Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 13: Lelaki dari Jalur Ketiga

Share

Bab 13: Lelaki dari Jalur Ketiga

Author: Ragil Avelin
last update Huling Na-update: 2025-06-23 09:30:09

Langkahnya mantap, namun tidak mengancam. Pria itu berjalan melewati gerbang yang runtuh seperti sedang melangkahi garis batas antara dunia mimpi dan dunia darah. Rambutnya panjang, hitam seperti malam tanpa bintang, dan matanya… bukan emas, bukan merah. Tapi campuran keduanya, seperti dua matahari yang pernah saling melukai.

Kara menahan napas. Tubuhnya tahu lebih dulu daripada pikirannya: pria itu bukan asing. Bukan pula seseorang dari masa lalu. Ia adalah sesuatu yang belum pernah ada… tapi sudah terlalu lama ditunggu.

“Apa kau… bagian dari penglihatan?” tanya Kara perlahan.

Pria itu menggeleng. Suaranya lembut, namun dalamnya seperti gemuruh tanah sebelum gempa.

“Aku nyata. Tapi hanya bisa muncul setelah kau membuka jalur ketiga dalam dirimu.”

“Siapa kau?” tatap Kara tajam. “Naga? Manusia? Atau…”

“Akulah batas,” jawabnya. “Yang berdiri di antara kehancuran dan keselamatan. Kau bisa memanggilku… Aurel.”

Kara mundur se
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 90: Api di Tengah Batu

    Kota Tanpa Warna tak lagi senyap.Bukan karena suara langkah atau denting senjata.Tapi karena sesuatu yang jauh lebih penting mulai hidup kembali:niat.Di tengah reruntuhan pusat kendali,di mana suara Saira mengguncang lebih dalam daripada teriakan perang,Theoran berdiri di atas batu besar—seperti seorang penjaga waktu yang siap menyerahkan jam pasirnyapada generasi yang cukup gila untuk berharap lagi.“Kau ingin membangun ulang kota ini, Arven,” ucapnya.“Lalu apa yang akan kau jadikan pondasinya?Rasa bersalah?Janji lama?Atau hanya semangat yang mudah padam saat terhempas?”Arven melangkah ke tengah lingkaran.Tak lagi sendiri.Saira berdiri di sisinya,Renai dan Elma sedikit di belakang,sementara Firen memegang peta tua dengan titik-titik merah yang telah pudar.Semua mata tertuju padanya.Tapi tak ada yang lebih berat dari tatapan masa depan—karena itu tak bisa ditawar.

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 89: Saksi dari Tanah

    Suara lonceng itu masih terpantul di dinding kota ketika tanah di sekitar lingkaran batu mulai bergetar perlahan.Retakan kecil merambat seperti akar tua,membelah lantai yang sebelumnya tampak padat.Udara jadi lebih pekat—tidak berdebu,tapi penuh bisikan yang tidak diucapkan oleh mulut siapa pun.Renai memegang pedangnya erat,meskipun ia tahu senjata itu tak akan banyak berguna.Firen menatap ke sekeliling,siaga.Elma justru berdiri paling tenang—karena ia tahu ini bukan tentang kekuatan fisik,melainkan tentang keberanian menatap luka yang sudah membatu.Arven berdiri paling dekat dengan Theoran.Ia tidak bergerak,tidak bicara.Tapi dalam diamnya,semua rasa bersalah,semua penyesalan,semua kehormatan yang telah dicabik waktu…tampak seperti berkumpul di sorot matanya.Dari dalam retakan,muncul kabut tipis.Kabut itu tidak dingin.Justru hangat.Seolah berasa

