Share

Bab 4

Author: Wisdan
Hari ketika naik ke kapal pesiar itu, cuacanya cerah.

Zaki berjalan berdampingan dengan Sukma, mereka tampak akrab dan berbincang dengan gembira, hingga Cindi tampak seperti orang asing di antara mereka.

Kapal pesiar dihiasi dengan mewah, seolah tengah menyambut perayaan besar.

Malam pun tiba. Zaki ternyata benar-benar menyiapkan makan malam bertema lilin romantis.

Cindi duduk di seberangnya, menarik napas dalam-dalam.

“Kebetulan, mari kita manfaatkan momen ini untuk bicara baik-baik.”

Zaki tersenyum, “Baik, coba steik dan anggur ini. Aku siapkan khusus untukmu.”

Wajahnya terlihat menyimpan kenangan manis.

“Aku masih ingat saat kencan pertama kita, kita makan steik. Tapi kamu nggak suka setengah matang, malah minta dimasak matang penuh. Ingat nggak, ekspresi pelayannya waktu itu? Haha.”

Cindi memotong steik perlahan, menyuapkan satu potong ke mulutnya sambil tersenyum dipaksakan.

Dia berkata lirih, “Ya, aku juga ingat hari itu. Kamu bilang akan selalu melindungiku, tak akan membiarkan aku terluka.”

Zaki tidak menyadari getir dalam nada suaranya. Cindi pun segera menenangkan diri.

“Aku ada beberapa hal ingin ....”

Namun, belum sempat dia lanjutkan, tiba-tiba dia merasa pusing.

Zaki berdiri cepat-cepat, menahannya, berkata lembut, “Cindi, kamu mabuk.”

Cindi merasa hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Anggur dalam steik itu tidak cukup kuat untuk membuatnya mabuk. Zaki menaruh sesuatu dalam makanannya?

Sebelum sempat ia pikirkan lebih jauh, kesadarannya menghilang dalam kegelapan.

Cindi terbangun dalam kondisi kesadarannya masih kabur. Kepalanya terasa berat, namun saat memori mulai kembali, kemarahan pun meledak.

Zaki berani memberinya obat?

Dia sadar berada di dalam kamar kapal pesiar. Setelah menenangkan diri, dia keluar kamar dengan langkah gontai dan di geladak kapal, terdengar suara sorak-sorai.

Di kejauhan, cahaya lilin dan lampu terang benderang. Tamu-tamu berkumpul, termasuk wajah-wajah familiar dari markas. Semua mengelilingi dua orang di tengah, Zaki dan Sukma.

Di belakang mereka, sebuah papan besar menyala terang bertuliskan “Sukma, Selamat Ulang Tahun.”

Tubuh Cindi membeku. Tangannya, kakinya, semuanya terasa membeku.

Tamu-tamu bersorak. Zaki memberi Sukma hadiah, mereka menyanyikan lagu ulang tahun, bersulang, tertawa bahagia.

Dari kejauhan, dia melihat jelas gerakan bibir Zaki, “Buatlah permohonan. Apa pun itu, aku akan mewujudkannya.”

Cindi lemas. Dia kembali ke kamar dengan susah payah, udara dingin menyerbu tubuhnya.

Jadi, seperti ini rupanya. Ternyata kapal pesiar ini bukan untuk merayakan ulang tahun pernikahan, melainkan untuk ulang tahun Sukma.

Zaki bahkan tega memberinya obat, hanya agar dia tidak mengganggu acara itu!

Malam makin larut. Suara keramaian akhirnya mereda. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka.

Langkah kaki itu ringan dan tidak seperti milik Zaki.

Sukma masuk, membawa sepotong kue ulang tahun.

“Aku tahu kamu sudah bangun. Aku lihat tadi kamu sempat keluar.”

Dia meletakkan kue di meja dengan senyum tinggi hati.

“Makan kuelah. Kamu pasti merasa sangat tidak enak hati sekarang, ‘kan?”

Dia berharap melihat amarah atau rasa sakit di wajah Cindi. Namun, yang dia temui adalah sosok tenang dengan punggung tegak, menatapnya dengan dingin dan datar.

“Bawa kuemu dan keluar.”

Ekspresi Sukma berubah. Wajahnya menggelap, suaranya terdengar sinis saat berkata, “Suamimu sendiri merayakan ulang tahunku dengan mewah. Kamu nggak mengerti apa artinya?”

“Kalau pun aku mengerti, lalu kenapa?” Cindi mengisyaratkan tangan untuk mengusir. Dia berkata, “Jangan ganggu aku istirahat. Urusan kalian berdua nggak ada hubungannya denganku.”

“Dan kamu juga gak perlu repot-repot datang menyatakan kemenangan. Aku dan Zaki, sudah nggak ada hubungan apa pun lagi.”

