Aldebaran tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dia masih kesal dengan chat beruntun Angga yang membuatnya sulit tidur semalam.
Belum juga semenit, bunyi notifikasi kembali masuk. Aldebaran membuang napas kesal menatap layar ponselnya. Jika saja bisa, dia sudah langsung memblokir nomor Angga. Sayangnya saat ini dia berada dalam tubuh Rara, tidak ada pilihan lain selain membiarkan begitu saja.
Angga : Jihan sudah tidur?
Angga : Apa aku mengganggu?
Angga : Kenapa tidak membalas? Kau membacanya.
Angga : Besok aku ingin mengajakmu jalan berdua!
Angga : Apa kau sudah tidur, Jihan?
Angga : Ya sudah, sweet dream.
Isi chat Angga semalam langsung di hapus seketika itu juga.
Angga : Ayo sarapan, Jihan!
Aldebaran melempar asal ponsel ke atas kasur. Dia merasa frustasi meng
Di sinilah Rara berakhir, bersama Angga di depan sebuah pusat perbelanjaan. Beberapa saat lalu, Aldebaran mengikuti keinginan Angga untuk jalan berdua setelah dari lokasi proyek. Sementara Rara harus beralasan merasa kurang enak badan dan pulang lebih dulu. Aldebaran tidak bisa membiarkan Rara dekat dengan Monika apalagi tanpa dirinya. “Kau suka es krim kan? Kita mampir di sini sebentar.” Angga menepikan mobil. “Es krim?” “Iya, kau menyukainya ‘kan. Dulu saat kau menemaniku membeli hadiah ibuku kau memintaku membeli es krim!” Ah... maksudnya Rara. Dia menyukai es krim? Aldebaran memicingkan mata. Apa ini termasuk salah satu triknya bersikap romantis? Dasar payah... kau bahkan tidak tahu romantis itu apa! Angga segera turun dan berlari kecil masuk ke dalam sebuah mini market. Aldebaran melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Dia mengamati keadaan sekitar. Tidak begitu ramai, matahari
Suasana pagi yang hangat, di ruang makan, penghuni rumah tengah berkumpul untuk sarapan.“Kami akan kembali hari ini, Paman. Ada pekerjaan lain yang sudah menunggu di sana,” ucap Angga memulai percakapan.“Kenapa cepat sekali! Tinggal lah lebih lama di sini. Besok Lusy akan kembali dari wisata pikniknya,” sahut Diana sedikit sedih.“Tadinya ingin begitu, sayangnya ayah sudah meminta kami untuk kembali. Kami akan terus mengawasi proyek ini dari sana.”“Iya, Bi. Film aku juga akan tayang Minggu depan, ada kontrak iklan juga yang harus diselesaikan.” Aldebaran menambahkan.“I will miss you so much!” ucap Nicole mengerucutkan bibirnya.Roy mengulas senyum, menepuk punggung Nicole.Diana menghela napas pelan. “Baiklah, kalian jangan lupa berkunjung lagi jika ada waktu senggang.”Aldebaran dan Angga mengangguk bersamaan.“
Rara melirik secara bergantian ke arah Aldebaran dan Angga yang duduk di hadapannya. Tatapan mereka mengarah diam padanya. Aldebaran merasa seperti orang asing di rumah sendiri. Rara melempar punggung, memangku kaki dengan angkuh, menaruh satu tangannya di bahu sofa seraya bersikap layaknya tuan rumah. “Ada perlu apa kau ke sini, Al?” tanya Angga lebih dulu. “Kau tidak berhak menanyakan itu padaku!” Angga mengernyit. “Memangnya tidak boleh aku bertanya?” “Aku datang karena membawa oleh-oleh buat ibu. Puas?” Nirmala berjalan mendekat dengan membawa nampan berisi secangkir teh. “Ini, Nak Al. Silakan diminum. Maaf ya hanya seadanya. Ibu tidak tahu kalau kalian akan datang!” “Tidak usah repot, Bu. Ini juga sudah cukup,” sahut Angga merendah. Rara menyunggingkan senyum. Jadi ini caramu merebut hati Rara melalui ibunya? Menggelikan! Aldebaran mencibir dalam hati. “Nak Al, bolehkah Rara menginap
