LOGINSienna kembali menarik tangan pria itu sekuat tenaga. Pria itu jelas memiliki fisik yang jauh lebih kuat, namun di ambang kebingungannya, ia membiarkan tubuhnya tertarik ke bawah, mendekat ke arah wajah Sienna.
Cahaya redup dari sisa bara api di perapian kini jatuh tepat di wajahnya, dan saat itulah Sienna melihatnya.
Sepasang mata itu.
Bukan cokelat, bukan biru, bahkan bukan hijau zamrud yang umum dimiliki bangsawan biasa. Iris mata pria itu berwarna merah darah yang menyala dalam kegelapan.
Darah di wajah Sienna seketika surut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tahu arti warna mata itu. Di seluruh kekaisaran ini, hanya mereka yang memiliki darah langsung keluarga Kekaisaran yang diberkati dengan mata semerah darah.
Sienna melepaskan cengkeramannya seolah tangan pria itu adalah bara api. Ia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan.
"Pernikahan apa maksudmu?" Pria itu bertanya, keningnya berkerut tajam. Tatapannya menuntut jawaban, jelas tidak mengerti apa hubungan antara melayani nafsunya dengan sebuah pernikahan.
Sienna memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar bukan lagi hanya karena dingin, tapi karena rasa takut.
Pikiran Sienna berputar liar. Apakah ia baru saja mencoba menjebak seorang anggota keluarga kekaisaran?
Tidak, Sienna bisa menyebutkan dua keluarga bangsawan yang memiliki mata yang persis seperti itu selain keluarga kekaisaran.
Dan semuanya sama berbahayanya.
Bagaimana jika pria ini sudah memiliki istri? Bagaimana jika istrinya adalah seorang Putri atau Duchess yang sudah jelas memiliki kedudukan sosial yang jauh lebih tinggi dari dirinya?
Jika itu terjadi, nasib Sienna tidak akan berubah. Ia hanya akan berpindah dari satu lubang neraka ke lubang neraka lainnya.
Sienna menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengusir keraguan itu. Tidak. Ia tidak boleh mundur sekarang. Yang terpenting saat ini adalah menggagalkan rencana Viscount Rohan. Resiko di depan matanya jauh lebih nyata daripada ketakutan akan status pria ini.
Lagipula Sienna tidak sedang berusaha menikahinya. Ia hanya perlu pria itu untuk mengambil kesuciannya.
"Saya akan dinikahi bangsawan tua yang sudah memiliki dua istri," ucap Sienna. Ia memaksakan dirinya untuk kembali menatap mata merah menyala itu, menelan rasa takutnya bulat-bulat.
"Jika saya menginjakkan kaki di rumah itu... jika pernikahan itu sah... saya akan mati di tangan kedua istrinya yang cemburu."
Pria itu terdiam. Hening yang mencekam mengisi ruangan itu. Namun, alih-alih simpati, ekspresi pria itu justru mengeras. Rahangnya mengatup rapat, dan kilatan marah terlihat jelas di mata merahnya.
"Jadi kau hanya ingin menggunakanku?" suaranya begitu rendah dan menusuk. "Kau kira aku pejantan yang bisa kau manfaatkan sesuka hatimu hanya karena kau butuh merusak dirimu sendiri?"
Pria itu mendengus kasar dan membuang muka dengan jijik. "Keluar!"
Bentakan itu membuat nyali Sienna menciut, tapi bayangan wajah Viscount Rohan yang menyeringai dan burung mati di depan pintu mansion keluarganya jauh lebih menakutkan.
Sienna tidak punya pilihan lain. Logika sudah meninggalkan kepalanya.
Dengan gerakan putus asa, Sienna maju dan kembali menyambar tangan pria itu. Ia menariknya turun dengan kasar, memejamkan mata rapat-rapat, dan melakukan usaha payah untuk menciumnya.
Ia tidak tahu caranya. Ia tidak pernah melakukannya.
Dug!
Alih-alih pertemuan bibir yang lembut, Sienna justru menabrakkan wajahnya terlalu keras. Gigi mereka beradu dengan bunyi yang nyaring dan menyakitkan.
Kepala Sienna berdengung hebat. Rasa sakit yang tajam menyengat bibirnya, dan rasa asin darah seketika merembes di lidahnya.
Sienna terkesiap dan mundur, memegang mulutnya yang terasa kebas. Air mata menggenang di sudut matanya karena rasa sakit fisik dan rasa malu yang tak tertahankan.
Pria itu juga mundur selangkah, tangannya menyentuh bibir bawahnya sendiri dengan ekspresi tidak percaya. Ia menatap jari-jarinya, memastikan tidak ada darah, lalu menatap Sienna dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bukan lagi kemarahan yang meledak-ledak, melainkan campuran antara rasa kaget dan... kasihan?
"Kau..." Pria itu mendesis pelan, namun nadanya tidak lagi setinggi tadi. Ia melihat Sienna yang kini berdiri dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi mulutnya sendiri. "Kau bahkan tidak tahu apa yangs sedang kau lakukan."
Pria itu menghela napas panjang, menyisir rambut hitamnya ke belakang dengan frustasi. Amarahnya pada kelancangan wanita itu entah kenapa menguap begitu melihat betapa menyedihkannya usaha Sienna barusan.
"Dengar," ucapnya, suaranya terdengar lebih berat dan lelah. "Jika kau sebegitu putus asanya ingin menghancurkan hidupmu sendiri... setidaknya lakukan dengan benar."
Sienna mendongak, matanya yang basah menatap pria itu bingung.
Tanpa peringatan, pria itu melangkah maju. Kali ini tidak ada keraguan dalam gerakannya. Satu tangannya melingkar di pinggang ramping Sienna, menarik wanita itu hingga tubuh mereka bertabrakan, sementara tangan lainnya menangkup rahang Sienna, memaksanya mendongak.
Jantung Sienna terasa hampir meledak. Aroma pria itu memenuhi indra penciumannya, memabukkan dan mengintimidasi di saat bersamaan.
"Jangan tutup matamu," bisik pria itu tepat di depan bibir Sienna yang bengkak. Mata merahnya menatap lurus ke dalam manik mata Sienna, menghipnotisnya. "Lihat siapa yang akan menghancurkanmu malam ini."
Dan sebelum Sienna sempat menarik napas, pria itu menunduk dan melumat bibirnya. Bukan benturan kasar seperti yang Sienna lakukan tadi, melainkan ciuman yang membuat lutut Sienna seketika terasa lemas seperti tak bertulang.
Tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya itu begitu kuat, membuat Sienna hampir terjatuh dari tempat tidurnya.Telinganya berdengung keras. Rasa asin darah merembes di sudut bibirnya, namun di balik rasa sakit yang menyengat itu, sebuah pemikiran melintas di benak Sienna.Ah... Berita itu sudah tersebar.Rencananya berhasil. Orang-orang di pub itu pasti sudah bergosip tentang dirinya.Namun, harapan Sienna hancur berkeping-keping detik berikutnya."Kau pikir kau pintar, hah?" Baron Borgia mencengkeram rahang Sienna, memaksanya menatap wajah ayahnya yang bengis. "Kau pikir dengan menghancurkan reputasimu, kau bisa lepas dari tanggung jawabmu pada keluarga ini?!"Napas ayahnya yang tercium seperti alkohol basi, membuat perut Sienna mual."Dengar baik-baik, Anak Sialan. Viscount Rohan sudah mendengar rumor memalukan itu. Tapi dia... dia pria yang sangat murah hati. Dia berbaik hati untuk tetap datang kemari pagi ini."Mata Sienna membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak."Apa...?" s
Sienna menghela napas panjang, bahunya merosot lega saat menyadari sosok yang memegang lilin itu hanyalah Marie.Satu-satunya pelayan yang tersisa di mansion milik keluarganya ini. Keluarga Marie sudah melayani keluarga Borgia sejak kakek Sienna masih memegang gelar Baron.Dan kesetiaanlah satu-satunya hal yang membuat Marie bertahan di rumah terkutuk ini, bekerja tanpa upah selama berbulan-bulan."Nona Sienna!" pekik Marie tertahan, matanya membelalak melihat kondisi nonanya."Ssshh!" Sienna meletakkan telunjuk di bibirnya dengan cepat, melarang Marie melanjutkan perkataannya atau membuat keributan yang bisa membangunkan kedua orang tuanya.Isyarat itu berhasil membuat Marie bungkam seketika. Wanita paruh baya itu mengangguk kaku sambil menutup mulut dengan tangannya sendiri, lalu segera membawa tubuhnya untuk mengikuti Sienna yang bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara derit lantai kayu tua yang menemani langkah mereka hingga sampai di ka
