LOGINRuangan itu gelap, satu-satunya sumber cahaya hanyalah sisa bara api di perapian yang nyaris mati, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.
Di tengah keremangan itu, seorang pria duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya menuangkan alkohol ke gelas kristal di hadapannya.
Begitu Sienna melangkah lebih dekat, pria itu menoleh sedikit. Wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan, namun Sienna bisa merasakan tatapannya yang tajam.
"Seseorang mengirimmu?" pria itu bertanya dengan nada yang begitu dingin. Sienna dapat merasakan ketidaksukaan dalam suaranya.
"I... iya... Tuan..." Sienna menunduk, meremas kain jubahnya dengan jari-jari yang berkeringat dingin. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus langsung membuka jubahnya?
Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan santai.
“Duduk.”
Sienna berjalan dengan cepat dan menuju sofa. Ia duduk sedikit menjaga jarak dari pria itu, masih tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.
Pria itu meraih gelas kristalnya, meneguk sisa cairan amber di dalamnya hingga tandas dalam sekali tegukan. Ia lalu menggeser gelas kosong itu ke arah Sienna.
“Tuangkan.”
Sienna tersentak pelan, namun segera meraih botol kristal berat yang ada di atas meja. Tangannya masih gemetar hebat karena ketidakmampuannya menabak apa yang akan terjadi malam ini.
Tring!
Bunyi denting nyaring terdengar saat bibir botol beradu dengan bibir gelas. Tangan Sienna yang licin oleh keringat dingin tergelincir, membuat botol mahal itu nyaris meluncur jatuh dari genggamannya.
“Ma… maafkan saya!” Sienna memekik tertahan, buru-buru menahan botol itu dengan kedua tangan dan menegakkannya kembali. Jantungnya berpacu liar, takut pria itu akan marah karena kecerobohannya.
Namun pria itu hanya mendengus, matanya melirik jubah tebal yang masih membungkus tubuh Sienna.
“Lepaskan benda itu,” perintahnya datar.
Sienna membeku. “A… apa?”
“Jubahmu,” pria itu menunjuk dengan dagunya. “Benda tebal itu membuat gerakanmu lamban dan ceroboh.”
Sienna menelan ludah. Ia tahu momen ini akan datang, dengan gerakan kaku Sienna membuka ikatan tali jubah di lehernya.
Perlahan, kain hitam kasar itu meluruh dari bahunya, jatuh menumpuk di pinggangnya, memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Hening.
Pria itu tidak segera bicara. Ia hanya menatap Sienna, memindai penampilannya dari atas ke bawah. Namun alih-alih tatapan penuh nafsu, alis tebal pria itu justru berkerut dalam, menyiratkan kebingungan yang bercampur dengan rasa tidak percaya.
“Kau…” Pria itu memiringkan kepalanya, nada suaranya terdengar sangsi. “Kau berniat menghibur seorang pria di atas ranjang dengan gaun… itu?”
Wajah Sienna seketika memerah padam, rasa panas menjalar hingga ke telinganya.
Ia menunduk, menatap gaun yang dikenakannya. Itu adalah gaun terbagus yang tersisa di lemarinya, namun di mata orang lain, itu tak lebih dari kain lusuh.
Gaun itu hanyalah gaun katun panjang berwarna pucat dengan potongan leher tinggi yang sangat konservatif. Tidak ada renda, tidak ada pita, tidak ada sulaman benang emas. Bahkan kainnya terlihat sudah menipis di bagian siku karena terlalu sering dicuci.
Sienna sadar, pelayan wanita di lantai bawah yang melayani para ksatria saja mengenakan gaun yang jauh lebih baru, lebih berwarna, dan lebih memikat daripada dirinya.
Dibandingkan seorang wanita penggoda, Sienna lebih terlihat seperti wanita miskin yang tersesat di rumah bordil.
“Hanya… hanya ini yang saya miliki,” cicit Sienna pelan, suaranya sarat akan rasa malu yang mendalam. Ia meremas rok gaunnya, berharap lantai di bawah kakinya terbuka dan menelannya bulat-bulat.