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 88: Kota Tanpa Warna

    Kota Besi tak lagi berdiri megah seperti yang diceritakan Arven.Dulu katanya, dinding-dinding kota bersinar saat matahari menyentuhnya,dan suara denting logam di pagi hari adalah tanda kehidupan.Tapi kini…Yang tersisa hanyalah sunyi.Renai melangkah perlahan di antara koridor yang dipenuhi bayangan,matanya menangkap ukiran-ukiran setengah hilang di tiang-tiang penyangga.Di tempat ini,kemegahan terasa seperti mimpi buruk yang belum selesai,dan jejak kaki masa lalu masih membekasseolah meminta disadari…tapi tidak disentuh.“Ini bukan kota,ini adalah makam terbuka,”bisik Firen di sampingnya.Tapi Arven—yang kini tampak lebih diam dari biasanya—menggeleng.“Tidak, ini bukan makam.Ini cangkang.Dan kita belum tahu apakah jiwanya masih hidup…atau sudah lama pergi.”Mereka mencapai pusat kota—sebuah ruang bundar besar yang dulunya adalah forum rakyat.Sekarang, rumput

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 87: Gerbang yang Tak Pernah Ditutup

    Perjalanan dimulai saat fajar,ketika embun masih enggan melepaskan dirinya dari rumput,dan dunia belum memutuskanapakah hari ini akan menjadi terang…atau justru kembali kelabu.Firen memimpin barisan kecil yang terdiri dari delapan orang.Renai berjalan di sisinya,sementara lelaki asing—yang kini mereka panggil Arven—menjadi penunjuk jalan.Tak banyak yang mereka bawa.Hanya air, cadangan makanan,dan satu benda yang paling berat meski tak seberat batu:sebuah kunci logam tua,berisi kenangan dari dunia yang nyaris melupakan mereka.Tak ada sambutan meriah saat mereka berangkat.Tak ada perpisahan dramatis.Hanya beberapa anggukan,beberapa kata singkat,dan satu kalimat dari anak kecil bernama Kavi:“Kalau kalian takut di tengah jalan,ingat bahwa kami tidak menunggu pahlawan pulang—kami menunggu keluarga.”Kalimat itu menemani langkah mereka menyusuri jalur utara,

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 86: Yang Datang Tanpa Nama

    Langit pagi itu mendung.Tapi bukan mendung yang mengancam hujan,melainkan mendung yang membuat segala sesuatu terasalebih lambat…lebih dalam.Orang-orang berkumpul di tumpukan batu.Di tengah mereka,papan yang ditancapkan kemarin masih berdiri,tulisannya belum pudar.Tapi mata mereka…tak seyakinkan saat pertama kali menulis kata “selamat datang.”Dari kejauhan,suara langkah terdengar.Lambat.Berat.Tidak tergesa—tapi juga tidak ragu.Seorang laki-laki muncul dari balik kabut.Wajahnya tidak asing,tapi bukan karena dikenal.Melainkan karena wajahnya seperti dunia lama itu sendiri—penuh luka, penuh ingatan,penuh keinginan untuk lupa.Ia mengenakan mantel panjang,berwarna kusam,dengan garis sobek di bagian lengannya.Tak membawa apa pun,kecuali tatapan yang sulit dibaca:bukan marah,bukan takut,tapi seperti orang yang sudah kehabi

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 85: Rumah yang Tak Pernah Dibangun

    Fajar menyelinap perlahan ke atas tanah yang masih lembap.Kabut belum sepenuhnya pergi,tapi suara langkah kaki sudah terdengar di antara semak dan akar.Renai membawa pot kecil berisi tanah baru.Di dalamnya,bibit dari tanaman yang tidak diketahui namanya.Ia menaruhnya di samping pohon muda yang dulu nyaris mati.Tak ada upacara,tak ada kata-kata,hanya desahan lembut,seperti doa yang tidak perlu Tuhan untuk dikabulkan.Firen berdiri beberapa langkah di belakangnya,membawa lembaran kayu yang sudah diukir rapi.Isinya bukan hukum,bukan peringatan.Tapi cerita.Satu paragraf dari seorang anak yang kehilangan ibunya,satu kalimat dari perempuan tua yang duduk di sisi sungai,dan satu catatan kecil dari seorang pemuda yang berkata:“Kalau aku pernah membuat dunia ini sedikit lebih hangat,aku tak butuh dikenang sebagai siapa-siapa.”Mereka menggantungkan kayu itu di sebuah tia

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status