Share

Part 7. Makna Kebahagiaan

Miska telah sampai di mansion ketika rembulan menggantung sendirian di langit. Entah kenapa malam ini bintang-bintang enggan menampakkan diri. Mungkin sedang malas melihat kehidupan di dunia yang semakin porak poranda karena ambisi dan kerakusan manusia.

 

Mansion tampak sepi, memang biasanya juga sepi. Bayangkan saja Mansion ini luasnya lebih dari 8000 meter persegi, tapi hanya di huni oleh lima orang manusia, belum termasuk dengan para pelayan, tukang kebun  dan Security. Betapa sepinya.

 

Mansion ini di bangun oleh Kakek Atmaja dengan fasilitas yang lengkap. Sejak anaknya Darren Atmaja menikah dan memiliki anak, Darren membangun taman bunga, di persembahkan spesial untuk Sherly istrinya dan Anne putri kesayangannya.

 

Tapi semua kemewahan yang tampak indah di pelupuk mata ini, tidak mengisyaratkan makna sebuah kebahagiaan.

 

Rumah megah ini dengan segala fasilitasnya yang memanjakan dan melenakan, ternyata tidak sanggup menghadirkan kebahagiaan di hati Kakek Atmaja. 

 

Kebahagiaannya seolah terenggut paksa, sejak peristiwa tragis itu. Kecelakaan yang telah merenggut nyawa anak semata wayangnya serta menantunya.

 

"Tuan, mari saya antar untuk istirahat di kamar," pelayannya setia mendampingi kakek Atmaja. 

 

Pria tua itu terlihat rapuh, duduk di kursi roda sambil memandang rembulan bongkok yang menggantung di langit kelam. Dia mendesah panjang.

 

"Baiklah, antar aku ke kamar," sang pelayan kemudian mendorong kursi roda menuju kamar Kakek Atmaja.

 

"Grandpa, belum tidur?" 

 

Mereka berpapasan dengan Miska yang baru saja pulang. Kakek Atmaja tersenyum dingin.

 

"Grandpa, jangan telat istirahat, nanti bisa sakit," 

 

"Iya, ini baru mau ke kamar. Ayo, Din. Antar aku ke kamar," seru Kakek Atmaja.

 

"Baik, Tuan,"

 

"Permisi, Nona,"

 

Dina mengangguk pada Miska dan berjalan menuju kamar Kakek Atmaja sambil mendorong kursi roda. Miska menatap kepergian mereka dengan wajah entah.

 

Setelah itu Miska melenggang pergi menuju kamar Raka.

 

"Kak, Kak Raka,"

 

Yang dipanggil sedang asyik main game online di Smartphone nya.

 

"Apaan sih, teriak-teriak. Kayak di hutan aja,"

 

Miska melempar bantal mengenai muka Raka.

 

"Apaan sih, Dek. Ngganggu aja deh," Raka ngedumel.

 

"Aku bilangin Momy, biar Kak Raka diomelin," mendengar kata Momy, Raka mendengus kesal.

 

"Iya, kenapa?"

 

Miska duduk di ranjang kakaknya.

 

"Menurut Kak Raka. Alex bakalan mau ga ngejalanin rencana kita kemarin?"

 

"Coba deh tar Kak Raka bantu bujukin si Alex," 

 

"Bener ya, Kak. Pokoknya kali ini ga boleh gagal. Sejak dulu aku selalu kalah sama Anne, padahal dia itu kan cuma gadis tuli," bibir Miska cemberut.

 

"Sini Kak Raka peluk, Kak Raka janji. Kamu bakal dapetin apa yang kamu mau," hibur Raka.

 

"Thanks, Kak Raka emang paling ganteng sedunia deh," Miska melonjak girang.

 

"Ganteng mana sama Hanzel?"

 

"Hanzel dong," jawab Miska.

 

"Oh gitu ya, ya udah sana sama Hanzel,"

 

"Hahaha .... " Miska tergelak.

 

Setelah puas telah diberi janji kakaknya, Miska beranjak keluar dari kamar Raka dengan riang gembira. Dia membayangkan bisa mendapatkan Hanzel tanpa halangan dan rintangan, jika Anne berhasil disingkarkan dari hidup Hanzel. 

 

Setelah adiknya pergi, Raka menghembuskan nafas panjang. Kalau bukan karena rasa sayangnya yang besar pada Miska, tidak mungkin dia bisa melakukan hal-hal yang keterlaluan. 

 

Dia tampak mendesah panjang, tapi tak berapa lama kemudian dia kembali menekuni game online di gadget nya, sampai ketiduran.

 

 

***

 

 

"Anne, Anne, kapan pulang," oceh burung beo.

 

Suara burung beo yang mengoceh di halaman belakang terdengar bersedih. Mendengarnya membuat hati pria tua yang sedang duduk di kursi roda itu ikut luruh dalam kesedihan.

 

Sementara titik-titik air ikut berjatuhan dari pucuk bunga Adenium yang bermekaran warna-warni, seolah-olah sedang meneteskan airmata.

 

"Rin, bilang sama supir pribadiku. Pagi ini aku mau bertemu Anne di Yayasan," titah Atmaja.

 

"Baik, Tuan," jawab Rina, kemudian pergi.

 

Bersamaan dengan itu, Tante Sandra datang.

 

"Tumben, pagi-pagi kok sudah rapi? Mau kemana, Pa?" Sapa Tante Sandra saat Kakek Atmaja keluar dari kamarnya bersama Dina.

 

Kakek Atmaja acuh, tidak menoleh. Tatap matanya lurus ke depan.

 

"Pa, Sandra tanya papa mau kemana?" protes Sandra.

 

"Papa mau ketemu, Anne. Kenapa ga boleh?" jawabnya dingin.

 

"Pa, kami semua sayang Anne, seperti Papa sayang Anne. Jangan sinis gitu dong, Pa," Tante Sandra mendengus kesal.

 

"Sayang macam apa, ketika kalian tertawa bahagia saat kalian mengusirnya dari rumah ini," sergah Atmaja.

 

"Pa, kami tidak mengusir. Anne yang memilih untuk tinggal di yayasan," jawab Tante Sandra.

 

"Apapun itu, kalian telah membuat cucuku pergi dari rumah ini," desah Atmaja.

 

Sepertinya pria tua yang rapuh ini, terlalu lama menahan kesedihan. Rasa sakit akibat ditinggalkan oleh orang-orang yang disayangi mampu menembus jiwa dan raga.

 

Ketika jiwa terlalu lama terpasung dalam pesakitan, tanpa ada penawar rasa sakitnya. Maka raga akan menjadi sakit pula. Menjadi rapuh kemudian menggelepar mati. 

 

Penawar rasa sakitnya selama ini adalah Anne. Cucu kesayangannya itulah yang mampu membuatnya bertahan hidup. 

 

Tapi kini sang penawar telah pergi meninggalkannya sendirian, akibat kerakusan manusia yang tidak tahu diri.

 

"Aku bosan berdiam diri atas kebiadaban kalian semua," ucapnya kemudian menjalankan kursi rodanya meninggalkan Sandra yang masih diam terpaku.

 

 

***

 

 

Pagi itu setelah sarapan, anak-anak berkumpul di ruang depan asrama. Meskipun mereka saling berbicara dan bersendau gurau satu sama lain, tetapi suasana senyap seolah menjelma disana. 

 

Karena mereka adalah sekelompok manusia istimewa. Manusia yang telah Allah istimewakan dengan tidak mengizinkan telinga mereka melakukan dosa.

 

Karena sejatinya semua yang kita miliki hari ini, akan ada hisabnya. Akan tiba suatu masa dimana mata, mulut dan telinga ditanya oleh Tuhan, dipakai untuk apa panca Indra itu selama hidup di dunia. 

 

Dan keistimewaan mereka adalah mereka tidak akan dihisab tentang apa yang mereka dengar, karena mereka tidak bisa mendengar. Terlebih melakukan dosa dengan apa yang mereka dengar.

