Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 30. Pusaran Rasa

Share

Bab 30. Pusaran Rasa

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2024-05-26 18:17:43

Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras.

"Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas.

Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia."

"Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?"

Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah.

"Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar.

"Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was.

Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya bahwa dia tak boleh ragu.

"Kamu cantik sekali, Nak," lanjut Laura sambil tersenyum.

"Terima kasih, Tan—eh, Ma," jawab Maura hampir salah bicara.

"Kalau bukan Maura siapa lagi, Ma?" tanya Dewangga sambil memberikan kode pada Maura agar mendekat ke arahnya.

Maura pun mendekat sambil tersenyum. "Selamat malam, semuanya," sapanya ramah.

"Wuahh .... Kamu beneran Maura?" Clara melipat kedua tangannya di dada sambil memperhatikan penampilan Maura, namun Vivian segera menepuk lengannya dan memberi peringatan lewat tatapan mata.

"Lihat, Ma. Dia bersikap aneh. Maura biasanya tak akan mengucapkan salam ramah seperti itu. Dia akan bersikap sombong walaupun berada di rumah nenek mertuanya," celetuk Clara sambil menatap sinis Maura yang terlihat cantik dengan sapuan makeup tipis.

Maura tertohok mendengar ucapan itu. Seburuk itukah dirinya dulu? Ada rasa marah, sedih, dan sakit hati yang bercampur aduk, namun lebih dominan adalah rasa tak berdaya. Maura membenci itu.

"Maura." Dewangga memanggil sambil mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan wanita itu. "Tak apa-apa. Abaikan dia," bisiknya perlahan di telinga membuat semua orang terkejut dengan perlakuan Dewangga yang baik terhadap Maura, kecuali oma Ambar yang terlihat sangat senang dan lega.

"Cih!" Clara mendecih kesal. Tak hanya Maura yang aneh, Dewangga pun sama anehnya.

"Nggak biasanya kamu baik sama wanita ini," kata Clara kesal. "Biasanya kamu mengabaikannya. Ada apa, Kak?" tanya Clara pada Dewangga dengan tatapan menyelidik.

"Kalau kamu masih menghargaiku sebagai kakak sepupumu, maka kamu juga harus menghargai Maura sebagai istriku."

Clara terpaku. Dewangga jelas-jelas memihak dan membela Maura yang selama ini dibencinya. Sejak kapan? Mengapa bisa?

"Mama apa kabar? Lama nggak ketemu," sapa Maura sambil mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim sehingga membuat Laura benar-benar terkejut dan hampir tak bisa berkata-kata.

"Ba-baik, Nak, baik," jawab wanita paruh baya yang masih cantik itu. Dia keheranan dengan sikap Maura sehingga langsung menatap suaminya, ingin memastikan bahwa Maura tak salah bertindak.

"Pa." Maura pun berganti mencium tangan Teguh, yang hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lebar. Pria itu memiliki kemiripan dengan Dewangga hampir di segala sisi, terutama wajahnya.

Setelah itu Maura mencium tangan oma Ambar, yang dibalas oma Ambar dengan pelukan sayang. Setelah selesai, giliran Maura mencium tangan Vivian, yang dibalas dengan senyum tipis dan anggukan kecil.

"Hai, Clara." Maura menyapa Clara sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Namun dengan angkuh dan sombong, Clara menepis tangan Maura kasar sehingga mendapat cubitan dari ibunya di perut samping.

"Jangan dimasukkan ke hati, ya, Nak," pinta Vivian pada Maura sambil mengelus pundaknya.

Maura hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Kamu nggak mau salaman sama aku, Maura?" tanya Narendra dengan wajah penuh harap campur kecewa ketika wanita itu menggandeng tangan oma Ambar seolah melupakan keberadaannya.

Maura menoleh ke pemilik suara dan berkata, "Aku nggak mau!" kemudian membuang wajahnya. Entah mengapa, melihat Narendra dan mengingat betapa cerewetnya pria itu membuatnya sebal.

Beberapa orang tertawa.

"Ternyata kamu memang masih Maura," kata Laura tertawa kecil. "Mama kira kamu orang lain yang berpura-pura jadi Maura."

"Sekarang Maura udah lebih dewasa, Laura," bela oma Ambar dengan bangga. "Kamu, Clara. Sudah seharusnya kamu bersikap dewasa juga. Jangan terus menerus memusuhi Maura. Dia adalah keluarga kita, bagian dari kita."

Clara hanya mencebik diam-diam, namun segera disadari oleh ibunya yang langsung memberinya tatapan peringatan.

"Ayo, masuk. Kita makan malam bersama," ajak Teguh pada semua orang sambil menepuk pundak Dewangga.

Dewangga berjalan masuk sambil mengobrol dengan Teguh dan Narendra, sementara Maura mengobrol dengan oma Ambar, Laura, dan Vivian.

***

Setelah makan, Dewangga mengajak Maura ke sebuah kamar di lantai atas karena mereka harus membersihkan diri.

"Ini kamar yang biasa kita pakai saat kita menginap di sini," ujar pria itu sambil membuka pintunya dengan lebar.

Maura masuk dan melihat sekelilingnya. Ada sebuah potret besar di sana yang digantung di dinding, sebuah foto pernikahan yang tak ditemukannya di rumah kediaman Dewangga.

Dalam foto itu Maura tampak tersenyum lebar, sementara Dewangga berwajah muram. Sangat terlihat bahwa hanya dirinya yang bahagia menikah, dan hanya dirinya yang memiliki perasaan cinta. Cinta yang benar-benar bertepuk sebelah tangan.

Maura diam-diam mendesah perlahan. 'Kasihan diriku yang dulu, mencintai orang yang tak bisa membalas cintanya,' gumamnya dalam hati.

"Ada apa, Maura?" tanya Dewangga begitu pria itu melihat Maura terpaku menatap foto pernikahan mereka.

Maura menggelengkan kepalanya.

"Ini foto pernikahan kita. Di rumah, ada foto seperti ini juga di album foto di ruang kerjaku," ujar Dewangga menjelaskan meski Maura sebenarnya tak ingin tahu.

Maura semakin paham bahwa kebersamaan mereka tak seharusnya terjadi karena sepertinya mereka tak pernah menghabiskan waktu luang untuk saling berbagi segalanya.

Bahkan Maura yakin bahwa selama ini mereka tak pernah berbagi apapun selain berbagi atap yang sama untuk tinggal. Itupun karena terpaksa.

"Mau mandi lebih dulu?" tanya Dewangga membuyarkan lamunannya.

"Apa boleh?" Maura balik bertanya.

"Ya, tentu. Kamar mandinya di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu yang tak jauh darinya. "Handuk dan jubah mandi ada di laci bufet dekat wastafel."

Maura mengangguk sambil beranjak dan masuk ke kamar mandi.

Dengan cepat dia membersihkan diri dan membungkus tubuhnya dengan jubah mandi.

Dia tak ingin berlama-lama di sana karena takut Dewangga tengah menunggu giliran.

"Sudah selesai?" tanya Dewangga yang memangku sebuah laptop dengan alis sedikit berkerut sambil melihat jam besar di dinding. Seingatnya dulu, paling sebentar Maura mandi selama setengah jam, tapi ini baru lima belas menit dan wanita itu telah selesai.

Maura mengangguk.

"Pakaianmu ada di sana," tunjuk Dewangga pada sebuah pintu walking closet yang terbuat dari kaca transparan. "Ada di bagian paling kanan."

Maura mengangguk lagi sambil beranjak.

Ada cukup banyak pakaian di walking closet itu yang dua pertiganya didominasi oleh pakaian Dewangga. Maura memilih-milih pakaian perempuan yang sepertinya miliknya.

Tak mungkin juga kalau Dewangga menaruh pakaian perempuan lain di rumah itu.

Wajahnya merona malu ketika menemukan berbagai model lingerie yang digantung di sana.

"Aku yang dulu benar-benar tak tertolong," keluhnya pada diri sendiri ketika melihat koleksi lingerie-nya yang sungguh terbuka di mana-mana.

Pantas Dewangga membencinya. Sepertinya dia memaksakan cintanya pada pria itu seolah dirinya sudah tak memiliki kewarasan dan akal sehat. Dia juga sudah tak memiliki harga diri lagi.

Maura sempat kebingungan harus memakai pakaian apa. Kebanyakan pakaian-pakaian itu terlalu terbuka.

Akhirnya dia mengeluarkan sebuah midi dress putih yang terbuat dari katun dan memakainya di sana setelah memastikan bahwa Dewangga tak ada di sofa.

Maura keluar dari walking closet sambil memeluk sebuah selimut putih yang diambilnya dari dalam sana. Matanya berkeliling melihat seluruh ruangan itu, kemudian telinganya mendengar samar suara gemericik air dari kamar mandi. Pasti Dewangga sedang membersihkan dirinya.

Wanita itu duduk di sofa menunggu Dewangga selesai. Matanya tertuju pada sebuah laptop yang tergeletak di meja dalam keadaan tertutup, sementara tangannya menyimpan selimut di samping.

Entah keberanian dari mana, entah apa yang menuntun hatinya. Tangan Maura terulur membuka laptop itu. Dia begitu penasaran dengan apa yang tadi dikerjakan oleh Dewangga.

Dia pikir, dia akan melihat tampilan home screen yang rapi, namun ternyata langsung melihat sebuah dokumen yang membuatnya tertegun dengan perasaan sakit luar biasa.

Itu dokumen perceraian mereka.

Maura meraup napas dalam-dalam karena mendadak dadanya sesak. Sebutir air mata jatuh di pipinya.

Maura mengalihkan tatapannya pada pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat, kemudian dia menutup dan meletakkan laptop itu di tempat semula.

Wanita itu membaringkan tubuhnya yang lelah di atas sofa sambil menutupinya dengan selimut, memunggungi meja dan memejamkan matanya.

Maura belum tertidur saat dia mendengar pintu kamar mandi terbuka dan langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

Tercium aroma sabun yang lembut, sabun yang sama yang dipakainya tadi. Tapi rasanya kalau Dewangga yang memakainya jadi terasa lebih wangi.

"Maura, Maura," panggil Dewangga sambil mengguncang pelan bahu wanita itu. "Kalau mau tidur, tidur di kasur."

Maura tak bergeming dan berpura-pura sudah tertidur. Dia mendengar suara langkah kaki yang menjauh.

Maura semakin merapatkan matanya. Dia lelah. Dia ingin tidur. Dia ingin melupakan rasa sakitnya, rasa lelahnya, sesak di dadanya, dan semua perasaannya yang tak seharusnya ada.

Bahunya berguncang menahan isak tangis yang tiba-tiba datang tanpa bisa ditahannya.

Namun tiba-tiba tubuhnya melayang di udara bersama dengan selimut yang dipakainya.

Maura terkejut ketika Dewangga mengangkat tubuhnya. Seketika pandangan mata mereka bertemu.

"Kamu menangis, Maura?" tanya Dewangga yang masih menahan tubuh Maura dalam pangkuannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 58. Rumah Masa Kecil

    “Aku ….”Maura menahan napasnya. Dadanya yang berdebar-debar, berdenyut sakit. Ternyata sekuat itu pengaruh Dewangga di hidupnya padahal hari kemarin dia sudah meyakinkan diri untuk melepasnya.“Kamu baik-baik aja?” tanya pria itu, dengan nada suara yang lebih lembut.“Ya.”“Maaf, atas kejadian itu,” ujar Dewangga sambil memeluk Maura dengan perasaan lega.‘Eh?’Maura mematung dengan jantung yang semakin berdebar-debar.Bagaimana bisa seorang Dewangga meminta maaf secara langsung padanya sambil memeluknya?Oh, Maura ingat. Pria itu hanya ingin berpisah secara baik-baik dengannya. Tak masalah. Dia juga akan melepasnya dengan ikhlas.Tangan Maura terangkat sejenak untuk menyambut pelukan hangat Dewangga, namun segera berhenti di udara dan jari-jarinya mengepal.Dia tak bisa menyambut pelukan hangat itu, atau dia akan semakin terbelenggu oleh perasaannya.Setelah mengalami amnesia selama beberapa waktu, dia banyak belajar bahwa sudah saatnya dia melepaskan sesuatu yang bukan miliknya, at

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 57. Tatapan Matanya

    Langit cerah pagi itu. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela yang gordennya terbuka lebar.Maura duduk bersandar sambil termenung menatap partikel debu halus yang terbang dan berkilauan.Kakinya yang jenjang, berbalut selimut rumah sakit. Bahkan, pakaian yang dikenakannya juga adalah pakaian rumah sakit.Pagi itu rasanya tenang, begitu juga dengan hati dan pikirannya, setelah seharian kemarin badai di hatinya berkecamuk sejak dia pergi dari rumah oma Ambar. Tepatnya sejak ingatannya pulih sepenuhnya.“Bu Maura, apa hari ini kepala Anda masih sakit?” tanya seorang perawat yang datang ke ruangan itu setelah mengetuk pintu.“Ah, iya, Sus.” Maura segera memegang kepala dan mengurutnya sedikit sambil meringis. “Masih lumayan sakit. Saya juga ngerasa … nggak tenang kalau harus pulang sekarang. Bisa kasih saya waktu lagi? Di rumah, saya sendirian, nggak bakal ada yang rawat kalau ada apa-apa.”Itu hanya alasan saja sebenarnya. Alasan agar dia bisa tinggal di sana minimal sehari lagi

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 56. Peringatan Dewangga

    Dewangga menatap sepasang sepatu yang diserahkan salah satu penjaga keamanan padanya.Itu sepatu Maura, yang di bagian tumitnya terdapat noda pink samar dan juga basah oleh hujan.Noda darah, yang berarti Maura meninggalkan rumah itu tanpa alas kaki dan kakinya terluka.***Hujan masih turun deras seolah sengaja tumpah dan membuat jalanan aspal penuh air. Parit-parit yang biasanya cukup untuk menampung hujan kini membeludak.Dewangga yang tengah menyetir sambil melihat sekitar jalanan yang sepi, segera menghubungi telepon rumahnya, berharap Maura sudah pulang.“Ya, halo?” Suara Mia yang sedikit mengantuk menjawab telepon rumah di ruang tengah.“Mia, apa sekarang Maura udah di rumah?” tanya Dewangga penuh harap.“Sejak Tuan nelpon dan bilang nyonya pergi dari sana, saya dan mbok Narti nungguin di ruang tengah,” jawab Mia. “Tapi nyonya masih belum pulang, Tuan.”“Oke. Kabari kalau dia pulang. Maaf sudah m

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 55. Potongan Puzzle Ingatan

    “O-oma … aku … aku … hiks, hiks, hiks ….” Tangis Alena pecah, sedikit lebih keras dari yang tadi, membuat semua orang kebingungan. Wanita itu menutupi wajahnya yang memerah menahan malu, menahan isak tangisnya yang tetap keluar lebih banyak. “Jadi, kamu mau mengakui atau nggak?” tanya oma Ambar tegas. “Alena, kamu …. Nggak mungkin kamu ngelakuin itu, kan?” tanya Laura tak percaya, namun Alena tetap menangis. “Jadi kamu beneran nyiram diri kamu sendiri buat nuduh Maura?” Vivian yang juga tak percaya, membulatkan matanya. “Nggak mungkin!” Clara yang masih percaya pada Alena meski kepercayaannya mulai runtuh sedikit demi sedikit, menatap Alena. “Kak, ayo bilang sejujurnya. Kak Ale nggak mungkin ngelakuin hal itu. Ini beneran perbuatan Maura. Ayo, Kak, bilang!” “Cukup, Clara. Apa kamu nggak lihat? Secara nggak langsung dia udah ngasih jawabannya,” ujar Narendra tegas meski hatinya merasa lega.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 54. Tangisan Alena

    “Tante … hiks, hiks, hiks …. Jangan dekat-dekat, nanti kena tumpahan jus.” Dengan mata berkaca-kaca, Alena menjaga jarak dari Laura dan Vivian.“Kamu ….” Laura yang menunjuk Maura, sempat kehilangan kata-katanya. “Saya udah ngerasa agak tenang karena kamu nggak bikin ulah di pesta ulang tahun saya, tapi tetep aja ujung-ujungnya kamu malah bikin onar kayak gini.”“Ma, i-itu nggak benar. Aku … aku lihat dia yang nyiram dirinya sendiri pakai jus itu,” jawab Maura sedikit gugup.“Halaahh …. Masa iya, Alena mempermalukan dirinya sendiri kayak gini, sih? Kamu aja yang nggak mau ngaku atas perbuatanmu,” tuduh Vivian dengan wajah galak. “Mentang-mentang kamu disayang sama oma, akhirnya kamu benar-benar ngelunjak.”“Tante, aku—”“Nggak usah cari-cari alasan! Minimal kamu minta maaf, kek!” ujar Laura keras.“Ada apa ini, Ma?” Dewangga yang mendengar keributan segera mendekat bersama Zefan, lalu menatap Alena yang berantakan.“Dia tuh, udah nyiram Alena pakai jus,” tuduh Vivian yakin sambil menu

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 53. Drama Alena

    Maura duduk menyepi di sudut kursi taman yang terlindung dari cahaya lampu, sambil bertelanjang kaki.Sepasang sepatunya, dibiarkan tergeletak rapi di samping.Sejak mendengar gosip-gosip buruk tentang dirinya, dia merasa tak pantas berada di sana, di antara banyaknya orang yang bersuka cita menceritakan keburukannya.Dia butuh waktu dan ruang untuk berdamai dengan segala hal. Dengan dirinya, dengan masa lalunya yang masih terlupakan, serta dengan orang-orang yang memandangnya rendah.Satu persatu tamu pergi. Dia hanya bisa menatap dari kejauhan, bersembunyi di balik kegelapan. Hanya di tempat sepi itu dia merasa sedikit aman.Jam menunjukkan hampir pukul sebelas. Sudah satu jam lamanya dia di sana. Dia yakin, ruang utama tempat diadakannya acara ulang tahun itu mulai sepi dari para tamu.Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Dewangga masuk.Selama dia memulai hidup barunya setelah kecelakaan dan amnesia, bisa dihitung jari berapa kali pria itu menghubunginya lebih dulu, membu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status