Langit pagi itu mendung.
Tapi bukan mendung yang mengancam hujan,melainkan mendung yang membuat segala sesuatu terasalebih lambat…lebih dalam.Orang-orang berkumpul di tumpukan batu.Di tengah mereka,papan yang ditancapkan kemarin masih berdiri,tulisannya belum pudar.Tapi mata mereka…tak seyakinkan saat pertama kali menulis kata “selamat datang.”Dari kejauhan,suara langkah terdengar.Lambat.Berat.Tidak tergesa—tapi juga tidak ragu.Seorang laki-laki muncul dari balik kabut.Wajahnya tidak asing,tapi bukan karena dikenal.Melainkan karena wajahnya seperti dunia lama itu sendiri—penuh luka, penuh ingatan,penuh keinginan untuk lupa.Ia mengenakan mantel panjang,berwarna kusam,dengan garis sobek di bagian lengannya.Tak membawa apa pun,kecuali tatapan yang sulit dibaca:bukan marah,bukan takut,tapi seperti orang yang sudah kehabiPerjalanan dimulai saat fajar,ketika embun masih enggan melepaskan dirinya dari rumput,dan dunia belum memutuskanapakah hari ini akan menjadi terang…atau justru kembali kelabu.Firen memimpin barisan kecil yang terdiri dari delapan orang.Renai berjalan di sisinya,sementara lelaki asing—yang kini mereka panggil Arven—menjadi penunjuk jalan.Tak banyak yang mereka bawa.Hanya air, cadangan makanan,dan satu benda yang paling berat meski tak seberat batu:sebuah kunci logam tua,berisi kenangan dari dunia yang nyaris melupakan mereka.Tak ada sambutan meriah saat mereka berangkat.Tak ada perpisahan dramatis.Hanya beberapa anggukan,beberapa kata singkat,dan satu kalimat dari anak kecil bernama Kavi:“Kalau kalian takut di tengah jalan,ingat bahwa kami tidak menunggu pahlawan pulang—kami menunggu keluarga.”Kalimat itu menemani langkah mereka menyusuri jalur utara,
Langit pagi itu mendung.Tapi bukan mendung yang mengancam hujan,melainkan mendung yang membuat segala sesuatu terasalebih lambat…lebih dalam.Orang-orang berkumpul di tumpukan batu.Di tengah mereka,papan yang ditancapkan kemarin masih berdiri,tulisannya belum pudar.Tapi mata mereka…tak seyakinkan saat pertama kali menulis kata “selamat datang.”Dari kejauhan,suara langkah terdengar.Lambat.Berat.Tidak tergesa—tapi juga tidak ragu.Seorang laki-laki muncul dari balik kabut.Wajahnya tidak asing,tapi bukan karena dikenal.Melainkan karena wajahnya seperti dunia lama itu sendiri—penuh luka, penuh ingatan,penuh keinginan untuk lupa.Ia mengenakan mantel panjang,berwarna kusam,dengan garis sobek di bagian lengannya.Tak membawa apa pun,kecuali tatapan yang sulit dibaca:bukan marah,bukan takut,tapi seperti orang yang sudah kehabi
Fajar menyelinap perlahan ke atas tanah yang masih lembap.Kabut belum sepenuhnya pergi,tapi suara langkah kaki sudah terdengar di antara semak dan akar.Renai membawa pot kecil berisi tanah baru.Di dalamnya,bibit dari tanaman yang tidak diketahui namanya.Ia menaruhnya di samping pohon muda yang dulu nyaris mati.Tak ada upacara,tak ada kata-kata,hanya desahan lembut,seperti doa yang tidak perlu Tuhan untuk dikabulkan.Firen berdiri beberapa langkah di belakangnya,membawa lembaran kayu yang sudah diukir rapi.Isinya bukan hukum,bukan peringatan.Tapi cerita.Satu paragraf dari seorang anak yang kehilangan ibunya,satu kalimat dari perempuan tua yang duduk di sisi sungai,dan satu catatan kecil dari seorang pemuda yang berkata:“Kalau aku pernah membuat dunia ini sedikit lebih hangat,aku tak butuh dikenang sebagai siapa-siapa.”Mereka menggantungkan kayu itu di sebuah tia
Firen duduk di tepi kolam pagi itu,tatapannya kosong ke arah permukaan air yang tenang.Di sekelilingnya,daun-daun jatuh tanpa suara,seolah dunia pun tak ingin mengganggunya.Sudah tiga hari ia tidak menulis.Bukan karena kehabisan kata,melainkan karena satu kalimat di kepalanya terus berputar:"Bagaimana jika apa yang aku tulis tidak berarti apa-apa?"Kalimat itu sederhana.Tapi ia menekan dada Firen lebih keras dari luka perang manapun.Dan ia bukan satu-satunya.Renai, yang dulu naik panggung dengan keberanian polos,mulai menghindari tempat itu.Ia merasa suaranya terlalu kecil.Terlalu biasa.“Kenapa aku yang bicara,kalau yang lain bisa jauh lebih bijak?”Dan anak laki-laki yang dulu menulis pertanyaan di buku kosong,mulai merobek halaman-halaman yang ia tulis sendiri.“Pertanyaan-pertanyaan ini tidak penting,”katanya.“Tak satu pun membuat dunia berubah.”
Hari pertama setelah dunia tanpa bayangan dimulaitidak diawali dengan cahaya dramatisatau suara langit yang bergemuruh.Ia dimulai dari keheningan.Bukan keheningan yang mencekam,tapi keheningan yang terasa seperti undangan.Seseorang bangun di tengah padang rumput kecil.Seorang gadis muda,rambutnya belum pernah digunting,matanya belum pernah melihat darah.Ia tidak tahu siapa lima orang yang membentuk dunia ini.Ia bahkan belum tahu nama tempat ia berdiri.Yang ia tahu…adalah bahwa angin yang menyentuh pipinya terasa hangat.Dan ada suara dari dalam dirinyayang seperti baru lahir.Ia berjalan.Tanpa arah.Tanpa tujuan.Tapi tidak tersesat.Langkah kakinya menuntunnya ke tanah kosong,tempat sebatang pohon muda tumbuh sendirian.Di sana, angin seolah berubah jadi bisikan.Bukan suara manusia,tapi rasa.Ia duduk di dekat pohon itu.Mengusap batangn
Tanah yang mereka injak terasa aneh.Bukan karena asing,tapi karena untuk pertama kalinya…tidak ada satu pun yang mengancam dari bawahnya.Udara tidak membawa sihir liar,tidak ada kilat di langit,tidak ada suara langkah yang mengendap di semak.Sunyi,tapi bukan kesepian.Lebih seperti dunia yang akhirnya belajar mendengarkan.Kaelira menghela napas panjang.“Ini pertama kalinya aku berdiri tanpa armor,dan tidak merasa terancam.”Anara menyeringai tipis.“Pertama kalinya aku tidak ingin membunuh sesuatu hanya karena tenang itu terasa mencurigakan.”Nerevan mendongak ke langit.Burung-burung kecil terbang melintasi awan pucat.Tak satu pun membawa pesan gelap,tak satu pun meledak jadi makhluk kutukan.Mereka hanya… terbang.“Apakah kita benar-benar sudah keluar dari siklus?” tanyanya pelan.Lyrian menunduk, menggenggam tanah.Tidak ada racun.Tidak ada mantr