Share

Bab 2 Sepeda

“Terima kasih atas kerja sama kalian, semoga ke depan perusahaan kita akan jauh lebih baik,” ucap seorang pria mengakhiri acara meeting. Berdiri, dia mengayunkan langkahnya keluar.

Regan Alvaro Maxton-pria tampan keturunan Inggris yang berusia 23 tahun. Beberapa bulan lalu, dia lulus kuliah di jurusan manajemen bisnis di salah satu universitas swasta di Jakarta. Berbekal ilmu yang didapatnya, dia bekerja di perusahaan papanya sendiri.

Menjadi asisten CEO, dia menapaki kariernya dari bawah sebelum meraih jabatan CEO yang merupakan perusahaan keluarganya sendiri.

Kembali ke ruangnya, sekretaris Andrew memberitahu pesan yang dititipkan oleh Lana, “Maaf Pak, tadi Bu Lana memberitahu jika Pak Regan diminta untuk ke galeri.”

Langkah Regan terhenti saat mendengar ucapan sekretaris papa. Ingatannya kembali pada janjinya untuk datang ke pameran foto milik Selly-kekasihnya. Melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, matanya seketika membulat saat menyadari jika waktu menujukan jam setengah empat.

Regan merutuki kesalahannya yang lupa dengan jadwal datang ke tempat Selly. Jika di hitung mundur, acara sudah berlangsung selama tiga puluh menit.

“Taruh berkas ke ruanganku!” perintah Regan dan berlalu meninggalkan kantor.

Tak mau membuang waktu, Regan berlari. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya dia sampai di galeri tepat waktu, mengingat jalanan ibu kota pasti akan sangat macet.

Akhirnya, terlintas sepeda yang disediakan oleh perusahaannya untuk karyawan. Para karyawan biasanya memakai sepeda untuk mencari makan di restoran di sekitar kantor.

Regan meminta petugas keamanan membuka kunci pengaman sepeda. Sebelum pergi, dia melepas jasnya dan menitipkan pada petugas keamanan. Kancing kemeja bagian atas dia buka, agar lebih leluasa. Tak sampai di situ saja, kancing lengannya dia buka dan digulung hingga ke lengan. Membuat tangannya lebih mudah untuk bergerak.

Naik ke atas sepeda, Regan menginjak pedal dan mulai mengayuh sepeda menuju ke galeri.

Sepeda membelah jalanan ibu kota yang terkenal macet. Saat jalanan tak bisa dilalui, Regan menuntun sepeda melewati trotoar. Mengabaikan pandangan orang yang menatapnya sinis karena menggunakan fasilitas pejalan kaki untuk dilalui sepeda. Namun, karena Regan berjalan kaki, dia menyebut dirinya sendiri juga pejalan kaki.

Setelah lolos dari kemacetan, Regan kembali mengayuh sepedanya. Dalam hati Regan merutuki dirinya sendiri, karena semenjak mulai bekerja, dia tidak melakukan olah raga, karena baru saja mengayuh sepeda, dia sudah sangat kelelahan.

Akhirnya setelah membelah kemacetan yang begitu menyebalkan, Regan sampai di galeri. Buru-buru dia masuk ke galeri, menemui Selly yang pasti sedang menunggunya.

Langkah Regan terhenti saat melihat galeri sudah sepi. Lampu galeri sudah redup dan tidak ada siapa-siapa di sana. Itu menandakan jika pameran sudah selesai. Memijat kepalanya, dia merasakan tiba-tiba kepalanya berdenyut. Memikirkan bagaimana alasan yang akan dia berikan pada Selly.

“Kenapa masih datang ke sini?” Suara dengan nada ketus terdengar membuat Regan berbalik.

Dari jarak lima meter Regan berdiri, tampak seorang wanita berdiri. Siapa lagi jika bukan Selly-pemilik acara pameran foto sekaligus kekasih Regan. “Selly, dengarkan aku, tadi aku meeting.” Dia melangkah menghampiri Selly.

“Aku pikir meeeting akan cepat selesai, tetapi ternyata tidak selesai tepat waktu,” ucap Regan lagi. Langkahnya sampai tepat di depan Selly. Menatap gadis cantik di hadapannya.

“Kamu lupa?” Pertanyaan tajam yang dilontarkan oleh Selly.

Regan menelan salivanya mendengar pertanyaan tajam Selly. Sebenarnya memang itulah alasannya terlambat datang.

“Dengarkan aku ....”

“Kamu jahat sekali,” ucap Selly mulai menangis.

Regan seolah mati kutu. Kesalahannya ini terlalu besar, mengingat pameran sangat berharga untuk Selly.

Dia tak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan, menarik tubuh Selly, membawanya ke dalam pelukannya. “Maafkan aku.”

