Langkah Kara berderap mundur di atas batu obsidian, napasnya tercekat ketika siluet bersayap itu turun dari langit merah retak. Sayapnya bukan dari bulu, tapi dari tulang dan cahaya—seperti cahaya senja yang membeku dalam bentuk yang menyakitkan.
“Siapa itu?” Kara bertanya cepat, matanya tak lepas dari makhluk yang semakin jelas bentuknya. Draven tak menjawab segera. Sorot matanya tajam, seperti mata elang sebelum mencabik mangsa. “Penjaga batas antara dunia naga dan dunia manusia,” jawabnya akhirnya. “Dahulu ia adalah pelindung... sekarang ia pemburu.” Makhluk itu mendarat tanpa suara, meskipun sayapnya lebih besar dari gerbang istana. Wajahnya tampak seperti perpaduan manusia dan binatang; cantik dalam cara yang mengancam, indah dalam bentuk yang membuat lutut lemas. “Putri keturunan darah ganda,” suaranya keluar dari rongga dada, bukan dari mulut. Suara itu bergema, seperti desir angin di ngarai curam. “Kau telah dipanggil sebelum waktumu.” Kara menelan ludah, “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan...” “Sama seperti ibumu,” jawab makhluk itu. “Menyentuh api tanpa tahu bentuk apinya. Kau akan terbakar, seperti dia.” “Jangan bawa ibuku dalam ini,” desis Kara, matanya menyipit. “Aku tidak seperti dia.” Makhluk bersayap itu tersenyum kecil. “Tapi darahnya mengalir di nadimu. Dan darah itu... milik kami.” Seketika udara menegang. Batu-batu di sekitar Kara mulai memanas, dan bayangan api menyala samar dari balik tubuh makhluk itu. Draven bergerak cepat, berdiri di antara Kara dan sosok bersayap itu. “Dia belum siap,” katanya. “Dan kau tak punya hak untuk menyeretnya ke dalam perjanjian yang telah hancur seribu tahun lalu.” “Tidak ada yang hancur,” bisik makhluk itu. “Yang ada hanya warisan... yang kini menuntut untuk ditagih.” Tubuh Kara bergetar, bukan karena takut, tapi karena sesuatu dalam dirinya seperti ikut bangkit. Ia bisa mendengar gemuruh jauh di dalam dadanya, seperti suara air yang menabrak batu—liar, tak bisa dikendalikan. “Apa yang kalian inginkan dariku?” Kara bertanya, suaranya pelan tapi jelas. Makhluk itu memiringkan kepala, lalu berkata, “Darahmu. Keputusanmu. Dan ketika saatnya tiba... takhta yang telah lama kosong.” --- Kara menatap Draven, dan untuk pertama kalinya ia melihat ketegangan nyata di wajah pria itu. Biasanya ia menyimpan semuanya di balik dinginnya mata dan senyum sinis, tapi kali ini—Draven tampak seolah sedang mempertaruhkan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. “Aku tidak akan ikut kalian,” Kara mengucapkannya dengan yakin, meski jantungnya berdegup kacau. Makhluk bersayap itu tersenyum lembut, seolah mendengar suara anak kecil yang mencoba menentang badai. “Kau sudah memilih begitu kau menginjakkan kaki di tanah ini.” “Tidak,” Kara membalas cepat. “Aku hanya mengikuti seseorang yang menculikku—” “Dia tidak menculikmu,” potong makhluk itu. Draven diam. “Dia membangunkanmu.” Kata-kata itu menampar seperti cambuk. Kara menoleh ke Draven, ingin membantah... tapi sorot mata pria itu menyimpan pengakuan yang tak terucap. “Apa maksudnya?” bisik Kara. Draven mendekat, suaranya rendah. “Kau pikir kau hanya manusia yang tersesat di istana? Tidak. Darahmu telah menyala sejak malam itu. Sejak malam kita... bersentuhan.” Pipi Kara memanas, tapi bukan karena malu. