“Aku ….”Maura menahan napasnya. Dadanya yang berdebar-debar, berdenyut sakit. Ternyata sekuat itu pengaruh Dewangga di hidupnya padahal hari kemarin dia sudah meyakinkan diri untuk melepasnya.“Kamu baik-baik aja?” tanya pria itu, dengan nada suara yang lebih lembut.“Ya.”“Maaf, atas kejadian itu,” ujar Dewangga sambil memeluk Maura dengan perasaan lega.‘Eh?’Maura mematung dengan jantung yang semakin berdebar-debar.Bagaimana bisa seorang Dewangga meminta maaf secara langsung padanya sambil memeluknya?Oh, Maura ingat. Pria itu hanya ingin berpisah secara baik-baik dengannya. Tak masalah. Dia juga akan melepasnya dengan ikhlas.Tangan Maura terangkat sejenak untuk menyambut pelukan hangat Dewangga, namun segera berhenti di udara dan jari-jarinya mengepal.Dia tak bisa menyambut pelukan hangat itu, atau dia akan semakin terbelenggu oleh perasaannya.Setelah mengalami amnesia selama beberapa waktu, dia banyak belajar bahwa sudah saatnya dia melepaskan sesuatu yang bukan miliknya, at
Langit cerah pagi itu. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela yang gordennya terbuka lebar.Maura duduk bersandar sambil termenung menatap partikel debu halus yang terbang dan berkilauan.Kakinya yang jenjang, berbalut selimut rumah sakit. Bahkan, pakaian yang dikenakannya juga adalah pakaian rumah sakit.Pagi itu rasanya tenang, begitu juga dengan hati dan pikirannya, setelah seharian kemarin badai di hatinya berkecamuk sejak dia pergi dari rumah oma Ambar. Tepatnya sejak ingatannya pulih sepenuhnya.“Bu Maura, apa hari ini kepala Anda masih sakit?” tanya seorang perawat yang datang ke ruangan itu setelah mengetuk pintu.“Ah, iya, Sus.” Maura segera memegang kepala dan mengurutnya sedikit sambil meringis. “Masih lumayan sakit. Saya juga ngerasa … nggak tenang kalau harus pulang sekarang. Bisa kasih saya waktu lagi? Di rumah, saya sendirian, nggak bakal ada yang rawat kalau ada apa-apa.”Itu hanya alasan saja sebenarnya. Alasan agar dia bisa tinggal di sana minimal sehari lagi
Dewangga menatap sepasang sepatu yang diserahkan salah satu penjaga keamanan padanya.Itu sepatu Maura, yang di bagian tumitnya terdapat noda pink samar dan juga basah oleh hujan.Noda darah, yang berarti Maura meninggalkan rumah itu tanpa alas kaki dan kakinya terluka.***Hujan masih turun deras seolah sengaja tumpah dan membuat jalanan aspal penuh air. Parit-parit yang biasanya cukup untuk menampung hujan kini membeludak.Dewangga yang tengah menyetir sambil melihat sekitar jalanan yang sepi, segera menghubungi telepon rumahnya, berharap Maura sudah pulang.“Ya, halo?” Suara Mia yang sedikit mengantuk menjawab telepon rumah di ruang tengah.“Mia, apa sekarang Maura udah di rumah?” tanya Dewangga penuh harap.“Sejak Tuan nelpon dan bilang nyonya pergi dari sana, saya dan mbok Narti nungguin di ruang tengah,” jawab Mia. “Tapi nyonya masih belum pulang, Tuan.”“Oke. Kabari kalau dia pulang. Maaf sudah m
“O-oma … aku … aku … hiks, hiks, hiks ….” Tangis Alena pecah, sedikit lebih keras dari yang tadi, membuat semua orang kebingungan. Wanita itu menutupi wajahnya yang memerah menahan malu, menahan isak tangisnya yang tetap keluar lebih banyak. “Jadi, kamu mau mengakui atau nggak?” tanya oma Ambar tegas. “Alena, kamu …. Nggak mungkin kamu ngelakuin itu, kan?” tanya Laura tak percaya, namun Alena tetap menangis. “Jadi kamu beneran nyiram diri kamu sendiri buat nuduh Maura?” Vivian yang juga tak percaya, membulatkan matanya. “Nggak mungkin!” Clara yang masih percaya pada Alena meski kepercayaannya mulai runtuh sedikit demi sedikit, menatap Alena. “Kak, ayo bilang sejujurnya. Kak Ale nggak mungkin ngelakuin hal itu. Ini beneran perbuatan Maura. Ayo, Kak, bilang!” “Cukup, Clara. Apa kamu nggak lihat? Secara nggak langsung dia udah ngasih jawabannya,” ujar Narendra tegas meski hatinya merasa lega.
“Tante … hiks, hiks, hiks …. Jangan dekat-dekat, nanti kena tumpahan jus.” Dengan mata berkaca-kaca, Alena menjaga jarak dari Laura dan Vivian.“Kamu ….” Laura yang menunjuk Maura, sempat kehilangan kata-katanya. “Saya udah ngerasa agak tenang karena kamu nggak bikin ulah di pesta ulang tahun saya, tapi tetep aja ujung-ujungnya kamu malah bikin onar kayak gini.”“Ma, i-itu nggak benar. Aku … aku lihat dia yang nyiram dirinya sendiri pakai jus itu,” jawab Maura sedikit gugup.“Halaahh …. Masa iya, Alena mempermalukan dirinya sendiri kayak gini, sih? Kamu aja yang nggak mau ngaku atas perbuatanmu,” tuduh Vivian dengan wajah galak. “Mentang-mentang kamu disayang sama oma, akhirnya kamu benar-benar ngelunjak.”“Tante, aku—”“Nggak usah cari-cari alasan! Minimal kamu minta maaf, kek!” ujar Laura keras.“Ada apa ini, Ma?” Dewangga yang mendengar keributan segera mendekat bersama Zefan, lalu menatap Alena yang berantakan.“Dia tuh, udah nyiram Alena pakai jus,” tuduh Vivian yakin sambil menu
Maura duduk menyepi di sudut kursi taman yang terlindung dari cahaya lampu, sambil bertelanjang kaki.Sepasang sepatunya, dibiarkan tergeletak rapi di samping.Sejak mendengar gosip-gosip buruk tentang dirinya, dia merasa tak pantas berada di sana, di antara banyaknya orang yang bersuka cita menceritakan keburukannya.Dia butuh waktu dan ruang untuk berdamai dengan segala hal. Dengan dirinya, dengan masa lalunya yang masih terlupakan, serta dengan orang-orang yang memandangnya rendah.Satu persatu tamu pergi. Dia hanya bisa menatap dari kejauhan, bersembunyi di balik kegelapan. Hanya di tempat sepi itu dia merasa sedikit aman.Jam menunjukkan hampir pukul sebelas. Sudah satu jam lamanya dia di sana. Dia yakin, ruang utama tempat diadakannya acara ulang tahun itu mulai sepi dari para tamu.Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Dewangga masuk.Selama dia memulai hidup barunya setelah kecelakaan dan amnesia, bisa dihitung jari berapa kali pria itu menghubunginya lebih dulu, membu