Rey harus menelan salivanya berkali-kali. Saat Julian mengatakan dia harus segera melukisnya, dia pikir Julian akan menemaninya melukis. Yah ... walau sekarang juga Julian menemaninya seperti yang dia katakan tapi bukan seperti ini maksud Rey."Kenapa? Apakah poseku tidak sama dengan yang kemarin?" Ya. Julian bersih keras ingin menjadi model seperti kemarin saat pertama kali Rey melukisnya. Bahkan pria itu dengan sengaja membawa cardigan yang ia pakai kemarin. Sungguh gila. Rey sampai kehabisan kata-kata dibuatnya."Tidak. Posemu sangat bagus," jawab Rey mengalihkan pandangannya ke arah kanvas seraya terus menggerutu dalam hati. Ayo, fokus, Rey! Jangan melihat ke arah sana!Kata-kata itu bagaikan matra yang terus dirapalkan Rey. Namun sekuat apapun Rey berusaha, kali ini otak dan hatinya tidak mau bekerja sama. Sungguh sialan pria tampan itu."Lalu kenapa kau diam saja. Aku mulai pegal di sini," kata Julian sedikit menggerakkan tubuhnya.Rey memutar bola matanya malas. "Itu salahmu
Rey tidak pernah sesemangat ini dalam menyelesaikan tugasnya. Dia tak hentinya tersenyum sembari menyapukan cat berwarna ke atas canvas lukisnya setelah sebelumnya mencampurkan beberapa cat menggunakan kuasnya dengan lembut. Fokus sekali.Hingga terdengar bunyi bel rumah, Rey langsung bangkit dari tempat duduknya. Berlari kecil seperti anak kecil yang mengetahui orangtuanya datang. Namun yang berbeda di sini sosok yang Rey sambut bukan orangtuanya tapi pria yang membuatnya jatuh hati. Walau wanita itu belum menyadarinya. Tepatnya memang dia adalah wanita yang kurang peka dengan hal yang seperti itu."Selamat pagi," sapa Julian."Ayo masuk!" ajaknya membuka pintu lebih lebar.Sembari mengobrol ringan, Julian dan Rey masuk ke dalam rumah. Pandangan Julian berfokus pada ruang tamu Rey yang sangat berantakan. Cat, tisu, dan beberapa kuas cat yang diletakkan begitu saja. Seperti arena peperangan walau ini dalam versi mininya. Tapi Julian tidak terlalu khawatir karena Rey sudah memasang ker
Happy reading.... Rey meremas sendiri tangannya sendiri. Waktu terasa berhenti di sana. Tidak ada suara. Saking sunyinya ruangan itu Rey sampai bisa mendengar deru napasnya dan juga sosok di depannya. Dosen yang dua minggu lalu menghukumnya, kini berdiri membelakanginya seraya menatap lukisan yang Rey buat. Kenapa dia lama sekali? Apakah lukisanku tidak bagus? Pertanyaan itu bergulir dalam kepala Rey. Karena sejak lima belas menit lalu sang dosen tak kunjung membuka suara. Rey menghela napas berat namun seketika tertahan saat pria itu berbalik menatapnya. Rey membeku. Wajah pria itu datar tidak menampilkan ekspresi yang berarti. Sepertinya aku gagal. "Kerja bagus, Rey." "Eh?" "Lukisan ini sangat bagus. Bahkan lebih dari yang saya bayangkan," kata pria itu kini menampilkan senyum tipis. Rey mengerjapkan matanya. Dia tidak salah dengarkan? Dosen yang biasanya selalu mengkritik karyanya selama ini, kini memujinya. "Benarkah, Pak?" Mata Rey berbinar senang. "Tentu saja. Kau tid
"Aku akan bertemu dengannya malam ini?" tanya Anita mengelus pipi Julian yang terasa sedikit kasar karena dia lupa bercukur. Tangan kecil itu turun ke arah bibir penuh sang suami yang sempat dikecup mesra."Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi, bukan?" tanya Julian yang tidak pernah mengalihkan pandangannya dari wajah sang istri.Entah kenapa dia begitu merindukan wanita itu. Padahal mereka selalu bertemu hanya saja durasinya sangat sedikit karena Julian harus bersama Rey. Sial! Mengingatnya saja sudah membuat Julian sedikit kesal. Karena sibuk mendekati Rey dia jadi kehilangan banyak waktu yang sebenarnya bisa ia habiskan bersama Anita. Ya. Setidaknya itu yang Julian pikirkan untuk menepis fakta jika sebenarnya dia tidak kesal sama sekali menghabiskan waktu bersama Rey. Sungguh Julian begitu naif pada perasaannya sendiri."Kau benar, Sayang." Suara Anita begitu menggoda. Sedikit parau. "Memang apa bedanya aku bertemu dia sekarang atau nanti. Iya kan?"Julian malah mendesah pel
