Home / Fantasi / Satu Malam dengan Raja Naga / Bab 5: Sayap yang Membelah Dosa

Share

Bab 5: Sayap yang Membelah Dosa

Author: Ragil Avelin
last update Last Updated: 2025-06-19 19:04:51

Langkah Kara berderap mundur di atas batu obsidian, napasnya tercekat ketika siluet bersayap itu turun dari langit merah retak. Sayapnya bukan dari bulu, tapi dari tulang dan cahaya—seperti cahaya senja yang membeku dalam bentuk yang menyakitkan.

“Siapa itu?” Kara bertanya cepat, matanya tak lepas dari makhluk yang semakin jelas bentuknya.

Draven tak menjawab segera. Sorot matanya tajam, seperti mata elang sebelum mencabik mangsa.

“Penjaga batas antara dunia naga dan dunia manusia,” jawabnya akhirnya. “Dahulu ia adalah pelindung... sekarang ia pemburu.”

Makhluk itu mendarat tanpa suara, meskipun sayapnya lebih besar dari gerbang istana. Wajahnya tampak seperti perpaduan manusia dan binatang; cantik dalam cara yang mengancam, indah dalam bentuk yang membuat lutut lemas.

“Putri keturunan darah ganda,” suaranya keluar dari rongga dada, bukan dari mulut. Suara itu bergema, seperti desir angin di ngarai curam. “Kau telah dipanggil sebelum waktumu.”

Kara menelan ludah, “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan...”

“Sama seperti ibumu,” jawab makhluk itu. “Menyentuh api tanpa tahu bentuk apinya. Kau akan terbakar, seperti dia.”

“Jangan bawa ibuku dalam ini,” desis Kara, matanya menyipit. “Aku tidak seperti dia.”

Makhluk bersayap itu tersenyum kecil. “Tapi darahnya mengalir di nadimu. Dan darah itu... milik kami.”

Seketika udara menegang. Batu-batu di sekitar Kara mulai memanas, dan bayangan api menyala samar dari balik tubuh makhluk itu.

Draven bergerak cepat, berdiri di antara Kara dan sosok bersayap itu.

“Dia belum siap,” katanya. “Dan kau tak punya hak untuk menyeretnya ke dalam perjanjian yang telah hancur seribu tahun lalu.”

“Tidak ada yang hancur,” bisik makhluk itu. “Yang ada hanya warisan... yang kini menuntut untuk ditagih.”

Tubuh Kara bergetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya seperti ikut bangkit. Ia bisa mendengar gemuruh jauh di dalam dadanya, seperti suara air yang menabrak batu—liar, tak bisa dikendalikan.

“Apa yang kalian inginkan dariku?” Kara bertanya, suaranya pelan tapi jelas.

Makhluk itu memiringkan kepala, lalu berkata, “Darahmu. Keputusanmu. Dan ketika saatnya tiba... takhta yang telah lama kosong.”

---

Kara menatap Draven, dan untuk pertama kalinya ia melihat ketegangan nyata di wajah pria itu. Biasanya ia menyimpan semuanya di balik dinginnya mata dan senyum sinis, tapi kali ini—Draven tampak seolah sedang mempertaruhkan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

“Aku tidak akan ikut kalian,” Kara mengucapkannya dengan yakin, meski jantungnya berdegup kacau.

Makhluk bersayap itu tersenyum lembut, seolah mendengar suara anak kecil yang mencoba menentang badai.

“Kau sudah memilih begitu kau menginjakkan kaki di tanah ini.”

“Tidak,” Kara membalas cepat. “Aku hanya mengikuti seseorang yang menculikku—”

“Dia tidak menculikmu,” potong makhluk itu.

Draven diam.

“Dia membangunkanmu.”

Kata-kata itu menampar seperti cambuk. Kara menoleh ke Draven, ingin membantah... tapi sorot mata pria itu menyimpan pengakuan yang tak terucap.

“Apa maksudnya?” bisik Kara.

Draven mendekat, suaranya rendah. “Kau pikir kau hanya manusia yang tersesat di istana? Tidak. Darahmu telah menyala sejak malam itu. Sejak malam kita... bersentuhan.”

Pipi Kara memanas, tapi bukan karena malu. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih primal. Sentuhan itu bukan hanya gairah, tapi kunci. Dan kuncinya telah membuka sesuatu dalam dirinya.

