Kita tak perlu lagi saling berhubungan.”

Cindi pun membenci sikap dingin kakaknya. Dia pernah mencoba datang langsung untuk menemuinya, tapi justru ditolak dan tak bisa bertemu sama sekali.

Namun kini, saat membuka ponsel, dia menemukan beberapa pesan lama dari sang kakak.

[Cindi, kumohon, tolong balas telepon Kakak, ya?]

[Kamu bahkan tidak datang ke hari peringatan orang tua kita? Semua karena Zaki itu?]

[Aku sudah tidak menentang hubungan kalian lagi, aku menemukan beberapa informasi tentang negosiator itu. Bisa kita bertemu?]

Namun, semua pesan itu dibalas dengan nada dingin dan bahkan makian.

Balasan yang ternyata bukan dari dia, melainkan dari orang lain yaitu dari Zaki, atas nama Cindi.

Cindi menggenggam ponsel itu dengan erat, buku jarinya memutih.

Selama bertahun-tahun ini, Zaki telah menggunakan identitasnya untuk menyakiti kakaknya sendiri dan memutus ikatan darah terakhir yang dia miliki!

Dengan rahang mengatup dan mata penuh amarah, Cindi bangkit, meraih kunci mobil, dan langsung pergi. Dia ingin mencari Zaki, menanyakan langsung kenapa dia melakukan semua itu!?

Saat mengetahui bahwa Zaki sedang berada di rumah sakit, dia langsung meluncur ke sana. Namun, baru sampai di pintu rumah sakit, dia melihat Zaki mengangkat Sukma dan memutarnya dengan gembira.

Wajah Zaki penuh senyum cerah, suaranya riang, “Aku akan jadi ayah!”

Dunia seolah berhenti. Langkah Cindi terhenti, kakinya lemas.

Zaki masih melanjutkan dengan semangat, “Anak laki-laki atau perempuan, aku suka dua-duanya. Aku akan lindungi kalian dengan nyawaku!”

Sukma menggoda dengan manja, “Baru tiga bulan, kamu terlalu bersemangat.”

Tiga bulan, tepat saat hari itu. Ketika Cindi memergoki mereka bersama.

Setiap kata bagaikan pisau yang menghujam jantung Cindi. Dia tertawa pelan dengan getir.

Kata-kata itu dulu pernah dia dengar juga, saat tahu bahwa dia hamil.

Namun, saat itu dia kehilangan anaknya, dan Zaki hanya berkata, “Bagus juga, biar nggak bisa dipakai orang lain untuk mengancamku.”

Sungguh menyedihkan.

Cindi tidak melangkah maju, tidak bertanya. Dia hanya berbalik dan pergi, dengan ketenangan yang aneh.

Tak perlu bertanya. Bagaimanapun, jawabannya hanyalah kebohongan.

Setelah kembali, Cindi awalnya ingin langsung menghubungi kakaknya.

Namun, mengingat pesan-pesan menyakitkan itu, dia khawatir sang kakak masih marah padanya.

Dia lalu menghubungi seseorang dan meminta informasi tentang kakaknya.

Zaki kini makin sibuk. Cindi pun sengaja menjauh darinya, hanya ingin bertemu kakaknya dan menunggu proses mutasi penugasannya selesai.

Namun tiba-tiba, Sukma datang mengetuk pintunya.

Dia dengan sengaja menunjukkan kalung di lehernya, sambil tersenyum angkuh dia berkata, “Kalung ini cantik, ‘kan? Kak Zaki langsung memberikannya padaku karena aku suka. Kamu nggak keberatan, ‘kan? Jangan pelit, ya!”

Begitu melihat kalung itu, pupil mata Cindi mengecil, suaranya naik saat berkata, “Siapa yang menizinkan kamu menyentuh kalung itu?”

Sukma makin menantang, lalu berkata dengan nada sengaja, “Kenapa? Jangan-jangan ini peninggalan ibumu yang sudah meninggal?”

Suaranya makin tajam dan menyakitkan, “Omong-omong soal ibumu, sungguh nggak tepat waktu dia mati! Kalau bukan karena dia, aku nggak akan dapat catatan disiplin waktu itu.”

“Kamu brengsek!” Cindi marah luar biasa, menamparnya dengan keras.

“Plak!”

