Home / Rumah Tangga / Sebelum Cinta Itu Hilang / Bab 7 - Adrian Yang Hadir

Share

Bab 7 - Adrian Yang Hadir

Author: Oldbee
last update Huling Na-update: 2025-07-01 12:05:15

Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.

Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.

Adrian.

Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.

“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.

Nadine tidak menjawab, hanya mengangguk singkat. Sri Ningsih menoleh ke Nadine sejenak, lalu ke Adrian, dan setelah memberi isyarat halus, ia masuk ke dapur dan membiarkan mereka berdua di ruang tamu. Sunyi terasa padat, hampir tak bisa dilalui suara.

Adrian duduk di kursi seberang Nadine. Tangannya mengepal di atas lutut, ekspresinya menahan sesuatu—kemarahan, keprihatinan, atau rasa iba yang terlalu keras disembunyikan.

“Dina bilang kau di sini,” katanya akhirnya.

Nadine menunduk. “Dia tak seharusnya repot-repot.”

“Dia peduli padamu. Kami semua peduli.”

Nadine diam. Kata-kata itu, sesederhana dan setulus apa pun maksudnya, terasa seperti lemparan batu kecil ke danau yang tenangnya semu. Ia tidak tahu apa yang lebih sulit ditelan—pengkhianatan Raka, atau kenyataan bahwa sekarang ia menjadi pusat perhatian dan rasa kasihan semua orang.

“Aku tak tahu harus bilang apa,” ujar Adrian setelah beberapa saat. “Saat Dina bilang kau pergi dari rumah... aku—aku cuma ingin pastikan kau baik-baik saja.”

“Baik-baik saja?” Nadine menghela napas. “Apa menurutmu aku bisa baik-baik saja setelah semua ini?”

“Aku tahu tidak ada yang bisa kukatakan untuk memperbaiki ini,” suara Adrian serak, “Tapi kalau kau butuh apa saja—uang, tempat tinggal lain, bantuan untuk Lio—katakan saja.”

Nadine mendongak, menatapnya langsung. “Aku tidak ingin dikasihani, Adrian.”

“Ini bukan kasihan,” jawab Adrian cepat. “Ini... aku hanya ingin kau tahu, kau tidak sendirian.”

Ada ketulusan di sana. Nadine bisa melihatnya. Tapi justru itulah yang membuat dadanya makin sesak. Rasa peduli dari orang lain kadang bukan menyembuhkan—melainkan menyadarkan betapa rusaknya dirinya saat ini.

Ia memalingkan wajah, mengusap kelopak matanya yang sembab. “Mengapa perhatian orang lain malah membuatku semakin hancur?” bisiknya dalam hati. Perhatian terasa seperti cermin, memantulkan wajahnya yang hancur, matanya yang kosong, tubuhnya yang lunglai oleh beban yang ia bahkan belum tahu cara menamainya.

Adrian masih menatapnya. Sorot matanya lembut, tapi ada sesuatu di balik itu—sesuatu yang tidak ingin Nadine pikirkan sekarang. Ia terlalu lelah untuk membedakan antara empati dan perasaan lain yang diam-diam menunggu celah.

“Lio?” tanya Adrian pelan, seakan ingin mengalihkan pembicaraan.

“Sedang tidur di kamar atas,” jawab Nadine pendek.

Adrian mengangguk. “Kalau kau berubah pikiran, kau tahu di mana mencariku.”

Nadine tidak menjawab. Ia hanya memandangi lantai, jari-jarinya menyentuh pinggiran bantal kursi tanpa sadar. Dalam diamnya, ia tahu Adrian sedang memutuskan untuk tidak memaksa. Mungkin itu yang ia butuhkan—kehadiran yang tidak menuntut, tidak mendesak. Tapi juga bukan sesuatu yang bisa ia izinkan untuk terlalu dekat.

Adrian berdiri perlahan. “Aku akan pergi. Jangan ragu menelepon kalau butuh apa pun.”

Saat ia berjalan menuju pintu, Nadine tetap tak bergerak. Pintu ditutup pelan, dan suara langkah di luar menghilang sedikit demi sedikit.

Nadine bersandar di kursi. Udara terasa lebih dingin sekarang. Ia memeluk dirinya sendiri, menggigit bibir agar tak menangis lagi. Kepalanya berat, dadanya masih sesak. Tapi ada yang lain kini menyelinap masuk—perasaan aneh yang tak ia bisa sebut namanya.

Semua wajah bercampur di dalam pikirannya. Raka. Tania. Adrian. Dunia yang ia kenal telah berubah, dan orang-orang di sekitarnya pun tak lagi bisa ia pandang dengan cara yang sama.

Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya, Nadine mulai sadar: kehilangan tak selalu datang dari satu arah.

Kadang, bahkan orang yang datang menawarkan bantuan bisa membuat luka itu terasa lebih nyata. Kadang, ketulusan orang lain justru menegaskan bahwa hatinya telah terlalu rusak untuk menerima siapa pun saat ini.

Malam mulai merayap naik di jendela. Cahaya lampu menyisakan bayangan panjang di lantai ruang tamu. Nadine memejamkan mata, membiarkan semuanya menggantung di udara—semua tanya, semua luka, semua kemungkinan yang belum sanggup ia pikirkan.

Dan ia tahu, malam ini akan menjadi satu lagi malam panjang yang harus ia lewati seorang diri—meskipun kini ada lebih dari satu orang yang mengetuk pintu hatinya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 12 - Adrian Yang Menawarkan Bahu

    Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 11 - Surat Pengakuan

    Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 10 - Titik Balik Pertama

    Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 9 - Tekad Yang Tumbuh

    Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 8 - Percikan Dendam

    Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 7 - Adrian Yang Hadir

    Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status