Pria itu hanya memandang Sienna sejenak sebelum berdiri dan berjalan menuju ranjang sambil membuka kancing kemejanya.
Inikah saatnya? Batin Sienna, ia ikut berdiri dari sofa dan mengikuti langkah pria itu. Tapi ia justru menghentikan langkahnya dan menatap Sienna dari balik bahunya.
“Keluar. Katakan pada Irene kau sudah melayaniku agar kau tetap dibayar. Aku juga akan mengatakan hal yang sama. Aku mau tidur.”
Sienna mematung. Pria itu berniat memberinya uang, tapi bukan itu yang menyelamatkan nyawanya. Jika ia keluar dalam keadaan utuh, Viscount Rohan tetap akan menikahinya.
Dan jika utusan dari kuil melihat darah di tempat tidur setelah malam pertamanya, pernikahan itu akan dianggap sah.
Kepanikan meledak di dada Sienna. Ia sudah tidak lagi peduli dengan rasa malunya. Sienna berlari dan mencengkeram lengan pria itu yang sudah tidak ditutupi oleh pakaiannya..
“Tunggu! Tidak bisa!”
Pria itu berhenti, menatap tangan Sienna yang lancang menyentuhnya dengan tatapan membunuh. “Lepaskan.”
“Tidak!” Sienna menggeleng. “Anda tidak mengerti! Saya tidak butuh uang! Jika anda tidak melakukannya pada saya, pernikahannya akan sah!”
Tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya itu begitu kuat, membuat Sienna hampir terjatuh dari tempat tidurnya.Telinganya berdengung keras. Rasa asin darah merembes di sudut bibirnya, namun di balik rasa sakit yang menyengat itu, sebuah pemikiran melintas di benak Sienna.Ah... Berita itu sudah tersebar.Rencananya berhasil. Orang-orang di pub itu pasti sudah bergosip tentang dirinya.Namun, harapan Sienna hancur berkeping-keping detik berikutnya."Kau pikir kau pintar, hah?" Baron Borgia mencengkeram rahang Sienna, memaksanya menatap wajah ayahnya yang bengis. "Kau pikir dengan menghancurkan reputasimu, kau bisa lepas dari tanggung jawabmu pada keluarga ini?!"Napas ayahnya yang tercium seperti alkohol basi, membuat perut Sienna mual."Dengar baik-baik, Anak Sialan. Viscount Rohan sudah mendengar rumor memalukan itu. Tapi dia... dia pria yang sangat murah hati. Dia berbaik hati untuk tetap datang kemari pagi ini."Mata Sienna membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak."Apa...?" s
Sienna menghela napas panjang, bahunya merosot lega saat menyadari sosok yang memegang lilin itu hanyalah Marie.Satu-satunya pelayan yang tersisa di mansion milik keluarganya ini. Keluarga Marie sudah melayani keluarga Borgia sejak kakek Sienna masih memegang gelar Baron.Dan kesetiaanlah satu-satunya hal yang membuat Marie bertahan di rumah terkutuk ini, bekerja tanpa upah selama berbulan-bulan."Nona Sienna!" pekik Marie tertahan, matanya membelalak melihat kondisi nonanya."Ssshh!" Sienna meletakkan telunjuk di bibirnya dengan cepat, melarang Marie melanjutkan perkataannya atau membuat keributan yang bisa membangunkan kedua orang tuanya.Isyarat itu berhasil membuat Marie bungkam seketika. Wanita paruh baya itu mengangguk kaku sambil menutup mulut dengan tangannya sendiri, lalu segera membawa tubuhnya untuk mengikuti Sienna yang bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara derit lantai kayu tua yang menemani langkah mereka hingga sampai di ka