Makhluk itu mengangkat tangannya. Dari tanah, muncullah lingkaran sihir merah yang mulai menyala di bawah kaki Kara.

Draven mengangkat tangan, tapi makhluk itu hanya tersenyum.

“Dia sudah masuk dalam lingkaran. Sekarang... hanya dia yang bisa memutuskan ke mana dia pergi.”

Api dari lingkaran naik, menyelubungi Kara sampai ke lututnya. Tapi yang terasa bukan panas. Melainkan kenangan. Potongan-potongan masa kecilnya yang terlupa: mimpi tentang langit terbakar, suara-suara berbisik dari dalam sumur tua, dan mata ibunya... mata yang berair saat melihatnya tertidur di malam bulan merah.

“Aku... aku ingat...” Kara memejamkan mata. “Ibu bilang, darahku akan membawaku pada dua dunia. Tapi aku tak pernah percaya... sampai sekarang.”

Makhluk bersayap itu melangkah maju. “Maka pilihlah. Dunia mana yang akan kau bakar terlebih dahulu?”

Draven menggenggam lengan Kara. “Jangan percaya apa pun yang keluar dari mulutnya. Pilih dengan hatimu, bukan darahmu.”

Kara menatap keduanya, api semakin membungkus tubuhnya. Wajahnya pucat, tapi matanya... menyala.

“Aku...”

Sebelum ia bisa mengucapkan pilihan itu, api menyambar lebih tinggi. Cahaya merah menelan tubuh Kara dalam sekejap.

Dan dalam detik terakhir sebelum semuanya redup, hanya satu suara yang tersisa di udara:

“Dia sudah memilih... dan bukan salah satu dari kita.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 180 – Akhir dan Awal Baru

    Langit pagi yang cerah menyambut pasukan Aeryn dengan nuansa yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Udara segar menyusup ke dalam paru-paru, mengusir sisa-sisa kelelahan yang tertinggal dari pertempuran panjang dan melelahkan. Namun, di balik kedamaian sementara ini, ada beban berat yang masih terasa di pundak semua orang. Aeryn berdiri di puncak bukit kecil, menatap jauh ke arah medan perang yang kini dipenuhi dengan reruntuhan dan bekas luka. Wajahnya menunjukkan garis-garis kelelahan yang dalam, tetapi matanya tetap menyala dengan tekad yang tidak pernah padam. Ia tahu hari ini adalah hari terakhir yang akan menentukan nasib mereka semua. Para komandan mulai berkumpul di sebuah meja besar yang terbuat dari kayu tua di tenda pusat komando. Valtherion, dengan sikapnya yang tenang dan penuh kewibawaan, membuka peta pertempuran yang sudah lusuh, menunjuk titik-titik strategis yang harus mereka kuasai untuk mengakhiri konflik ini. “Kita sudah melewati banyak hal bersama,” ucap Val

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 179 – Menyongsong Fajar Terakhir

    Udara pagi terasa lebih berat hari itu, seperti menahan napas sebelum badai besar datang. Aeryn berdiri di puncak bukit, memandang medan pertempuran yang kini mulai berbenah setelah gelombang serangan terakhir. Setiap langkah pasukannya penuh luka, namun semangat mereka tetap membara, menyongsong fajar terakhir yang akan menentukan segalanya.Komandan-komandan berkumpul di sekitar meja kayu besar, membahas strategi pamungkas yang harus dijalankan tanpa celah. Valtherion dengan serius menunjukkan rencana serangan balik yang akan memanfaatkan titik lemah musuh yang sudah ditemukan.“Ini adalah kesempatan terakhir kita, jika gagal, semua akan berakhir,” ucap Valtherion dengan nada berat namun penuh keyakinan.Aeryn mengangguk, menyadari beban yang kini berada di pundaknya. “Kita harus bertarung bukan hanya dengan kekuatan, tapi dengan hati dan jiwa. Untuk semua yang kita cintai dan perjuangkan.”Di sudut lain, Althea dan Serat menyiapkan sihir-sihir

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 178 – Bayangan Gelap yang Mengintai