"Perkenalkan dia Anita Artemio ... istriku."Telinga Rey terasa berdengung seakan apa yang dia dengar memiliki frekuensi suara yang sangat tinggi. Wanita itu membeku di tempat menatap Julian dan wanita bernama Anita itu. Tatapannya kosong.Cukup lama hingga akhirnya Rey tersadar. Tenggorokannya terasa kering membuat Rey menyambar air putih di sampingnya. Meminumnya hingga habis."Di---dia istrimu?" tanya Rey setelah meletakkan gelasnya sedikit kasar di atas meja. Tatapan kosongnya berubah berkaca-kaca menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan."Iya, Rey. Anita istriku." Dan sialnya Julian malah menampilkan wajah biasa bahkan tersenyum bahagia. Terlihat begitu bangga memperkenalkan istrinya pada Rey. Seakan apa yang dia lakukan tidak berefek sama sekali untuk Rey. Sungguh brengsek!Tanpa mengatakan apapun lagi, Rey menarik tasnya. Melangkahkan kaki untuk keluar dari ruangan itu.Sungguh dia terlihat seperti orang yang sangat bodoh di sini."Rey, tunggu!" Bahkan teriakan Julian sama se
"Dan kau adalah wanita yang paling cocok untuk melahirkan pewaris untuk keluarga Artemio."Rey menarik satu ujung bibirnya. Menyingkirkan tangan Anita di pundaknya lalu berdiri.Perlakuan Rey sempat membuat Anita kaget. Namun dia bisa menutupinya dengan wajah angkuh andalannya. Sekarang mereka sudah saling berhadapan. Saling menatap satu sama lain. Cukup lama, hingga akhirnya Rey tersenyum simpul."Tapi sayangnya aku tidak tertarik," kata Rey. "Menikah, hamil lalu melahirkan ... bahkan terlintas dalam pikiranku saja tidak pernah."Rey menggeser kursi yang ia duduki masuk ke dalam meja agar dia bisa lebih dekat ke arah Anita. Rey cukup kagum, di usianya yang sekarang Anita masih memiliki kulit yang kencang serta wajah yang cantik. Tapi, hei! Rey masih lebih cantik dan sebagai nilai plus, dia masih muda.Mungkin karena perasaan itu, Rey berani melipat tangannya di dada setelah mengibaskan rambut panjangnya. Rey memperlihatkan soso
Seharusnya Julian sudah pergi dari sana. Namun entah kenapa setelah membawa Rey ke dalam kamarnya, Julian malah duduk terdiam di ruang tamu dengan tangan yang saling bertautan."Apakah Rey sungguh mencintaiku?" Ya. Sejak tadi Julian terus memikirkan apa yang baru saja didengarnya dari Rey. Padahal pria itu ingin melupakannya tapi kenapa begitu sulit."Ingatlah, Julian. Kau sudah punya istri ... Anita. Dan kau sangat mencintainya. Rey hanya wanita yang baru saja masuk dalam hidupmu. Tidak seharusnya kau punya perasaan seperti ini," ujar Julian. Kata-kata bak mantra yang pria itu ulang beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana.Namun belum sempat keluar dari pintu, Julian mendengar bunyi seperti kaca pecah yang cukup kuat dari arah kamar Rey. Julian segera bergegas ke sana. Melupakan jika dirinya sudah ingin pulang."Ya Tuhan, Rey!" panik Julian saat melihat Rey yang tengah memegangi pelipisnya dengan kaki yang berdar
Anita memejamkan matanya sejenak, menarik lalu membuang napas berulang kali. Mencoba menetralkan perasaan yang sejak tadi bergejolak."Berani sekali wanita itu menyatakan perasaannya pada suamiku," gumam Anita mengepalkan kedua tangannya.Saat di restoran tadi, Anita hanya menahan perasaannya untuk tidak menyerang Rey. Dia memang berencana membuat Rey menyukai Julian, agar dia bisa lebih mudah mengendalikan wanita jtu tapi tak pernah Anita sangka sebelumnya jika Rey akan dengan gamblang menyatakan perasaannya pada Julian.Anita berpikir jika Rey akan seperti wanita lain di luar sana yang jika sudah tahu pria yang dia sukai telah memiliki istri, maka mereka akan memilih diam dan memendam perasaan mereka sendiri. Tapi tidak dengan Rey. Wanita itu seakan tidak ingin menyembunyikan apapun.Anita mengangkat satu ujung bibirnya menampilkan seringai menyeramkan. "Sepertinya aku mendapat lawan yang seimbang. Kau memang wanita yang paling tepat Reyna Anind