Dengan mata memerah, dia menerjang maju, menarik kalung itu dengan marah. Dia berkata, “Kembalikan! Itu milikku!”

Itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih tersisa. Bagaimana kalung itu bisa berada di leher Sukma?

Sukma sempat terpental karena tamparan itu, mata gelapnya bersinar penuh dendam.

Cindi menggenggam kalung itu erat, seluruh tubuh gemetar. Kalung itu seharusnya berada di kotak perhiasannya. Rumah ini hanya dihuni dia dan Zaki.

Tak perlu ditebak lagi siapa pelakunya.

“Kamu berani memukulku?”

Sukma menjerit, lalu secara tiba-tiba mendorong Cindi dari tangga.

Dirinya sendiri pun terjatuh duduk di anak tangga.

“Sukma!”

Zaki datang tergesa dengan wajah panik, langsung memeluk Sukma.

Cindi terjatuh ke belakang, merasakan sakit luar biasa di pelipisnya, darah hangat mengalir di wajahnya. Ia tetap menggenggam kalung itu erat-erat, dengan tangan gemetar, ia menelepon polisi.

“Saya mau melapor. Ada yang berusaha membunuh saya.”

Zaki menatapnya tak percaya, lalu berteriak marah, “Apa yang kamu lakukan? Kamu mau menghancurkan hidup Sukma?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 22

    Raut wajah Zaki tiba-tiba berubah bengis dan penuh amarah. Dia menatap Cindi dan berteriak keras, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Sekarang kamu menjadi kekasihnya? Kamu mau menikah dengannya?"Setiap pertanyaan yang dia ucapkan membuat matanya makin merah.Cindi menarik napas dalam, lalu menatapnya dingin.Cindi berkata, "Apa urusannya denganmu? Sekarang pergi!"Zaki membalas dengan suara lantang, "Kenapa? Padahal dulu orang yang paling kamu cintai adalah aku!"“Dilarang berteriak di rumah sakit!” Beberapa dokter dan perawat segera menghampiri dengan wajah kesal sambil berkata, “Pak, silakan keluar sekarang!”"Katakan, Cindi!"Zaki seakan sudah kehilangan kendali. Dia dengan cepat melangkah ke depan, hendak menarik tangan Cindi. Namun, tidak lama kemudian, pergelangan tangannya dikunci kuat oleh seorang petugas kepolisian. Dengan wajah dingin, polisi itu menunjukkan identitasnya."Zaki, Anda diduga terlibat langsung dalam kecelakaan ini. Mohon kerja sama Anda untuk penyelidikan."Cindi

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 21

    Cindi melangkah keluar dari ruangan, menatap bunga mawar merah cerah di tangannya, lalu berkata pelan, "Sebenarnya, kamu nggak perlu sengaja sampai seperti itu untuk membuat memancing emosinya."Leo membuka kancing atas seragam militernya dan menjawab dengan santai,"Memangnya nggak boleh kalau aku hanya ingin memberimu bunga?""Boleh." Cindi tersenyum kecil, dia melanjutkan, "Tapi aku tetap mau bilang, sekarang aku nggak perlu lagi cinta dari siapa pun untuk membuktikan nilai diriku."Leo sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. "Itu hal yang bagus.""Aku sudah bisa menyelamatkan diriku sendiri." Setelah mengatakannya, raut wajah Cindi terlihat damai. Awan mendung yang selama ini membayangi dirinya akhirnya sirna.Leo menatapnya dan melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang pas."Tapi ... kamu nggak perlu menolak beberapa hal yang indah dalam hidup ini, ‘kan?"Leo menunjuk ke arah mawar di tangan Cindi dan berkata, "Seperti bunga ini, dia nggak akan jadi beban atau belenggu hany