Sukma pun diusir dengan wajah tak senang. Cindi kembali ke tempat tidur.

Dia pikir tak akan bisa tidur. Namun, mungkin efek obat masih tersisa Cindi pun segera terlelap.

Dalam mimpi, ia mengingat ulang tahunnya yang pertama setelah menikah.

Zaki menutup matanya, lalu membawanya ke sebuah pulau.

“Pulau ini hadiah dariku untukmu. Kita akan saling mencintai selamanya, sampai laut mengering dan batu-batu ini hancur.”

Air mata mengalir di pipinya, bahkan di dalam mimpi.

Janji memang mudah diucapkan, tapi mencintai selamanya, sungguh sulit.

Keesokan paginya, Zaki sudah menyiapkan sarapan dan setangkai mawar.

Saat melihat Cindi bangun, dia tersenyum, seolah merasa sedikit bersalah.

“Cindi, cuma sepotong steik dan minuman saja sudah membuatmu mabuk. Apa kamu tahu, kalau aku sempat panik?”

Cindi diam. Tak bisa lagi berpura-pura.

Sepulang dari kapal, dia pergi ke bagian markas dan meminta surat pernyataan ‘status lajang’.

Setelah itu, dia kembali ke rumah dan hendak mengemasi barang-barang.

Namun, yang bisa dia bawa sangat sedikit, karena hampir semua barang menyimpan kenangan mereka berdua.

Di laci paling bawah, dia menemukan sebuah ponsel lama, yang dulu pernah dia ganti.

Anehnya, ponsel itu masih bisa menyala.

Saat memeriksanya, dia menemukan sebuah pesan keluar yang dikirim dari nomor ponsel itu.

[Jangan ganggu aku dan Zaki lagi. Lihat kamu saja sudah bikin aku jijik.]

Nomor itu dia kenal baik. Itu adalah nomor kakaknya, yang sudah beberapa tahun tak pernah dia hubungi.

Hatinya langsung jatuh ke jurang es.

Pesan itu, bukan darinya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 22

    Raut wajah Zaki tiba-tiba berubah bengis dan penuh amarah. Dia menatap Cindi dan berteriak keras, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Sekarang kamu menjadi kekasihnya? Kamu mau menikah dengannya?"Setiap pertanyaan yang dia ucapkan membuat matanya makin merah.Cindi menarik napas dalam, lalu menatapnya dingin.Cindi berkata, "Apa urusannya denganmu? Sekarang pergi!"Zaki membalas dengan suara lantang, "Kenapa? Padahal dulu orang yang paling kamu cintai adalah aku!"“Dilarang berteriak di rumah sakit!” Beberapa dokter dan perawat segera menghampiri dengan wajah kesal sambil berkata, “Pak, silakan keluar sekarang!”"Katakan, Cindi!"Zaki seakan sudah kehilangan kendali. Dia dengan cepat melangkah ke depan, hendak menarik tangan Cindi. Namun, tidak lama kemudian, pergelangan tangannya dikunci kuat oleh seorang petugas kepolisian. Dengan wajah dingin, polisi itu menunjukkan identitasnya."Zaki, Anda diduga terlibat langsung dalam kecelakaan ini. Mohon kerja sama Anda untuk penyelidikan."Cindi

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 21

    Cindi melangkah keluar dari ruangan, menatap bunga mawar merah cerah di tangannya, lalu berkata pelan, "Sebenarnya, kamu nggak perlu sengaja sampai seperti itu untuk membuat memancing emosinya."Leo membuka kancing atas seragam militernya dan menjawab dengan santai,"Memangnya nggak boleh kalau aku hanya ingin memberimu bunga?""Boleh." Cindi tersenyum kecil, dia melanjutkan, "Tapi aku tetap mau bilang, sekarang aku nggak perlu lagi cinta dari siapa pun untuk membuktikan nilai diriku."Leo sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. "Itu hal yang bagus.""Aku sudah bisa menyelamatkan diriku sendiri." Setelah mengatakannya, raut wajah Cindi terlihat damai. Awan mendung yang selama ini membayangi dirinya akhirnya sirna.Leo menatapnya dan melangkah mendekat, tapi tetap menjaga jarak yang pas."Tapi ... kamu nggak perlu menolak beberapa hal yang indah dalam hidup ini, ‘kan?"Leo menunjuk ke arah mawar di tangan Cindi dan berkata, "Seperti bunga ini, dia nggak akan jadi beban atau belenggu hany

