LOGINSienna berteriak, punggungnya melengkung tanpa dapat ia kendalikan.
Rasanya seolah seluruh tubuhnya dikoyak dari dalam. Rasa sakit yang tajam dan asing menusuk dirinya, menandakan bahwa sesuatu yang sakral telah direnggut paksa darinya.
Akhirnya... akhirnya ia telah menjadi barang rusak yang tidak diinginkan.
Air mata merembes dari sudut mata Sienna, meluncur turun membasahi bantal. Itu adalah air mata campuran antara rasa sakit fisik yang menyengat, rasa malu dan... kelegaan yang memenuhi rongga dadanya.
Karena ia tahu, setelah ini, Viscount Rohan tidak akan lagi menginginkannya lagi. Namun, pria itu masih diam, dan Sienna tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Ingatan Sienna melayang pada percakapan saat ayahnya masih memiliki sedikit kekayaan, saat ia masih diizinkan duduk di pesta minum teh bersama putri bangsawan lainnya.
"Kau harus diam seperti mayat," bisik salah satu temannya dulu, wajahnya pucat saat menceritakan malam pertamanya. "Jika suamimu memintamu melayaninya di tempat tidur, kau tidak boleh berteriak, bergerak, atau mengatakan apapun. Ibuku bilang, wanita terhormat tidak menikmati hal kotor seperti itu."
Seperti mayat. Benar, begitu. Itulah yang coba dilakukan oleh Sienna sejak tadi.
Tapi pria itu sudah mengambil kesuciannya, bukankah seharusnya ini sudah berakhir? Apakah seharusnya ia pergi? Atau haruskah ia menunggu pria itu melepaskannya?
Sienna merasa terjebak. Ia tidak dapat pergi ke mana-mana karena tubuh mereka masih bersatu.
Sienna berusaha mengangkat wajahnya, mencoba melihat ekspresi pria itu dalam kegelapan. Tapi ia tidak bisa. Pria itu membenamkan wajahnya di ceruk leher Sienna, nafasnya terdengar berat dan kasar, menyapu kulit bahu Sienna yang telanjang.
"Siapa namamu?" tanya pria itu akhirnya, suaranya terdengar serak di telinga Sienna.
Sienna berpikir sejenak di tengah kabut rasa sakitnya. Haruskah ia memberitahu namanya pada orang asing yang baru saja menghancurkannya?
"Siapa namamu?" desaknya lagi. Kali ini pria itu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke dalam mata Sienna yang basah.
Sienna menelan ludahnya, saat lagi-lagi manik matanya yang merah menatap Sienna.
"Si... Sienna."
"Sienna."
Sienna merasakan wajahnya memanas. Ada perasaan aneh yang menjalar di perutnya saat namanya disebut dengan nada seintim itu oleh bibir pria asing.
"Luca," ucap pria itu pelan sebelum mengecup rahang Sienna, membuat wanita itu tersentak.
"A... apa?" tanya Sienna, berusaha meredam suara aneh yang hampir keluar dari tenggorokannya.
"Namaku. Luca." ucapnya lagi sambil menurunkan ciumannya.
Kenapa pria ini belum berhenti? Ia sudah mengambil apa yang ia butuhkan, kenapa ia masih memeluk Sienna seerat ini?
"Aku akan mulai bergerak."
Sienna menatapnya dengan tatapan bingung. Saat Luca menarik pinggulnya sedikit menjauh, Sienna menghela nafas lega, mengira siksaan ini akhirnya berakhir.
Ia bermaksud untuk menggeser tubuhnya bangkit, ketika tiba-tiba pria itu menghentakkan dirinya kembali, menghujam lebih dalam dari sebelumnya.
"Aaahh..."
Suara itu lolos begitu saja dari bibirnya. Itu bahkan bukan teriakan, melainkan seperti suara yang keluar dari seseorang yang terlihat kehabisan nafas. Kepalanya kembali terbanting ke bantal, tenggelam dalam kelembutan kain yang kontras dengan kekasaran yang terjadi pada tubuhnya.
Sienna mencengkeram sprei sekuat tenaga, buku-buku jarinya memutih, matanya terbelalak dengan lebar. Ia tidak mengerti. Sungguh, ia tidak mengerti.
Kenapa pria ini tidak berhenti? Kenapa dia justru bergerak semakin intens?
Sienna kembali mengangkat tangannya, berniat menggigit punggung tangannya sendiri untuk meredam suara-suara memalukan yang terus mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia harus diam. Ia harus menjadi mayat.
Namun, tangan besar Luca segera mencegatnya.
Pria itu menarik tangan Sienna dari mulutnya, lalu menjalin jari-jari mereka di atas bantal. Mengunci Sienna sepenuhnya, merampas satu-satunya pertahanannya.