    Senja merekah di balik pegunungan, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah darah yang menandakan pertarungan yang belum usai. Aeryn berdiri di atas bukit, menatap jauh ke arah medan perang yang mulai tenang namun menyisakan aroma darah dan asap. Meski suara pertempuran mereda, ketegangan di udara justru semakin pekat.Di balik kehancuran dan reruntuhan, bayangan-bayangan gelap mengintai, menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan mendadak yang bisa mengguncang mental dan fisik pasukan mereka. Aeryn tahu, musuh tidak akan menyerah begitu saja. Mereka adalah bayangan kegelapan yang terus mengintai tanpa henti.Para komandan berkumpul di sekitar api unggun besar, membahas laporan terbaru dan merancang strategi menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Valtherion membuka peta pertempuran dengan tangan mantap, menunjuk beberapa titik yang menurutnya rawan disusupi pasukan bayangan.“Kita harus waspada di sisi utara,” ucap Valtherion dengan suara te

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 177 – Cakrawala Baru yang Membara

    Langit pagi menyambut pasukan Aeryn dengan semburat jingga yang menggoda harapan. Setelah gelombang serangan yang melelahkan, kini saatnya merancang langkah baru di atas medan yang penuh bekal luka.Aeryn berdiri di tengah perkemahan, mengamati wajah-wajah penuh kelelahan namun tak kehilangan semangat. Setiap tetes keringat dan darah menjadi saksi betapa berat perjuangan yang mereka jalani demi masa depan yang lebih baik.Valtherion, dengan ekspresi penuh tekad, mendekat dan membuka peta peperangan yang sudah usang. “Musuh mulai merespons dengan taktik baru. Mereka memusatkan kekuatan di sisi barat, berusaha menembus pertahanan kita.”Aeryn mengangguk, menimbang setiap informasi dengan seksama. “Kita harus memperkuat pertahanan di sisi itu, dan siapkan serangan balasan yang mengejutkan.”Althea dan Serat, dengan cekatan, mulai mengatur strategi gabungan antara pasukan darat dan sihir. Mereka memetakan medan dengan teliti, mencari celah yang bisa d

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 176 – Gelombang Baru di Tengah Perang

    Fajar menyingsing, membawa cahaya baru yang menerangi medan perang yang masih hangat oleh sisa-sisa pertempuran. Aeryn berdiri di tengah pasukan, merasakan getaran semangat yang berbeda. Bala bantuan dari kerajaan tetangga akhirnya tiba, menambah kekuatan yang sangat dibutuhkan.Pasukan baru itu terdiri dari prajurit terlatih, pemanah yang lihai, dan penyihir yang membawa energi magis kuat. Mereka langsung bergabung dengan barisan yang sudah lelah, menyuntikkan harapan baru di tengah kegelapan.Valtherion menyapa komandan bala bantuan dengan hormat, mengatur formasi baru yang lebih kuat dan kompak. “Kita harus memanfaatkan momentum ini untuk menyerang balik,” katanya dengan suara tegas.Aeryn memandang sekeliling, menatap wajah-wajah yang penuh semangat dan tekad. “Ini saatnya kita buktikan bahwa perlawanan kita tidak sia-sia,” ucapnya dengan suara yang menggelegar di tengah kerumunan.Althea dan Serat segera mengambil posisi, mengkoordinasikan pa

  • Satu Malam dengan Raja Naga   Bab 175 – Titik Balik di Tengah Kegelapan

    Udara dingin pagi itu menggigit kulit, tapi di dalam hati Aeryn justru membara sebuah tekad yang tak pernah padam. Setelah malam yang panjang penuh dengan peperangan dan siasat, kini saatnya merefleksikan apa yang telah terjadi dan mempersiapkan langkah berikutnya. Pemandangan di medan perang masih menyisakan jejak kehancuran. Reruntuhan kayu, perisai pecah, dan pedang yang tertancap di tanah menjadi saksi bisu pertarungan sengit semalam. Namun yang paling mencolok adalah barisan pasukan yang masih tegap berdiri, meskipun wajah mereka tampak letih dan penuh luka. Aeryn berdiri di atas batu besar, matanya menatap cakrawala yang mulai memerah tanda fajar menyingsing. Di sampingnya, Valtherion menyilangkan tangan, menatap peta perang yang dibentangkan di hadapan mereka. “Kita sudah melewati malam tersulit,” ujar Valtherion dengan suara berat. “Tapi ancaman sebenarnya masih di depan mata.” Aeryn mengangguk perlahan, menggenggam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status