Julian membolakan matanya. Sungguh terkejut dengan ucapan spontan sang istri. Dan yang lebih membuatnya tidak habis pikir, raut wajah Anita yang tampak tak berdosa sama sekali setelah mengatakan hal itu.
"Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan tadi, Anita?" tanya Julian masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Hanya dengan cara itu kita bisa memiliki anak sesuai dengan yang aku inginkan, Julian," kata Anita.Julian bangkit dari tempat duduknya. "Jangan gila, Anita! Sampai kapanpun aku tidak akan menikahi wanita lain selain dirimu!" tolak Julian dengan keras. Baginya dia hanya akan menikah sekali seumur hidup. Dan itu hanya bersama Anita.Anita sudah menduga jika reaksi Julian akan seperti itu."Tapi aku tidak bisa mengadopsi anak itu juga. Dia tidak mempunyai hubungan darah dengan kita. Sekalipun itu bukan anakku setidaknya dia masih anakmu," kata Anita masih kekeh dengan keputusannya.Julian mengerang frustasi. "Apakah"Jadi dia wanita yang kau pilih?" tanya Julian sambil menatap foto seorang gadis berumur sekitar dua puluh tahun ke atas."Ya. Namanya Reyna Anindira. Dia seorang mahasiswa jurusan seni," kata Anita."Apa kau yakin dia mau? Dia masih sangat muda dan punya masa depan yang bisa lebih baik dari pada menjadi wanita yang disewa untuk melahirkan anak kita," kata Julian berpendapat."Masa depan?" Anita terkekeh. "Masa depan seperti apa yang bisa dimiliki seorang wanita yatim piatu sepertinya?" lanjutnya dengan nada remeh.Julian terdiam. Ternyata itu alasan Anita memilih wanita ini. Dengan memanfaatkan keadaannya yang sebatang kara."Kita yang akan menjamin masa depannya, Julian. Dia tidak mungkin menolak," kata Anita lagi meyakinkan sang suami.Julian tersenyum kecil. "Baiklah. Jadi kapan aku akan menemuinya?" tanyanya kemudian."Kau bisa mengintainya terlebih dahulu. Ini jadwal kegiatannya. Kau bisa menemukan waktu yang tepat
Rey mengusap kasar rambutnya. Dengan balutan piyaman serta tampilan yang masih acak-acakan dia keluar dari kamarnya menuju dapur. Kebiasaan yang selalu Rey lakukan di kala pagi. Sebelum melakukan apapun dia akan meminum air hangat dulu."Astaga!" Namun betapa Rey sangat terkejut saat melihat seorang pria tengah berdiri di ruang tamu sambil menatapnya dengan senyuman manis.Julian juga sebenarnya kaget namun dia masih menjaga sikapnya. Untung saja dia masih bisa mengendalikan gelak tawanya melihat tampilan Rey."Kau sudah bangun?" tanya Julian terdengar begitu ramah."Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Rey dengan ekspresi yang sangat lucu. Mata membulat dengan tangan yang memegangi dadanya. Dia masih kaget omong-omong."Tentu saja menemuimu," jawab Julian enteng. "Dan juga membantumu memindahkan barang-barangmu," kata Julian lagi dengan netra yang berfokus pada beberapa koper dan tas yang terletak di samping sofa.
"Terima kasih sudah mengantarku," ujar Rey menenteng tasnya kemudian turun dari mobil itu. Julian menurunkan kaca mobilnya untuk melihat Rey yang berjalan masuk ke dalam kampus."Telpon aku jika sudah selesai!" teriak Julian pada Rey.Wanita itu hanya menaikkan jarinya membentuk huruf O sebagai tanda setuju. Rey menghela napas berat. Entah sudah berapa pertemuan yang dia lewatkan karena terlalu sibuk bekerja. Rey harap dia tidak akan mendapat masalah. Namun sepertinya Rey salah karena baru saja akan bersembunyi di balik mejanya, seorang pria tinggi berumur lima puluh tahun itu sudah memanggilnya.Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Rey dan dosen pembimbingnya."Kau dari mana saja, Rey?" tanya pria itu membuka suara."Maafkan saya, Pak," kata Rey dengan nada menyesal. Dia tidak cukup memalukan untuk mengatakan semuanya pada sang dosen. Lagi pula dia yakin pria itu juga tidak akan tertarik mendengar kisah hidup Rey yang menyedihkan.
Rey terbangun saat aroma aneh menyeruak di indra penciumannya. Hidung dan keningnya berkerut. Perlahan wanita itu bangun seraya melihat sekeliling. Dia sudah berada di rumah. Tertidur di atas sofa. Entah sudah berapa lama dia pingsan.Rey mencoba berdiri dan mencari sumber aroma yang semakin menyengat itu. Pandangannya jatuh ke arah dapur. Padahal kesadaran Rey masih belum terkumpul sepenuhnya namun dia harus melangkah dengan cepat ke sana."Yak! Apa yang kau lakukan?!" pekik Rey melihat keadaan dapurnya yang sudah berantakan. Dan pelakunya adalah seorang pria yang tengah tersenyum tanpa dosa ke arah Rey."Aku sedang membuatkan bubur untukmu. Apa ada yang salah?" Rey sontak saja langsung memijit pelipisnya seraya mendengus kasar. Jika ini kartun mungkin akan terlihat asap yang keluar dari kedua telinganya. Bagaimana tidak, dapurnya yang biasanya selalu rapih itu kini terlihat seperti habis terkena angin topan saking berantakannya.
Suasana dalam ruangan itu benar-benar canggung. Lebih tepatnya Julian yang merasa canggung pada Rey. Bagaimana tidak, dia sama sekali tidak ada niat apa-apa namun tanpa disangka-sangka Rey justru menunjukkan sisi agresifnya. Sungguh Julian sangat kaget. Dia tidak siap akan situasi seperti ini. Bahkan dia sampai mendorong tubuh Rey cukup kuat.Sementara Rey hanya terkekeh kecil. Ekspresi Julian tadi sungguh sangat menghibur. Tapi ada sesuatu yang menjanggal dan membuat Rey bingung. Kenapa setiap kali begitu dekat dengan Julian, jantung Rey akan berdebar kencang? Hal yang tidak pernah Rey rasakan saat bersama pria lain selama ini.Namun Rey segera menepis semua pemikiran tidak mendasar itu. Tugas yang berada di hadapannya saja sudah cukup membuatnya pusing."Bagaimana ini?" lirih Rey membaca file yang diberikan oleh dosennya tadi. Baru kali ini dia benar-benar kehabisan akal.Keduanya larut dalam pikiran dan kegiatan masing-masing. Julian kembali me
"Aku membutuhkan lebih dari sekedar terima kasih Rey.""Eh?" Ekspresi Rey yang semula bingung berubah datar. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya kemudian.Rey merasa bodoh. Seharusnya dia tahu segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang gratis dan sekarang sepertinya Julian mulai menunjukkan dirinya yang sebenarnya."Keluar denganku malam ini," jawab Julian menampilkan senyum manis.Sebelah alis Rey menukik tajam. "Kau mengajakku berkencan?" Hanya itu yang terbesik dalam benak Rey saat ini.Julian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Jalan-jalan atau berkencan ... terserah kau saja ingin menganggapnya apa. Yang jelas aku ingin kau ikut bersamaku malam ini. Jadi bagaimana?" tanyanya menuntut jawaban.Rey merotasikan matanya malas. Dia sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Julian tadi namun melihat senyum di wajah tampannya, Rey seharusnya tidak menaruh curiga lagi. Julian pria yang baik. Ya, dan Rey harus mulai percaya.Hanya jalan-jalan saja 'kan?Rey menghela napas pelan lalu menar
Untuk pertama kalinya Rey tersenyum lebar setelah kematian orang tuanya. Dia menuruni tangga seraya bersenandung kecil. Langkahnya pun dibuat melompat-lompat pelan bak seorang anak kecil. Tentu saja dia berharap seseorang di sana akan menyambutnya seperti beberapa hari sebelumnya. Dengan balutan pakaian casual, sosok itu akan menyapa seraya tersenyum hingga menampilkan lesung pipinya yang sangat menawan. Membayangkan wajah pria itu saja sudah membuat hati Rey terasa berbunga-bunga.Namun saat sampai di ruang keluarga, ruangan itu sunyi. Tidak ada seorangpun di sana. Ekspresi Rey seketika berubah muram. Dia melirik ke arah jam. Sudah pukul 8 pagi."Ke mana Julian? Tumben dia belum datang," gumam Rey.Dia menggeleng kepalanya cepat. "Mungkin dia akan datang sebentar lagi." Setelahnya, Rey beranjak untuk minum lalu membersihkan dirinya. Hingga dia telah siap berangkat ke kampus, eksistensi Julian masih belum terlihat. Rey sedikit gusar. Ingin menghubungi Julian juga dia tidak punya nom
Happy reading....Rey melirik tajam Sinta yang kini duduk di sampingnya. Wanita itu terlihat acuh tak menampilkan wajah bersalah. Hal yang membuat Rey semakin geram. Belum lagi saat mendengar ucapan pria di hadapannya. Rahang Rey terasa akan jatuh dari tempatnya."Kau hanya perlu mengisi surat ini, Sinta. Setelah itu kau boleh keluar," kata pria paruh baya itu terdengar begitu ramah."Baik, Pak," jawab Sinta menoleh ke arah Rey sambil tersenyum miring. Atau tepatnya tengah mengejek Rey."Bagaimana dengan saya, Pak?" Rey juga ingin cepat pergi dari sana namun lelaki itu justru terlihat mengabaikannya. Bahkan hingga Sinta keluar dari ruangan itu dia tak kunjung juga menyuruh Rey melakukan apapun. "Pak, ini sudah tiga puluh menit sejak Sinta keluar. Bapak tidak melupakan saya, bukan?" Dosen lelaki yang tadinya sibuk sendiri saja kini menatapnya. "Saya tidak lupa, hanya saja saya sedang menunggu seseorang saat ini." Rey lantas menatap tidak percaya pada dosen tersebut. Apa-apaan ini?