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 20

    Cindi langsung pergi ke markas dan melaporkan Zaki dengan nama asli atas tuduhan melindungi penjahat dan melalaikan tugas serta kedisiplinan.Cindi memulihkan rekaman pengawasan di tangga dan langsung menjadikannya sebagai bukti langsung.Rekaman pengawasan dengan jelas menunjukkan Sukma mendorong Cindi hingga jatuh, sementara kesaksian Zaki saat itu menyatakan bahwa dia menyaksikan Cindi jatuh sambil mendorong Sukma.Cindi baru saja memberikan kontribusi besar dan tak seorang pun berani mengabaikan tuntutannya. Komandan langsung mengeluarkan perintah untuk segera menyelidiki masalah tersebut dan Zaki pun segera terkendali.Zaki tidak pernah tahu bahwa Cindi memiliki kemampuan seperti itu. Dia terkejut sekaligus sedih.Namun, Zaki tidak dapat membantah. Memang dialah yang menyakiti Cindi demi Sukma saat itu, dia sudah dibutakan oleh Sukma."Zaki, apa lagi yang ingin kamu katakan?"Zaki memejamkan mata, raut wajahnya dipenuhi kepahitan dan rasa sakit."Tidak ada."Dadanya seakan telah d

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 19

    Upacara pemberian penghargaan jauh lebih megah dari yang dibayangkan oleh Cindi. Misi yang mereka jalankan kali ini benar-benar luar biasa sukses. Dia berdiri di atas panggung bersama Leo dan yang lainnya, dengan medali kehormatan yang berat menggantung di pundaknya.Terdengar tepuk tangan bergemuruh dari bawah panggung. Di barisan paling depan, duduk kakaknya di atas kursi roda, bertepuk tangan sekuat tenaga dengan mata yang basah oleh air mata.Cindi tiba-tiba merasa ingin menangis.Dia seperti melihat bayangan ayah dan ibunya tidak jauh dari sana, berdiri dengan senyuman penuh kebanggaan di wajah. Cindi berkata dalam hati, “Aku nggak terus-menerus berjalan di jalan yang salah. Sekarang, apa kalian masih bisa merasa bangga padaku?”Komandan dan panglima berjabat tangan serta memeluknya. Setelah upacara selesai, Cindi menolak dengan halus ajakan ke pesta perayaan dan memilih berjalan sendirian di sepanjang jalan.“Cindi!”Suara yang sangat familiar itu menghantamnya seperti peluru. Ci

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 18

    Saat Cindi menutup laptop-nya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang memekakkan telinga dari belakangnya.Pada detik berikutnya, pergelangan tangannya ditarik dan dia langsung terlindungi dalam pelukan seseorang dengan tubuh yang lebar dan kokoh.Tanpa sempat berpikir panjang, dia segera berkata, “Sudah selesai, arah pukul dua!”Setelah keluar dari rumah sakit bersama sandera, mereka berencana kembali ke negara asal. Namun, di tengah jalan mereka disergap. Setelah Cindi berhasil membobol sistem gangguan sinyal, dia segera menemukan celah untuk menerobos.Begitu ucapannya selesai, Leo langsung menyesuaikan komando dan bergerak cepat.Kapal tempur mereka menerobos pengepungan layaknya pisau tajam membelah air, meninggalkan kobaran api pertempuran di belakang.Suara dari alat komunikasi terdengar, “Lapor komandan, kapal penyelamat sudah terhubung! Selamat datang kembali!”“Selamat datang di rumah!”Cindi terengah-engah. Lalu karena tak sanggup menahan lelahnya, dia akhirnya jatuh terdudu

  • Satu Kalimat Abadi yang Tak Berubah   Bab 17

    Seminggu kemudian, penyelidikan terhadap Sukma selesai sepenuhnya dan polisi menyerahkan hasilnya kepada Zaki.Tatapannya terlihat rumit, tetapi Zaki tidak peduli dengan hal lainnya.Sukma mengakui semua yang diketahuinya dan berdasarkan ceritanya, sebuah tim khusus dikerahkan untuk menangkap semua organisasi bawah tanah yang belum melarikan diri.Sukma hanyalah bidak catur kecil, dengan tujuan melemahkan pertahanan Zaki, seorang ahli negosiasi krisis di markas tersebut, dan mengambil keuntungan bagi mereka.Bahkan memasang bahan peledak di kapal pun, juga mereka perintahkan pada Sukma.Zaki tiba-tiba berdiri, kursinya terjatuh dan mengeluarkan suara keras di lantai. Tanpa ragu, dia bergegas keluar pintu.“Aku ingin bertemu Sukma!”Sukma bahkan lebih lesu daripada terakhir kali Zaki melihatnya, dengan tatapan kosong seperti boneka. Zaki langsung menyerbu, meraih Sukma, dan berteriak, "Di mana Cindi?" Sukma bereaksi perlahan, melirik Zaki sejenak sebelum berkata dengan suara serak, "K

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status