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih primal. Sentuhan itu bukan hanya gairah, tapi kunci. Dan kuncinya telah membuka sesuatu dalam dirinya. Makhluk itu mengangkat tangannya. Dari tanah, muncullah lingkaran sihir merah yang mulai menyala di bawah kaki Kara. Draven mengangkat tangan, tapi makhluk itu hanya tersenyum. “Dia sudah masuk dalam lingkaran. Sekarang... hanya dia yang bisa memutuskan ke mana dia pergi.” Api dari lingkaran naik, menyelubungi Kara sampai ke lututnya. Tapi yang terasa bukan panas. Melainkan kenangan. Potongan-potongan masa kecilnya yang terlupa: mimpi tentang langit terbakar, suara-suara berbisik dari dalam sumur tua, dan mata ibunya... mata yang berair saat melihatnya tertidur di malam bulan merah. “Aku... aku ingat...” Kara memejamkan mata. “Ibu bilang, darahku akan membawaku pada dua dunia. Tapi aku tak pernah percaya... sampai sekarang.” Makhluk bersayap itu melangkah maju. “Maka pilihlah. Dunia mana yang akan kau bakar terlebih dahulu?” Draven menggenggam lengan Kara. “Jangan percaya apa pun yang keluar dari mulutnya. Pilih dengan hatimu, bukan darahmu.” Kara menatap keduanya, api semakin membungkus tubuhnya. Wajahnya pucat, tapi matanya... menyala. “Aku...” Sebelum ia bisa mengucapkan pilihan itu, api menyambar lebih tinggi. Cahaya merah menelan tubuh Kara dalam sekejap. Dan dalam detik terakhir sebelum semuanya redup, hanya satu suara yang tersisa di udara: “Dia sudah memilih... dan bukan salah satu dari kita.”Langit Veydran telah kembali tenang.Tapi kedamaian itu bukan hasil dari kemenangan—melainkan ketundukan semesta terhadap sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Pohon waktu berdiri dengan akar yang kini menyala samar, seperti jantung yang berdenyut pelan dalam tidur panjang.Kaelira memandangi bayinya yang tertidur dalam pelukannya. Tidak ada sinar dari matanya, tidak ada gelombang waktu yang memutar arah angin. Namun seluruh dunia seolah mengatur napasnya mengikuti napas kecil sang bayi.Di kejauhan, para Pemulih diam dalam formasi setengah lingkaran. Mereka tak bergerak, hanya berlutut. Tak ada lagi suara mantra, tak ada lagi upaya intervensi. Mereka tidak diusir… mereka disingkirkan oleh takdir itu sendiri.Lyrian berdiri diam di samping Kaelira, tangannya menggenggam gagang pedang dengan kekuatan yang lebih pada kebiasaan daripada ancaman. Matanya menyapu langit, tapi pandangannya kosong—seperti pria yang tahu bahwa apa pun yang datang setelah ini…
Satu tarikan napas.Itu cukup untuk mengubah arah takdir.Sang bayi—yang belum diberi nama oleh dunia—membuka matanya lebar.Tiga warna di matanya tak lagi berdansa lembut.Kini, mereka bersatu dalam pusaran cahaya yang membentuk pola tak dikenal oleh siapa pun.Pola itu hidup. Bernapas.Dan yang paling mengerikan bagi para Pemulih: pola itu mengingat mereka.Pemulih pertama mundur setapak, sebuah tindakan langka bagi entitas yang tak mengenal takut.“Dia… menyimpan Arus Awal dalam pandangan.”Pemulih kedua menggenggam udara, mencoba menahan aliran waktu yang terdistorsi.Namun waktu di sekitar bayi itu tak lagi patuh.Ia membengkokkan siang menjadi senja.Membalik arah jatuh daun.Mengulang bunyi detak jantung Kaelira—dua kali—sebelum kembali normal.Kaelira menahan napas, pelukan pada anaknya menjadi lebih erat.Bayi itu tak menangis. Tak bicara.Namun dari balik tubuh kecilnya, pancaran sihir mema
