Rumah masih tenggelam dalam sunyi saat jarum jam merambat melewati angka dua belas. Lampu ruang tamu menyala redup, memantulkan bayangan Nadine yang duduk di ujung sofa. Tubuhnya tak banyak bergerak, hanya napasnya yang naik turun pelan, seolah ia berusaha menahan seluruh luka agar tak tumpah lebih dulu.
Pintu depan akhirnya berderit pelan. Suara yang dulu membuatnya lega kini hanya membuat dadanya semakin sesak. Raka masuk dengan langkah ragu, wajahnya menunduk. Langkah yang seakan takut menambah beban yang siang tadi sudah ia jatuhkan di pundaknya. “Kau pulang juga akhirnya,” suara Nadine keluar rendah, serak, hampir tak ia kenali sendiri. Raka berhenti beberapa langkah dari sofa. Matanya tetap menatap lantai. “Aku... aku tak tahu harus pulang dengan wajah seperti apa.” Nadine berdiri perlahan, kedua tangannya mengepal, menahan gemetar yang merambat dari ujung jari ke dada. Bayangan tangan Raka menggenggam jemari perempuan itu masih membayang, seolah baru terjadi beberapa detik lalu. Begitu nyata, begitu tak terbantah. “Aku sudah melihat segalanya, Raka.” Suaminya menghela napas panjang. Bahunya merosot, dan untuk sesaat Nadine melihat lelaki yang letih di hadapannya. Tapi kemudian bibir Raka bergerak, dan kebohongan tipis mulai merayap lagi di antara mereka. “Nadine, kau harus percaya—itu hanya... kebodohan.” “Kebodohan?” Nadine mendekat setapak, matanya berkilat dalam redup lampu. “Kau menyebut pengkhianatan itu kebodohan?” “Aku tak ada niat menyakitimu. Tania hanya rekan kerja. Kami... kami terlalu dekat, aku tahu itu salah.” “Berpegangan tangan di depan hotel? Tertawa bersama seakan kau tak punya keluarga?” Raka mengusap wajahnya, suaranya bergetar. “Aku—aku tak ingin kehilanganmu. Tapi aku... aku sendiri bingung.” Kepalanya tertunduk, dan untuk sesaat ruangan itu terasa pengap. Nadine menatapnya. Wajah lelaki yang dulu ia cintai dengan segenap jiwa kini tampak asing. Ada jarak yang tak akan pernah bisa dijembatani lagi. Ia mengangkat tangannya, dan waktu seolah melambat. Tamparan itu memecah kesunyian. Suaranya nyaring, lebih keras daripada semua kalimat yang pernah mereka pertukarkan. Raka terhenyak. Tangannya terangkat memegangi pipi yang memerah. “Nadine...” “Kau sudah memilih.” Suara Nadine terdengar datar, tanpa lagi ruang untuk belas kasihan. Dari lorong gelap, suara tangis kecil menyusup di antara detak jantung Nadine yang memburu. Ia menoleh dan mendapati Lio berdiri di ambang pintu kamar, memeluk boneka lusuh. Mata anak itu merah, napasnya tersengal. “Bunda... jangan marah Ayah...” Nadine mengusap pipinya cepat, menunduk agar Lio tak melihat air mata yang kembali jatuh. Ia mencoba mengatur napas, tapi suaranya tetap bergetar. “Masuk kamar dulu, Nak.” Lio tak bergeming. “Aku takut kalian pergi.” Hati Nadine seolah diremas. Ia berjalan mendekap anaknya, merasakan tubuh kecil itu gemetar di pelukannya. Tangannya membelai rambut Lio, menahan isak yang mendesak di dada. Di atas kepala anak mereka, Nadine menatap Raka. Tak ada kemarahan yang tersisa di sana. Hanya kehampaan yang lebih menakutkan daripada apa pun. “Aku akan bicara denganmu besok,” ucap Nadine pelan, suaranya retak. “Sekarang... pergilah.” Raka maju setapak, nadanya nyaris memohon. “Tolong... jangan buat keputusan saat kau marah.” “Sudah terlambat untuk itu.” Hening panjang merambat di antara mereka. Raka berdiri terpaku beberapa detik, seolah berharap Nadine akan menarik ucapannya. Namun tak ada lagi yang bisa dikembalikan. Dengan gerakan lamban, ia mengambil kunci mobil di meja. Matanya kosong, selebar kertas yang tak berisi. Ia sempat menoleh sekali, bibirnya bergerak seperti ingin mengatakan sesuatu, lalu mengurungkan niat. Pintu tertutup pelan. Nadine memejamkan mata. Tubuh Lio masih ia peluk erat, seolah anak itu satu-satunya yang membuatnya tetap utuh malam ini. Ia mencium ubun-ubun Lio yang lembab oleh keringat dan tangis. Dalam diam yang nyaris membuatnya tuli, Nadine tahu sesuatu di dalam dirinya baru saja mati. Sesuatu yang tak akan pernah hidup lagi dengan cara yang sama. Dan saat pintu itu menutup, aku tahu aku tak lagi menjadi istri yang sama.Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be
Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming
Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu
Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki
Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem
Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak