Share

Bab 3 Sudah Dewasa

Kali ini Regan harus lebih ekstra saat mengayuh sepeda, karena beban sepedanya cukup banyak. Tubuhnya yang berbobot tujuh puluh kilo dan di tambah Selly empat puluh kilo, harus membuatnya mengeluarkan seluruh tenaganya. Entah apa yang akan terjadi nanti setelah ini. Yang jelas pasti tubuhnya akan sakit semua.

“Apa kamu tidak jadi diet?” tanya Regan saat merasa berat sekali mengayuh sepeda.

Selly menengadah. Matanya melirik tajam Regan. Wanita terlalu sensitif saat di tanya tantang diet. Itu adalah kalimat yang sopan selain kalimat yang memiliki arti jika dia sebenarnya gemuk. Padahal beberapa hari ini Selly sedang berusaha untuk diet, tetapi memang selalu gagal.

“Maksudku, bukan begitu.” Nyali Regan ciut saat mendapati tatapan tajam. “Aku hanya merasa berat sekali mengayuh sepedanya.,” elaknya, “tapi mungkin ini karena sepedanya yang sudah tua.” Untung saja sepeda itu tak bisa protes saat Regan menyalahkannya, jika bisa, mungkin Regan akan jadi sasaran amukan lagi.

“Bagaimana pamerannya tadi?” Regan memilih untuk mengalihkan pembicaraan, tak mau membuat kekasihnya itu kesal.

Wajah kesal Selly berubah senang saat membahas tentang pameran yang diadakan tadi. “Fotoku terjual sebanyak dua puluh buah. Total penjualannya adalah lima puluh juta. Aku senang sekali bisa terjual sebanyak itu.” Dengan semangat dia menceritakan pada Regan.

Regan selalu tahu apa yang membuat Selly senang. Walaupun dia jarang sekali bisa berinteraksi timbal balik saat Selly bercerita, tetapi dia adalah pendengar yang baik untuk Selly.

“Bayangkan saja, aku dapat uang lima puluh juta untuk beramal, tetapi tidak perlu meminta pada papa.” Ada kebanggaan di hati Selly. Terbiasa semua diberikan dan di fasilitasi oleh papanya, kini dia bisa menghasilkan sendiri.

“Jangan puas sampai di situ. Raih sesuatu yang lebih lagi.” Regan selalu menanamkan diri untuk tidak mudah puas dalam satu kali berusaha. Dia akan terus berusaha sampai mempunyai posisi tinggi. Ambisi Regan terlampau tinggi. Dan dia ingin menyalurkan pada Selly.

“Iya, tetapi ini saja sudah cukup. Terkadang kita harus melihat sekitar saat mengejar ambisi. Karena saat fokus pada ambisi saja, kamu akan melupakan orang-orang di sekitarmu. Semua memang harus berjalan seimbang.” Pandangannya melihat ke arah jalanan yang dilalui.

“Sejak kapan kamu bisa bicara begitu?” tanya Regan meremehkan. Dia tahu sifat Selly yang manja, jadi sudah dipastikan kalimat itu tak keluar dari mulutnya langsung.

“Apa aku sudah tampak dewasa saat aku mengatakan hal itu?” tanya Selly kembali menengadah, melihat Regan yang tadi baru saja meragukan ucapannya.

“Em ... sepertinya sudah.” Regan tak mau cari masalah saat ini.

“Kalau aku sudah dewasa, berarti aku sudah bisa menikah?” tanyanya polos.

“Menikah dengan siapa?” goda Regan.

Selly yang kesal memukul punggung tangan Regan yang sedang mencengkeram stang sepeda. Membuat Regan mengaduh dan hampir saya oleng.

“Jangan seperti itu, kita bisa jatuh nanti.”

“Kamu benar-benar menyebalkan sekali,” keluh Selly.

“Kenapa menyebalkan?”

“Iya, kamu bertanya aku menikah dengan siapa. Harusnya kamu jelas tahu aku akan menikah dengan siapa.”

Regan sebenarnya tak sungguh-sungguh bertanya itu. Dia sendiri tahu jawaban dengan siapa Selly akan menikah. Jelas saja dengannya, karena selama ini Selly hanya menjalin hubungan dengannya.

Pembicaraan tentang pernikahan memang sangat dihindari oleh Regan. Mengingat banyak hal yang akan dia lakukan. Lagi pula usianya juga masih 23 tahun. Terlalu muda untuk menikah.

“Kamu dengar tidak, Sayang?” tanya Selly memastikan.

“Apa kamu jadi makan es krim?” tanya Regan mengalihkan pembicaraan.

Seketika pikiran Selly teralih dengan rencananya tadi sebelum naik sepeda. “Jadi.”

“Di depan ada restoran cepat saji. Kita makan di sana saja, ya.”

“Oke.”

Regan membelokkan sepeda ke restoran. Memarkirkan sepedanya, dia dan Selly masuk ke restoran. “ Es krim stroberi satu dan coklat satu,” ucap Regan memesan.

“Es krim stroberi satu, coklat satu. Ada tambahan lain?” tanya pramusaji.

“Tambah burger large satu dan lemon tea satu,” sela Selly saat pramusaji bertanya.

Regan menggeleng. Dalam situasi ini dia membiarkan Selly memesan yang diinginkan. Dia pun membayar pesanan yang dia pesan dan membawa ke meja di mana Selly sudah menunggu.

Tanpa berlama-lama Selly langsung memakan es krim dan burger miliknya. Melupakan sejenak diet yang dia rencanakan. Kali ini perutnya yang lapar tak mau menerima alasan diet.

“Kapan kamu libur? Aku ingin memberikan uang hasil penjualan ke panti asuhan?” Selly yang makan menyelipkan pertanyaan.

“Makan dulu makananmu, baru bicara.”

Selly mengunyah makanannya dan kemudian menyeruput es lemon tea yang dia pesan.

“Aku akan temani kamu nanti,” jawab Regan.

Selly merasa sangat senang sekali. Walaupun Regan tidak bisa datang saat pameran, paling tidak dia bisa datang nanti saat penyerahan dana hasil penjualan.

Satu burger dan satu cone es krim habis tak tersisa, membuat Regan tersenyum dalam hati melihat Selly.

Aku yang lelah mengayuh sepeda, tetapi dia yang lapar? batin Regan.

Tak mau membuang waktu yang semakin larut, Regan kembali mengayuh sepeda menuju ke rumah Selly. Di dalam perjalanan, Selly masih terus saja mengoceh.

Menceritakan bagaimana tadi acara pameran.

Sampai di rumah Selly, mobil berjajar rapi. Satu mobil yang dia hafal betul adalah mobil kedua orang tuanya. Tadi di jalan, Selly sudah menceritakan jika ada orang tuanya akan mengadakan pesta. Jadi saat sampai dia sudah tidak kaget lagi.

“Akhirnya sampai juga.” Selly yang turun dari sepeda merenggangkan tubuhnya. Pegal sekali duduk menyamping di sepeda. Dia benar-benar heran, kenapa film romantis itu menggambarkan kenyamanan saat bersepeda. Padahal jelas-jelas tidak nyaman sama sekali.

Regan tak kalah pegal. Melakukan hal yang sama, dia merenggangkan tubuhnya. Sungguh setelah hari ini, besok dia akan berolah raga, agar lebih kuat mengayuh sepeda, tak seperti sekarang yang harus menggunakan kekuatan lebih.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Tepat saat mereka, ada adik Selly yang juga sedang hendak keluar.

“Kalian sudah datang?” tanya Bryan. Bryan Adion-adik satu-satunya Selly.

“Iya,” jawab Selly.

“Selamat Kak.” Pria dua puluh tahun itu menautkan pipinya pada kakaknya. Tadi dia tidak bisa datang ke acara pameran.

“Kamu dan Regan sama saja,” keluh Selly saat keduanya sama-sama tidak datang.

Bryan tersenyum. Jika Regan tidak datang karena lupa, Bryan tidak datang karena malas. Saat disamakan dengan Regan, Bryan menatap ke arah kekasih kakaknya itu. “Kak Regan baru saja olah raga?” tanyanya polos, “kenapa kemejanya bisa sah begitu?”

Regan dan Selly menatap ke arah kemeja yang dipakai Regan.

“Sebaiknya kamu ganti kemejamu dengan baju Bryan,” ucap Selly. Kemudian menatap adiknya. “Bry, pinjami bajumu!” perintahnya.

“Ayo, aku akan pinjami baju untuk Kakak. Tidak mungkin Kak Regan ke pesta dengan baju basah seperti itu bukan?” Bryan berbalik menuju kamarnya dan diikuti oleh Regan.

Regan tak menolak sama sekali. Pikirnya ada benarnya kalau dia meminjam baju.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status