"Tuan... tolong..." isak Sienna, tapi bahkan ia pun tidak tahu apa yang ia mohon.
"Luca," koreksi pria itu tegas di sela nafasnya yang memburu. "Sebut namaku, Sienna."
Sienna masih menutup mulutnya. Air mata kembali mengalir dari sudut mata Sienna. Dunianya berputar, akal sehatnya perlahan terkikis oleh dominasi pria di atasnya. Dan di tengah badai itu, Sienna akhirnya menyerah.
Ia berhenti memikirkan perkataan temannya, ia berhenti mencoba menjadi mayat.
=
Sienna tidak memejamkan matanya sedetik pun malam itu.
Begitu Luca tertidur ia langsung menyelinap keluar. Ia sudah kembali mengenakan jubahnya saat langkahnya berhenti di ujung tangga. Malam semakin larut, tapi suara tawa masih terdengar.
Sienna menggenggam jubahnya sebelum akhirnya sesuatu menghantam pikirannya.
Ini saatnya. Batin Sienna. Jika ia ingin berita ini sampai ke telinga Viscount Rohan ia seharusnya memanfaatkan kerumunan ini.
Sienna akhirnya membuka jubahnya dan melangkah masuk ke kerumunan yang tersisa.
Satu kepala menoleh. Lalu dua. Lalu bisik-bisik mulai terdengar seperti dengungan.
"Hei, lihat itu..." Seorang ksatria dengan gelas bir di tangannya menyenggol temannya.
Mata-mata merah dan mabuk itu menatap Sienna dengan lapar sekaligus merendahkan. Mereka memindai penampilan Sienna yang berantakan, bukti nyata dari apa yang baru saja dilakukannya di lantai atas.
"Sudah kubilang kan, dia putri Baron Borgia," celetuk suara lain yang lebih keras, sengaja agar Sienna mendengarnya. "Wajahnya persis seperti ibunya yang sombong itu."
"Kasihan sekali," sambar temannya sambil terkekeh jahat. "Keluarganya sudah bangkrut total, tidak punya harta, dan sekarang... lihat dia. Dia pasti sudah sangat putus asa sampai harus menjajakan diri di tempat seperti ini."
"Kudengar tidak ada yang mau menikahinya karena dia tidak punya mahar. Tapi aku tidak menyangka dia akan jatuh sejauh ini, ternyata Baron Borgia membesarkan seorang pelacur, bukan seorang Lady."
Sienna berusaha mengabaikan suara-suara itu, begitu ia tiba di luar, Sienna mencoba berlari secepat mungkin. Ia menghentikan kereta kuda yang lewat dan meminta untuk diantarkan ke rumahnya.
Sienna mencoba masuk dari pintu belakang, akses para pelayan yang sudah lama rusak. Ia berusaha berjalan sepelan mungkin menuju lantai dua.
Sienna baru saja mencapai tangga ketika sebuah cahaya dari lilin tiba-tiba menerangi seluruh ruangan.
Tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya itu begitu kuat, membuat Sienna hampir terjatuh dari tempat tidurnya.Telinganya berdengung keras. Rasa asin darah merembes di sudut bibirnya, namun di balik rasa sakit yang menyengat itu, sebuah pemikiran melintas di benak Sienna.Ah... Berita itu sudah tersebar.Rencananya berhasil. Orang-orang di pub itu pasti sudah bergosip tentang dirinya.Namun, harapan Sienna hancur berkeping-keping detik berikutnya."Kau pikir kau pintar, hah?" Baron Borgia mencengkeram rahang Sienna, memaksanya menatap wajah ayahnya yang bengis. "Kau pikir dengan menghancurkan reputasimu, kau bisa lepas dari tanggung jawabmu pada keluarga ini?!"Napas ayahnya yang tercium seperti alkohol basi, membuat perut Sienna mual."Dengar baik-baik, Anak Sialan. Viscount Rohan sudah mendengar rumor memalukan itu. Tapi dia... dia pria yang sangat murah hati. Dia berbaik hati untuk tetap datang kemari pagi ini."Mata Sienna membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak."Apa...?" s
Sienna menghela napas panjang, bahunya merosot lega saat menyadari sosok yang memegang lilin itu hanyalah Marie.Satu-satunya pelayan yang tersisa di mansion milik keluarganya ini. Keluarga Marie sudah melayani keluarga Borgia sejak kakek Sienna masih memegang gelar Baron.Dan kesetiaanlah satu-satunya hal yang membuat Marie bertahan di rumah terkutuk ini, bekerja tanpa upah selama berbulan-bulan."Nona Sienna!" pekik Marie tertahan, matanya membelalak melihat kondisi nonanya."Ssshh!" Sienna meletakkan telunjuk di bibirnya dengan cepat, melarang Marie melanjutkan perkataannya atau membuat keributan yang bisa membangunkan kedua orang tuanya.Isyarat itu berhasil membuat Marie bungkam seketika. Wanita paruh baya itu mengangguk kaku sambil menutup mulut dengan tangannya sendiri, lalu segera membawa tubuhnya untuk mengikuti Sienna yang bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara derit lantai kayu tua yang menemani langkah mereka hingga sampai di ka