Sienna berteriak, punggungnya melengkung tanpa dapat ia kendalikan.Rasanya seolah seluruh tubuhnya dikoyak dari dalam. Rasa sakit yang tajam dan asing menusuk dirinya, menandakan bahwa sesuatu yang sakral telah direnggut paksa darinya.Akhirnya... akhirnya ia telah menjadi barang rusak yang tidak diinginkan.Air mata merembes dari sudut mata Sienna, meluncur turun membasahi bantal. Itu adalah air mata campuran antara rasa sakit fisik yang menyengat, rasa malu dan... kelegaan yang memenuhi rongga dadanya.Karena ia tahu, setelah ini, Viscount Rohan tidak akan lagi menginginkannya lagi. Namun, pria itu masih diam, dan Sienna tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Ingatan Sienna melayang pada percakapan saat ayahnya masih memiliki sedikit kekayaan, saat ia masih diizinkan duduk di pesta minum teh bersama putri bangsawan lainnya."Kau harus diam seperti mayat," bisik salah satu temannya dulu, wajahnya pucat saat menceritakan malam pertamanya. "Jika suamimu memintamu melayaniny
Sienna kembali menarik tangan pria itu sekuat tenaga. Pria itu jelas memiliki fisik yang jauh lebih kuat, namun di ambang kebingungannya, ia membiarkan tubuhnya tertarik ke bawah, mendekat ke arah wajah Sienna.Cahaya redup dari sisa bara api di perapian kini jatuh tepat di wajahnya, dan saat itulah Sienna melihatnya.Sepasang mata itu.Bukan cokelat, bukan biru, bahkan bukan hijau zamrud yang umum dimiliki bangsawan biasa. Iris mata pria itu berwarna merah darah yang menyala dalam kegelapan.Darah di wajah Sienna seketika surut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tahu arti warna mata itu. Di seluruh kekaisaran ini, hanya mereka yang memiliki darah langsung keluarga Kekaisaran yang diberkati dengan mata semerah darah.Sienna melepaskan cengkeramannya seolah tangan pria itu adalah bara api. Ia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan."Pernikahan apa maksudmu?" Pria itu bertanya, keningnya berkerut tajam. Tatapannya menuntut jawaban, jelas tidak mengerti apa hubungan ant
Ruangan itu gelap, satu-satunya sumber cahaya hanyalah sisa bara api di perapian yang nyaris mati, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.Di tengah keremangan itu, seorang pria duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya menuangkan alkohol ke gelas kristal di hadapannya.Begitu Sienna melangkah lebih dekat, pria itu menoleh sedikit. Wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan, namun Sienna bisa merasakan tatapannya yang tajam."Seseorang mengirimmu?" pria itu bertanya dengan nada yang begitu dingin. Sienna dapat merasakan ketidaksukaan dalam suaranya."I... iya... Tuan..." Sienna menunduk, meremas kain jubahnya dengan jari-jari yang berkeringat dingin. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus langsung membuka jubahnya?Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan santai.“Duduk.”Sienna berjalan dengan cepat dan menuju sofa. Ia duduk sedikit menjaga jarak dari pria itu, masih tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.Pria itu meraih gelas kristaln
“Penampilanmu membuat orang-orang tidak nyaman. Keluar jika kau tidak memiliki urusan.”Sienna mengintip wanita di hadapannya melalui ujung jubah yang ia tarik untuk menutupi wajahnya. Wanita itu terlihat berbeda dari wanita lain yang berada di pub itu.Jika wanita lain menggunakan gaun murahan dengan potongan dada yang rendah, wanita di hadapannya menggunakan gaun dan syal bulu hewan yang terlihat mahal.Apa ia ada pemilik tempat ini? Sienna pernah mendengarnya dulu, jika Sienna ingin melakukan rencananya, ia harus mencari wanita yang merupakan pemilik tempat itu.Sienna menelan ludah, merasakan kerongkongannya yang kering tercekat oleh rasa takut dan malu akan hal yang ingin ia katakan selanjutnya.“Saya ingin… menjual diri saya.”Kipas di tangan wanita itu berhenti bergerak.Hening sejenak di antara mereka, kontras dengan kegilaan yang terjadi di sekeliling. Pub itu sedang berada di puncak keramaiannya. Para ksatria yang baru pulang dari medan perang merayakan hidup mereka dengan