“Kamu jahat sekali,” ucap Selly masih kesal. Namun, kali ini dia menambahi dengan pukulan pada dada Regan.

Regan yang menyadari kesalahannya, membiarkan apa yang dilakukan oleh Selly. Tak melarang dan menerima karena tahu dengan begitu kekesalan Selly akan terlampiaskan. “Pukullah jika itu membuatmu puas.”

Selly langsung melepas pelukannya. “Aku bukan hanya akan memukulmu, tetapi aku akan membunuhmu.” Selly mengarahkan tangannya ke leher Regan dengan posisi mencekik. “Aku benar-benar kesal padamu.”

“Ach ....” Sebenarnya Selly tidak benar-benar mencekiknya, tetapi dia berpura-pura agar

Selly menghentikan aksinya.

Melihat Regan kesakitan, Selly langsung melepas. Membuang muka, tidak mau melihat Regan. Rasa kecewanya teramat sangat banyak. Hingga dia tak bisa meredakannya.

“Maaf,” ucap Regan lagi seraya menarik dagu Selly. Menatap Selly, dia memasang wajah memelasnya. Hal yang biasa dia lakukan saat Selly kesal.

Selly mengembuskan napas kasar, meredakan kesalnya.

“Mau makan es krim?” tanya Regan dengan wajah polosnya. Senyuman terselip di wajahnya. Senyuman yang hanya akan hadir saat bersama Selly. Karena hanya Selly yang bisa membuatnya bisa tersenyum.

Perlahan kekesalan Selly mereda. Dia sadar hal tidak terduga bisa saja terjadi. Pikirannya yang selalu positif memang selalu bisa meredakan amarahnya. “Large rasa stroberi,” ucapnya.

Senyuman Regan semakin melebar. Merasa lega saat Selly luluh. “Jangankan large, jumbo sekalipun akan aku belikan.”

“Ayo,” ajak Selly. Dia melingkarkan tangannya di lengan Regan dan menariknya keluar dari galeri.

Regan pasrah saat tubuhnya ditarik oleh Selly, tak menolak sama sekali.

Sampai di tempat parkir, Selly mengedarkan pandangan mencari mobil Regan. Biasanya Regan akan membawa mobil sedan kesayangannya. Namun, dia tak menemukan di tempat parkir. “Mana mobilmu?” tanyanya menoleh.

“Aku kemari tidak dengan mobil.”

“Lalu?”

“Aku kemari naik itu,” ucap Regan seraya menunjuk sepeda.

Mata Selly membulat sempurna melihat dengan apa Regan ke galeri. “Kamu naik itu?” tanyanya memastikan.

“Jalanan macet, jadi aku terpaksa memakai itu agar cepat sampai. Akan tetapi, ternyata aku tetap tidak bisa sampai tepat waktu dan justru datang saat sudah selesai.” Ada sedikit rasa sesal di hati Regan. Dia mengerti seberapa berharganya pameran itu.

“Aku akan mengadakannya lagi nanti dan aku tidak akan membiarkanmu bekerja.”

“Aku janji ke depan aku akan datang,” jawab Regan datar. “Ayo,” ajaknya menarik Selly menuju ke tempat di mana sepedanya terparkir.

Selly memicingkan matanya saat melihat sepeda yang hanya muat untuk satu orang itu. Dia memikirkan di mana dia harus duduk. “Aku harus naik di mana?” tanyanya bingung.

“Di sini,” ucap Regan menunjuk besi di depan jok sepeda.

Dahi Selly berkerut, memikirkan bagaimana dia bisa naik di sana. Duduk di besi seperti itu pasti tidak akan nyaman. Sejenak Selly membayangkan jika pasti tidak akan nyaman duduk di sana. Pasti akan sakit sekali saat duduk.

“Ayo, anggap saja ini adegan romantis dalam film.” Cuma cara itu yang digunakan Regan untuk membujuk Selly.

Mendengar kata romantis, Selly mengingat jika sering melihat adegan seperti di film. Tak butuh waktu lama, Selly naik dengan posisi miring. Berharap kenyamanan akan didapatnya.

Tak berlama-lama, Regan mengayuh sepedanya, mengantarkan Selly pulang. Membelah kemacetan ibu kota di jam pulang kerja. Jalanan yang dipenuhi dengan motor dan mobil itu membuat jalanan penuh. Untung mereka memakai sepeda dan bisa menyelip di antara mobil-mobil yang terparkir.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
widya widya
so sweet .. memang regan dan selly sekalii.. kaget pas lihat iklan pembuka aplikasi.. ternyata author ada di lapak ini jugaa.. lope lope
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
Regan kenapa buat kesel Selly sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status