Langit tidak hanya mendung.
Ia membuka matanya.Awan hitam itu bukan sekadar awan. Mereka bergulung seperti arus bawah laut yang pernah menelan benua pertama. Di tengah pusarannya, terbentuk sebuah celah—retakan berdarah yang meneteskan cahaya gelap. Cahaya yang tidak menyinari, melainkan menolak untuk dipahami.Valen menatap ke atas, napasnya tertahan. “Itu… bukan dari dunia ini.”Kara berdiri di ujung lembah. Tubuhnya masih menyimpan luka emosional dari pertemuan dengan Alvar. Tapi jiwanya tak gentar. Ia tahu bahwa cinta bisa menyelamatkan… atau melemahkan. Dan kali ini, ia harus berdiri tanpa keduanya.Dari celah langit, keluar satu bentuk perlahan.Bukan naga. Bukan dewa. Bahkan bukan bayangan.Ia adalah bentuk sebelum bentuk. Nama sebelum nama.Bentuk itu berdenyut. Tidak punya wajah, tapi memiliki mata di segala arah. Tidak punya mulut, tapi suaranya menembus darah semua makhluk yang hidup.“Aku aPagi di Veydran datang tanpa aba-aba.Langit bersih.Awan seputih serpihan mimpi.Tanah bergetar pelan, tapi bukan karena ancaman.Melainkan karena ia harus menyesuaikan dirinya pada realita yang tak lagi seperti kemarin.Kaelira duduk bersila di antara akar pohon waktu yang kini lebih kecil dan bersinar lembut. Sang bayi, yang kini tidur di pelukannya, tak tampak seperti makhluk yang baru saja menolak tahta dewa dan menulis ulang jalur semesta.Ia hanya terlihat seperti bayi biasa—kulit hangat, napas tenang, jemari mungil yang kadang menggenggam angin.Tapi Kaelira tahu…semuanya telah berubah.Lyrian duduk tak jauh dari mereka. Tatapannya tajam, tapi bukan karena amarah—lebih pada kesadaran bahwa apa yang mereka jaga sekarang bukan lagi sekadar anak. Melainkan inti dari keseimbangan yang baru. Dan dalam keseimbangan, satu gerakan kecil bisa menggeser dunia.“Dia… sudah memilih,” kata Anara pelan, berdiri bersandar pa
Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…
Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter