Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.
Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar. Adrian. Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang. “Boleh aku masuk?” tanyanya pelan. Nadine tidak menjawab, hanya mengangguk singkat. Sri Ningsih menoleh ke Nadine sejenak, lalu ke Adrian, dan setelah memberi isyarat halus, ia masuk ke dapur dan membiarkan mereka berdua di ruang tamu. Sunyi terasa padat, hampir tak bisa dilalui suara. Adrian duduk di kursi seberang Nadine. Tangannya mengepal di atas lutut, ekspresinya menahan sesuatu—kemarahan, keprihatinan, atau rasa iba yang terlalu keras disembunyikan. “Dina bilang kau di sini,” katanya akhirnya. Nadine menunduk. “Dia tak seharusnya repot-repot.” “Dia peduli padamu. Kami semua peduli.” Nadine diam. Kata-kata itu, sesederhana dan setulus apa pun maksudnya, terasa seperti lemparan batu kecil ke danau yang tenangnya semu. Ia tidak tahu apa yang lebih sulit ditelan—pengkhianatan Raka, atau kenyataan bahwa sekarang ia menjadi pusat perhatian dan rasa kasihan semua orang. “Aku tak tahu harus bilang apa,” ujar Adrian setelah beberapa saat. “Saat Dina bilang kau pergi dari rumah... aku—aku cuma ingin pastikan kau baik-baik saja.” “Baik-baik saja?” Nadine menghela napas. “Apa menurutmu aku bisa baik-baik saja setelah semua ini?” “Aku tahu tidak ada yang bisa kukatakan untuk memperbaiki ini,” suara Adrian serak, “Tapi kalau kau butuh apa saja—uang, tempat tinggal lain, bantuan untuk Lio—katakan saja.” Nadine mendongak, menatapnya langsung. “Aku tidak ingin dikasihani, Adrian.” “Ini bukan kasihan,” jawab Adrian cepat. “Ini... aku hanya ingin kau tahu, kau tidak sendirian.” Ada ketulusan di sana. Nadine bisa melihatnya. Tapi justru itulah yang membuat dadanya makin sesak. Rasa peduli dari orang lain kadang bukan menyembuhkan—melainkan menyadarkan betapa rusaknya dirinya saat ini. Ia memalingkan wajah, mengusap kelopak matanya yang sembab. “Mengapa perhatian orang lain malah membuatku semakin hancur?” bisiknya dalam hati. Perhatian terasa seperti cermin, memantulkan wajahnya yang hancur, matanya yang kosong, tubuhnya yang lunglai oleh beban yang ia bahkan belum tahu cara menamainya. Adrian masih menatapnya. Sorot matanya lembut, tapi ada sesuatu di balik itu—sesuatu yang tidak ingin Nadine pikirkan sekarang. Ia terlalu lelah untuk membedakan antara empati dan perasaan lain yang diam-diam menunggu celah. “Lio?” tanya Adrian pelan, seakan ingin mengalihkan pembicaraan. “Sedang tidur di kamar atas,” jawab Nadine pendek. Adrian mengangguk. “Kalau kau berubah pikiran, kau tahu di mana mencariku.” Nadine tidak menjawab. Ia hanya memandangi lantai, jari-jarinya menyentuh pinggiran bantal kursi tanpa sadar. Dalam diamnya, ia tahu Adrian sedang memutuskan untuk tidak memaksa. Mungkin itu yang ia butuhkan—kehadiran yang tidak menuntut, tidak mendesak. Tapi juga bukan sesuatu yang bisa ia izinkan untuk terlalu dekat. Adrian berdiri perlahan. “Aku akan pergi. Jangan ragu menelepon kalau butuh apa pun.” Saat ia berjalan menuju pintu, Nadine tetap tak bergerak. Pintu ditutup pelan, dan suara langkah di luar menghilang sedikit demi sedikit. Nadine bersandar di kursi. Udara terasa lebih dingin sekarang. Ia memeluk dirinya sendiri, menggigit bibir agar tak menangis lagi. Kepalanya berat, dadanya masih sesak. Tapi ada yang lain kini menyelinap masuk—perasaan aneh yang tak ia bisa sebut namanya. Semua wajah bercampur di dalam pikirannya. Raka. Tania. Adrian. Dunia yang ia kenal telah berubah, dan orang-orang di sekitarnya pun tak lagi bisa ia pandang dengan cara yang sama. Dan di saat itulah, untuk pertama kalinya, Nadine mulai sadar: kehilangan tak selalu datang dari satu arah. Kadang, bahkan orang yang datang menawarkan bantuan bisa membuat luka itu terasa lebih nyata. Kadang, ketulusan orang lain justru menegaskan bahwa hatinya telah terlalu rusak untuk menerima siapa pun saat ini. Malam mulai merayap naik di jendela. Cahaya lampu menyisakan bayangan panjang di lantai ruang tamu. Nadine memejamkan mata, membiarkan semuanya menggantung di udara—semua tanya, semua luka, semua kemungkinan yang belum sanggup ia pikirkan. Dan ia tahu, malam ini akan menjadi satu lagi malam panjang yang harus ia lewati seorang diri—meskipun kini ada lebih dari satu orang yang mengetuk pintu hatinya.Gemuruh hujan yang sejak sore belum berhenti masih terdengar samar dari luar jendela apartemen. Di dalam, suasana justru lebih sunyi daripada yang bisa ditanggung oleh seorang pria yang sedang dihantui oleh bayangan keputusannya sendiri. Televisi menyala dengan volume pelan menampilkan tayangan lama, tapi mata Raka tak benar-benar menatap layar. Ia duduk di sofa, membungkuk sedikit, menatap dua gelas kopi di meja yang salah satunya sudah dingin tak tersentuh. Gelas itu ia buat dengan kebiasaan lama—dua sendok gula untuk Nadine, tak lebih.Ia mengambil ponsel, menyalakan layar, dan membuka galeri. Jempolnya mengusap layar hingga berhenti pada satu foto: Nadine dan Lio sedang tertawa di taman. Lio berlari ke arah kamera, wajahnya cerah diterangi cahaya matahari, sementara Nadine berdiri sedikit di belakang dengan tangan terulur, seperti ingin menangkap tawa anak mereka. Raka menatap gambar itu lama. Hening."Apa yang sudah kulakukan…?" gumamnya nyaris tak terdengar. Suaranya tercekik ol
Hujan belum juga reda sejak siang tadi, membasahi trotoar kota dengan irama monoton yang membius, seperti sebuah lagu kesedihan yang diputar berulang. Genangan air tipis di sepanjang jalan memantulkan cahaya lampu kota yang berpendar kelabu, menciptakan bayangan-bayangan ganjil yang bergerak tiap kali mobil melintas. Malam menggulung langit dengan warna abu, dan udara lembap membuat napas terasa berat.Di sudut sebuah kafe mewah yang temaram, Tania duduk tenang. Cangkir cappuccino di hadapannya sudah kehilangan jejak uap, namun tangannya masih menggenggamnya seolah kehangatan itu belum sepenuhnya hilang. Ia mengenakan mantel krem dengan kerah tinggi dan sepatu hak pendek, riasannya ringan tapi presisi, senyumnya mengundang tapi matanya tajam—tajam seperti pisau yang diselipkan di balik bunga.Di seberangnya, seorang pria paruh baya berjas rapi menyelonjorkan duduknya. Tangan kirinya memutar sendok perlahan dalam cangkir kopi, sementara tangan kanannya mengetukkan jari di permukaan mej
Hujan masih turun rintik-rintik ketika Nadine turun dari bus di halte dekat rumah. Matanya lelah, napasnya panjang, dan langkahnya terasa berat. Bayangan malam sebelumnya—saat ia duduk di mobil Adrian, memeluk keheningan yang tak sanggup ia pecahkan—masih mengendap di benaknya. Kata-katanya sendiri sebelum turun dari mobil mengulang seperti gema: "Terima kasih karena nggak pergi." Kata yang sederhana, tapi bermakna dalam. Karena dunia seperti sedang berbalik melawannya, dan hanya sedikit yang memilih tetap tinggal.Pagi itu, udara kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan yang mengikutinya sejak ia melewati pintu depan. Nadine berjalan seperti biasa, menyapa pelan pada siapa pun yang berpapasan. Tapi tak ada yang benar-benar membalas. Hanya anggukan cepat, senyum kaku, atau bahkan diam yang terlalu kentara.Bisik-bisik berhenti seketika saat ia lewat di lorong. Nadine bisa merasakan kulit tengkuknya mengencang, punggungnya seolah men
Langkah kaki Raka yang menjauh dari kontrakan Nadine masih terngiang samar saat Adrian menurunkan kecepatan mobilnya, menepi di sisi jalan yang sepi. Udara malam terasa dingin menelusup celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Di sebelahnya, Nadine duduk diam dengan pandangan kosong menatap ke luar, ke jalanan gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu-lampu trotoar. Tak ada kata-kata yang diucapkan selama perjalanan dari kantor Nadine, tapi diam itu tak terasa canggung. Justru mengendap sebagai semacam pengakuan bahwa mereka berdua telah melewati batas yang dulu dijaga rapat. Sesaat sebelum turun dari mobil, Nadine sempat menoleh ke arahnya. Mata yang masih sedikit sembap menatap dalam, menyisakan lelah dan sesuatu yang lain—sejenis keikhlasan, atau mungkin rasa syukur. "Terima kasih karena nggak pergi," katanya lirih, sebelum membanting pintu pelan dan melangkah masuk ke kontrakannya. Kata-kata itu sederhana, namun menghantam dada Adrian lebih keras dari yang ia perkiraka
Langit sore itu murung, bergelayut mendung tanpa hujan. Di kontrakan kecilnya, Nadine baru saja selesai menyapu serpihan hatinya sendiri, yang semalaman berserakan di kamar tidur. Setelah menerima email anonim berisi bukti perselingkuhan Raka dan Tania, malam itu menjadi sunyi yang paling menggigit. Tangisnya telah kering, tapi sisa-sisanya masih melekat di wajah dan napasnya. Hari ini ia hanya ingin tenang. Namun ketenangan rupanya terlalu mahal untuk dimiliki.Suara ketukan keras membuyarkan pikirannya. Pintu digedor bertubi-tubi, nyaris seperti akan jebol.Degup jantung Nadine langsung melonjak. Ia tahu siapa itu bahkan sebelum membuka pintu.Raka.Wajah laki-laki itu tampak seperti badai yang sedang menahan diri untuk tidak meledak. Tapi begitu pintu terbuka, amarahnya pun tumpah tanpa aba-aba."Kau pikir aku nggak dengar orang-orang ngomong soal kau dan Adrian?!"Nadine tak bergeming. Ia berdiri tegak, memandangi Raka yang kini tampak jauh berbeda dari sosok yang dulu dicintainya
Langit malam menurunkan udara dingin yang perlahan menempel di kulit. Parkiran gedung kantor tempat Nadine bekerja sudah hampir kosong, hanya menyisakan beberapa kendaraan yang berjajar diam dalam gelap. Lampu-lampu jalan menerangi sebagian area dengan cahaya kekuningan yang temaram.Adrian memarkir mobilnya tak jauh dari pintu masuk. Ia turun, menyandarkan tubuh sejenak pada pintu mobil, menarik napas panjang sebelum melangkah. Seperti biasa, ia datang menjemput Nadine, walaupun tahu benar bahwa kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak gosip di antara rekan-rekan kantor Nadine. Tapi malam ini berbeda—ada sesuatu dalam dirinya yang tak sanggup membiarkan Nadine pulang sendirian.Ia melihatnya dari kejauhan, duduk di pinggir trotoar tepat di depan lobi. Bahunya berguncang pelan, wajah tertunduk, tangan memeluk lutut. Tanpa perlu mendengar suara, Adrian tahu: Nadine sedang menangis.Ia berjalan mendekat perlahan. Suara langkah sepatunya menggema di parkiran yang sepi. Saat sudah cuku