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 20

    Cindi langsung pergi ke markas dan melaporkan Zaki dengan nama asli atas tuduhan melindungi penjahat dan melalaikan tugas serta kedisiplinan.Cindi memulihkan rekaman pengawasan di tangga dan langsung menjadikannya sebagai bukti langsung.Rekaman pengawasan dengan jelas menunjukkan Sukma mendorong Cindi hingga jatuh, sementara kesaksian Zaki saat itu menyatakan bahwa dia menyaksikan Cindi jatuh sambil mendorong Sukma.Cindi baru saja memberikan kontribusi besar dan tak seorang pun berani mengabaikan tuntutannya. Komandan langsung mengeluarkan perintah untuk segera menyelidiki masalah tersebut dan Zaki pun segera terkendali.Zaki tidak pernah tahu bahwa Cindi memiliki kemampuan seperti itu. Dia terkejut sekaligus sedih.Namun, Zaki tidak dapat membantah. Memang dialah yang menyakiti Cindi demi Sukma saat itu, dia sudah dibutakan oleh Sukma."Zaki, apa lagi yang ingin kamu katakan?"Zaki memejamkan mata, raut wajahnya dipenuhi kepahitan dan rasa sakit."Tidak ada."Dadanya seakan telah d

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 19

    Upacara pemberian penghargaan jauh lebih megah dari yang dibayangkan oleh Cindi. Misi yang mereka jalankan kali ini benar-benar luar biasa sukses. Dia berdiri di atas panggung bersama Leo dan yang lainnya, dengan medali kehormatan yang berat menggantung di pundaknya.Terdengar tepuk tangan bergemuruh dari bawah panggung. Di barisan paling depan, duduk kakaknya di atas kursi roda, bertepuk tangan sekuat tenaga dengan mata yang basah oleh air mata.Cindi tiba-tiba merasa ingin menangis.Dia seperti melihat bayangan ayah dan ibunya tidak jauh dari sana, berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan di wajah. Cindi berkata dalam hati, “Aku nggak terus-menerus berjalan di jalan yang salah. Sekarang, apa kalian masih bisa merasa bangga padaku?”Komandan dan panglima berjabat tangan serta memeluknya. Setelah upacara selesai, Cindi menolak dengan halus ajakan ke pesta perayaan dan memilih berjalan sendirian di sepanjang jalan.“Cindi!”Suara yang sangat familiar itu menghantamnya seperti peluru. Ci

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 18

    Saat Cindi menutup laptop-nya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari belakangnya.Pada detik berikutnya, pergelangan tangannya ditarik dan dia langsung terlindungi dalam pelukan seseorang dengan tubuh yang lebar dan kokoh.Tanpa sempat berpikir panjang, dia segera berkata, “Sudah selesai, arah pukul dua!”Setelah keluar dari rumah sakit bersama sandera, mereka berencana kembali ke negara asal. Namun, di tengah jalan mereka disergap. Setelah Cindi berhasil membobol sistem gangguan sinyal, dia segera menemukan celah untuk menerobos.Begitu ucapannya selesai, Leo langsung menyesuaikan komando dan bergerak cepat.Kapal tempur mereka menerobos pengepungan layaknya pisau tajam membelah air, meninggalkan kobaran api pertempuran di belakang.Suara dari alat komunikasi terdengar, “Lapor komandan, kapal penyelamat sudah terhubung! Selamat datang kembali!”“Selamat datang di rumah!”Cindi terengah-engah. Lalu karena tak sanggup menahan lelahnya, dia akhirnya jatuh terdudu

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 17

    Seminggu kemudian, penyelidikan terhadap Sukma selesai sepenuhnya dan polisi menyerahkan hasilnya kepada Zaki.Tatapannya terlihat rumit, tetapi Zaki tidak peduli dengan hal lainnya.Sukma mengakui semua yang diketahuinya dan berdasarkan ceritanya, sebuah tim khusus dikerahkan untuk menangkap semua organisasi bawah tanah yang belum melarikan diri.Sukma hanyalah bidak catur kecil, dengan tujuan melemahkan pertahanan Zaki, seorang ahli negosiasi krisis di markas tersebut, dan mengambil keuntungan bagi mereka.Bahkan memasang bahan peledak di kapal pun, juga mereka perintahkan pada Sukma.Zaki tiba-tiba berdiri, kursinya terjatuh dan mengeluarkan suara keras di lantai. Tanpa ragu, dia bergegas keluar pintu.“Aku ingin bertemu Sukma!”Sukma bahkan lebih lesu daripada terakhir kali Zaki melihatnya, dengan tatapan kosong seperti boneka. Zaki langsung menyerbu, meraih Sukma, dan berteriak, "Di mana Cindi?" Sukma bereaksi perlahan, melirik Zaki sejenak sebelum berkata dengan suara serak, "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status