Sienna berteriak, punggungnya melengkung tanpa dapat ia kendalikan.Rasanya seolah seluruh tubuhnya dikoyak dari dalam. Rasa sakit yang tajam dan asing menusuk dirinya, menandakan bahwa sesuatu yang sakral telah direnggut paksa darinya.Akhirnya... akhirnya ia telah menjadi barang rusak yang tidak diinginkan.Air mata merembes dari sudut mata Sienna, meluncur turun membasahi bantal. Itu adalah air mata campuran antara rasa sakit fisik yang menyengat, rasa malu dan... kelegaan yang memenuhi rongga dadanya.Karena ia tahu, setelah ini, Viscount Rohan tidak akan lagi menginginkannya lagi. Namun, pria itu masih diam, dan Sienna tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Ingatan Sienna melayang pada percakapan saat ayahnya masih memiliki sedikit kekayaan, saat ia masih diizinkan duduk di pesta minum teh bersama putri bangsawan lainnya."Kau harus diam seperti mayat," bisik salah satu temannya dulu, wajahnya pucat saat menceritakan malam pertamanya. "Jika suamimu memintamu melayaniny
Sienna kembali menarik tangan pria itu sekuat tenaga. Pria itu jelas memiliki fisik yang jauh lebih kuat, namun di ambang kebingungannya, ia membiarkan tubuhnya tertarik ke bawah, mendekat ke arah wajah Sienna.Cahaya redup dari sisa bara api di perapian kini jatuh tepat di wajahnya, dan saat itulah Sienna melihatnya.Sepasang mata itu.Bukan cokelat, bukan biru, bahkan bukan hijau zamrud yang umum dimiliki bangsawan biasa. Iris mata pria itu berwarna merah darah yang menyala dalam kegelapan.Darah di wajah Sienna seketika surut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tahu arti warna mata itu. Di seluruh kekaisaran ini, hanya mereka yang memiliki darah langsung keluarga Kekaisaran yang diberkati dengan mata semerah darah.Sienna melepaskan cengkeramannya seolah tangan pria itu adalah bara api. Ia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan."Pernikahan apa maksudmu?" Pria itu bertanya, keningnya berkerut tajam. Tatapannya menuntut jawaban, jelas tidak mengerti apa hubungan ant
Ruangan itu gelap, satu-satunya sumber cahaya hanyalah sisa bara api di perapian yang nyaris mati, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.Di tengah keremangan itu, seorang pria duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya menuangkan alkohol ke gelas kristal di hadapannya.Begitu Sienna melangkah lebih dekat, pria itu menoleh sedikit. Wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan, namun Sienna bisa merasakan tatapannya yang tajam."Seseorang mengirimmu?" pria itu bertanya dengan nada yang begitu dingin. Sienna dapat merasakan ketidaksukaan dalam suaranya."I... iya... Tuan..." Sienna menunduk, meremas kain jubahnya dengan jari-jari yang berkeringat dingin. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus langsung membuka jubahnya?Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan santai.“Duduk.”Sienna berjalan dengan cepat dan menuju sofa. Ia duduk sedikit menjaga jarak dari pria itu, masih tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.Pria itu meraih gelas kristaln
“Penampilanmu membuat orang-orang tidak nyaman. Keluar jika kau tidak memiliki urusan.”Sienna mengintip wanita di hadapannya melalui ujung jubah yang ia tarik untuk menutupi wajahnya. Wanita itu terlihat berbeda dari wanita lain yang berada di pub itu.Jika wanita lain menggunakan gaun murahan dengan potongan dada yang rendah, wanita di hadapannya menggunakan gaun dan syal bulu hewan yang terlihat mahal.Apa ia ada pemilik tempat ini? Sienna pernah mendengarnya dulu, jika Sienna ingin melakukan rencananya, ia harus mencari wanita yang merupakan pemilik tempat itu.Sienna menelan ludah, merasakan kerongkongannya yang kering tercekat oleh rasa takut dan malu akan hal yang ingin ia katakan selanjutnya.“Saya ingin… menjual diri saya.”Kipas di tangan wanita itu berhenti bergerak.Hening sejenak di antara mereka, kontras dengan kegilaan yang terjadi di sekeliling. Pub itu sedang berada di puncak keramaiannya. Para ksatria yang baru pulang dari medan perang merayakan hidup mereka dengan