 

Pelajaran bagi manusia-manusia normal, untuk menggunakan pendengarannya dengan baik. Bukan untuk mencuri dengar apalagi mendengar ghibah yang unfaedah.

 

Mereka bicara dengan bahasa isyarat Bisindo. 

Salah satu metode bagi penyandang tuna rungu untuk berkomunikasi satu sama lain.

 

"Anak-anak, kalian mau mendengarkan suara musik piano?" Anne datang menyapa dengan bahasa isyarat.

 

Bagaimana caranya seorang penyandang tuna rungu menikmati musik?

 

Mereka mendengar dan menikmati dengan Indra yang lain. Merasakan getaran yang ditimbulkan dari gelombang suara dengan kulit mereka. Atau jika gelombang suara itu sangat kuat mereka akan bisa merasakan dengan getaran yang menghentak-hendak di dada.

 

Begitulah, mereka mendengar dengan cara yang lain. Karena ketika Tuhan telah mematikan fungsi dari salah satu Indra manusia, maka akan ada Indra lain yang lebih peka dan tajam menggantikan fungsi yang hilang itu.

 

Dari ekspresi anak-anak, mereka tampak antusias. Mereka senang melihat Anne bermain piano. Mencoba menikmati dentingan piano dengan merasakan getaran nada yang tercipta.

 

Anne memainkan lagu-lagu bernuansa ceria, mencoba menghadirkan keceriaan dan semangat untuk menjalani hari mereka. 

 

Tapi keceriaan mereka terjeda, ketika sebuah suara menyapanya.

 

"Anne," panggil Atmaja.

 

Anne menoleh, di sampingnya Kakek Atmaja tersenyum. Gurat wajah tuanya menampakkan kerinduan pada cucu kesayangannya itu.

 

"Kakek," pekik Anne sambil tersenyum semringah.

 

Anne segera menghampiri Kakek Atmaja setelah berpamitan dengan anak-anak dengan bahasa isyarat.

 

"Kau tampak sangat bahagia di sini," Kakek Atmaja tidak pernah melihat Anne tersenyum begitu lebar saat masih tinggal di rumah mereka.

 

"Seperti yang Kakek lihat, anak-anak istimewa itu telah menghadirkan bahagia di hati Anne. Dari mereka Anne belajar bersyukur," Anne menjawab sendu.

 

"Dulu Anne pernah merasa sangat sedih saat kehilangan pendengaran, padahal tidak separah mereka. Karena Anne masih bisa memakai alat bantu dengar," Anne melanjutkan.

 

"Hidup ini selalu ada yang disyukuri, Kek. Karena rencana Tuhan selalu yang terbaik untuk kita," menutup dengan sebuah senyuman yang sangat indah.

 

Kakek Atmaja tampak begitu terharu mendengar penuturan Anne. Dia membenarkannya, tidak selayaknya manusia selalu menuntut Tuhan tentang apa yang tidak mereka miliki. Karena sama saja itu tidak bersyukur pada-Nya.

 

"Kakek, maaf Anne belum datang berkunjung," Anne tampak bersedih.

 

"Tidak mengapa, Ann. Kakek akan bahagia, selama Anne bahagia. Tadinya kakek bersedih dengan kepergianmu. Tapi saat Kakek melihat kamu lebih bahagia disini, kakek berubah pikiran," Kakek Atmaja tersenyum lebar. Senyum itu telah hilang beberapa hari sejak Anne pergi.

 

"Baiklah, Anne akan ajak kakek berkeliling di gedung ini," Anne kemudian mendorong kursi roda kakek meninggalkan ruangan itu.

 

Begitu mereka keluar dari ruang depan asrama, mereka berpapasan dengan dua orang pria. Langkah Anne terhenti saat matanya menangkap sosok dua pria itu. Anne mengangguk sopan menyapa keduanya, yang dibalas dengan senyuman dari kedua pria itu.

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status