Tanah Veydran mereda, seolah seluruh lautan sihir menarik diri demi menyimak satu detak jantung yang baru saja tercipta. Pohon Waktu, sebelumnya bagaikan menara luka, kini menyimpan rona lembut di bagian cabang termudanya. Tunas menyala di sana, berpendar dalam tiga warna yang berdansa satu sama lain: emas yang hangat, perak yang tenang, dan ungu pucat yang memantulkan duka masa lampau.Kaelira berdiri di bawah naungan akar bercahaya, napasnya belum kembali stabil. Matanya terasa kering setelah terlalu lama menangis, namun di balik letihnya ia merasakan sesuatu yang nyaris hilang sejak Lyrian pertama kali hilang: rasa lega yang tipis, tipis sekali, seperti embun menetes di ujung daun. Lyrian menahan bahunya, bukan hanya untuk menenangkan, melainkan juga sebagai cara memastikan bahwa tubuh isterinya benar-benar ada di sini, masih hangat, masih nyata. Mereka berdua mengalihkan pandang ke Anara, yang saat itu sedang menjaga jarak, menatap pohon dengan mata setajam bilah pedang
Hening.Tak ada angin.Tak ada suara.Bahkan sihir pun berhenti bergerak,seolah dunia menahan napasnya.Di tengah kehampaan itu,sang anak berdiri sendiri.Tubuh mungilnya tampak ringkih,namun cahaya di sekelilingnya berpendar perlahan,seperti matahari yang sedang memilihapakah ia akan terbit… atau padam.Di kejauhan,Kaelira dan Lyrian membeku dalam waktu yang beku,terbentur batas realitas yang tidak lagi tunduk pada hukum biasa.Mereka bisa melihat sang anak,namun tak bisa bergerak ke arahnya.Tak bisa menyentuh,bahkan tak bisa memanggil.Sang anak menatap ke langit abu-abu,di mana simbol tak dikenal—bentuk rumit dari bahasa semesta—melayang dan berdenyut pelan.“Semuanya menunggu,”bisiknya,suara yang kecil…tapi menggema ke seluruh penjuru ruang.“Menunggu aku memilih.”Dari bayang-bayang waktu,tiga sosok bertudung itu kembali
Langkah kecil itu bergema di tengah sunyi.Tanpa suara angin,tanpa detak jantung dunia yang biasanya hidup,sehingga setiap injakan terdengar seperti lonceng kecilyang membangunkan sesuatu yang lama tertidur.Sang Raja menoleh pertama kali.Di antara akar pohon cahaya yang masih berdenyut samar,muncul sosok mungil—seorang anak lelaki,dengan rambut putih keperakandan mata berwarna perunggu,seolah matahari sore terperangkap di dalamnya.Anara langsung bersiaga,tapi Nerevan mengangkat tangan menghentikannya.“Lihat matanya,” bisiknya.“Dia bukan musuh.”Anak itu melangkah perlahan,pakaiannya terbuat dari jalinan kabut dan cahaya,tapi jejak kakinya nyata.Ia tidak menatap mereka—melainkan langsung pada dua sosok bercahayayang kini berdiri diam di pusat lingkaran sihir:Kaelira dan Lyrian.“Mama…”Suaranya nyaring,jernih,tapi membawa kesedihan yang ter
Langkah Lyrian terdengar nyaris tanpa gema.Namun setiap gerakannya membuat akar-akar cahayabergetar lembut,seolah semesta di sekelilingnya ikut menahan napas.Kaelira berdiri membeku.Matanya menatap wajah itu—wajah yang ia hafal bahkan dalam mimpi terburuknya.Wajah yang seharusnya sudah hancur,luruh bersama menara yang runtuh malam itu.Namun kini…Lyrian berdiri hidup di hadapannya,dan tak satu pun dari cahaya dalam matanyamengenali dirinya.Sang Raja bergerak pelan ke sisi Kaelira,tapi tak menyentuhnya.“Dia… itu benar-benar Lyrian?”Kaelira mengangguk.Patah.Tapi teguh.“Itu tubuh Lyrian,” gumamnya pelan,“tapi jiwanya… terikat.”Lyrian berhenti hanya beberapa langkah di depan mereka.Jubahnya berkibar pelan,dan dari balik punggungnyatampak ukiran bercahaya yang terus berdenyut.Simbol Veydran,berpadu dengan sihir paling purba—bu