Sienna berteriak, punggungnya melengkung tanpa dapat ia kendalikan.Rasanya seolah seluruh tubuhnya dikoyak dari dalam. Rasa sakit yang tajam dan asing menusuk dirinya, menandakan bahwa sesuatu yang sakral telah direnggut paksa darinya.Akhirnya... akhirnya ia telah menjadi barang rusak yang tidak diinginkan.Air mata merembes dari sudut mata Sienna, meluncur turun membasahi bantal. Itu adalah air mata campuran antara rasa sakit fisik yang menyengat, rasa malu dan... kelegaan yang memenuhi rongga dadanya.Karena ia tahu, setelah ini, Viscount Rohan tidak akan lagi menginginkannya lagi. Namun, pria itu masih diam, dan Sienna tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Ingatan Sienna melayang pada percakapan saat ayahnya masih memiliki sedikit kekayaan, saat ia masih diizinkan duduk di pesta minum teh bersama putri bangsawan lainnya."Kau harus diam seperti mayat," bisik salah satu temannya dulu, wajahnya pucat saat menceritakan malam pertamanya. "Jika suamimu memintamu melayaniny
Sienna kembali menarik tangan pria itu sekuat tenaga. Pria itu jelas memiliki fisik yang jauh lebih kuat, namun di ambang kebingungannya, ia membiarkan tubuhnya tertarik ke bawah, mendekat ke arah wajah Sienna.Cahaya redup dari sisa bara api di perapian kini jatuh tepat di wajahnya, dan saat itulah Sienna melihatnya.Sepasang mata itu.Bukan cokelat, bukan biru, bahkan bukan hijau zamrud yang umum dimiliki bangsawan biasa. Iris mata pria itu berwarna merah darah yang menyala dalam kegelapan.Darah di wajah Sienna seketika surut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tahu arti warna mata itu. Di seluruh kekaisaran ini, hanya mereka yang memiliki darah langsung keluarga Kekaisaran yang diberkati dengan mata semerah darah.Sienna melepaskan cengkeramannya seolah tangan pria itu adalah bara api. Ia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan."Pernikahan apa maksudmu?" Pria itu bertanya, keningnya berkerut tajam. Tatapannya menuntut jawaban, jelas tidak mengerti apa hubungan ant
Ruangan itu gelap, satu-satunya sumber cahaya hanyalah sisa bara api di perapian yang nyaris mati, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.Di tengah keremangan itu, seorang pria duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya menuangkan alkohol ke gelas kristal di hadapannya.Begitu Sienna melangkah lebih dekat, pria itu menoleh sedikit. Wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan, namun Sienna bisa merasakan tatapannya yang tajam."Seseorang mengirimmu?" pria itu bertanya dengan nada yang begitu dingin. Sienna dapat merasakan ketidaksukaan dalam suaranya."I... iya... Tuan..." Sienna menunduk, meremas kain jubahnya dengan jari-jari yang berkeringat dingin. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus langsung membuka jubahnya?Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan santai.“Duduk.”Sienna berjalan dengan cepat dan menuju sofa. Ia duduk sedikit menjaga jarak dari pria itu, masih tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.Pria itu meraih gelas kristaln
“Penampilanmu membuat orang-orang tidak nyaman. Keluar jika kau tidak memiliki urusan.”Sienna mengintip wanita di hadapannya melalui ujung jubah yang ia tarik untuk menutupi wajahnya. Wanita itu terlihat berbeda dari wanita lain yang berada di pub itu.Jika wanita lain menggunakan gaun murahan dengan potongan dada yang rendah, wanita di hadapannya menggunakan gaun dan syal bulu hewan yang terlihat mahal.Apa ia ada pemilik tempat ini? Sienna pernah mendengarnya dulu, jika Sienna ingin melakukan rencananya, ia harus mencari wanita yang merupakan pemilik tempat itu.Sienna menelan ludah, merasakan kerongkongannya yang kering tercekat oleh rasa takut dan malu akan hal yang ingin ia katakan selanjutnya.“Saya ingin… menjual diri saya.”Kipas di tangan wanita itu berhenti bergerak.Hening sejenak di antara mereka, kontras dengan kegilaan yang terjadi di sekeliling. Pub itu sedang berada di puncak keramaiannya. Para ksatria yang baru pulang dari medan perang merayakan hidup mereka dengan