Rara menggebrak dashboard mobil membuat Dion hampir kehilangan fokus saking kagetnya.“Ya ampun, Al! Jantungku hampir melompat dari tempatnya. Ini hari yang menyedihkan bagiku!” Dion kembali berkomentar melihat sudah kesekian kalinya Aldebaran tiba-tiba menyentuh apa pun yang mengagetkan Dion.“Pria licik itu, apa dia mengawasi Rara?” Aldebaran balik bertanya ke arah Dion yang sedang fokus menyetir.Dion mengangkat bahu tanda tak tahu.Beberapa saat lalu....“Ada perlu apa Tuan ingin berbicara denganku?”David menatap dalam wajah Rara. Sorotan matanya menunjukkan kehangatan yang membuat Aldebaran makin mencurigai dirinya.Apa arti tatapan itu? Tidak mungkin pria ini menyukai gadis yang lebih muda dari usia putrinya, terka Aldebaran dalam hati.David mengulas senyum. Dia hendak mendekati Rara, membuat Rara selangkah mundur.“Ap
Rara tengah bersiap untuk menghadiri acara film perdananya yang akan tayang di bioskop. Sebenarnya ini bukan film pertama Aldebaran, bagi Rara itu yang pertama selain film bergenre romance yang selalu diperankan Aldebaran, itu kali pertama Aldebaran tampil dalam film bergenre mystery dan thriller. Bagi Rara itu merupakan tantangan tersendiri, sebagai peran utama tentu saja Rara begitu antusias menunggu hasil dari kerja kerasnya.“Apa kau begitu senangnya?!” Suara Rara menginterupsi. Aldebaran sejak tadi sudah berdiri di ambang pintu tanpa Rara sadari.“Sejak kapan Pak Al datang?”“Beberapa menit yang lalu!”Rara melempar tatapan menyelidik.“Salah sendiri pintunya tidak dikunci!” Aldebaran lebih dulu membela diri.Rara mendesis pelan. Aldebaran menebak dengan tepat apa yang akan dikatakan Rara selanjutnya. Dengan cepat Rara meraih kunci mobil dan pon
Sejak kemarin Aldebaran merasa ada yang aneh dengan dirinya. Saat ini dia sedang bersama Dion di bar. “Apa yang kaupikirkan, Al?” tanya Dion mengawali percakapan setelah menyajikan cola dingin untuknya. Aldebaran bahkan tidak bisa minum. Dia terpaksa menahan diri menjauh dari alkohol. “Al!” Dion menepuk bahu Rara. “Ada apa?” Aldebaran menoleh kaget. “Kau lagi memikirkan apa? Terjadi sesuatu?” “Bukan apa-apa!” Aldebaran meneguk minumannya hingga tersisa setengah. “Aku sudah mencari wanita tua itu lagi, tapi masih juga belum menemukan petunjuk apa pun. Jika dipikir-pikir, semua ini memang tidak masuk akal!” Aldebaran menghela napas pelan. “Kau tidak perlu lagi mencarinya. Aku masih harus melakukan sesuatu dengan tubuh gadis lamban ini!” Dion memperbaiki posisi duduk. “Apa yang akan kaulakukan?” “Sesuatu! Yang pasti aku memerlukan tubuh Rara untuk melakukan itu.” “Kuharap bukan hal gi
Rara segera berenang mencapai tubuh Aldebaran yang hampir kehabisan napas. Kania sangat panik dan berusaha membantu mengangkat Aldebaran yang sudah tidak sadarkan diri. Rara lantas memompa jantung agar Aldebaran memuntahkan air. “Bagaimana mungkin Al tidak bisa berenang? Itu kebiasaan yang selalu kami lakukan setiap kali bertemu,” ucap Kania dengan suara bergetar. Rara tidak menjawab, dia terus memberikan pertolongan berharap Aldebaran segera siuman. Tak berselang lama, Aldebaran akhirnya memuntahkan air. Rara mendesah lega lalu membantu Aldebaran untuk bangun. “Kau baik-baik saja?” tanya Rara memastikan. Aldebaran hanya mengangguk, menoleh ke arah Kania yang merasa cemas sekaligus bingung dengan situasi mereka saat ini. “Maafkan aku, Al. Aku tidak bermaksud melakukan hal buruk dan—“ “Aku tahu, kau tidak perlu cemas!” Rara lebih dulu menyela. “Tunggu, kau.... bagaimana kau tahu namaku dan siapa kau
Aldebaran tengah berdiri di balkon teras lantai dua, menikmati udara malam dalam kesendirian. Embusan angin malam menembus pakaian Rara yang tidak cukup tebal. Dingin. Suara tapak kaki seseorang menyentuh indra pendengaran, Aldebaran enggan untuk menoleh, dia tahu jelas siapa yang menghampirinya. “What the hell you doing here?” Aldebaran tidak menjawab, masih memandang rembulan yang begitu terang di singgasana. “Aku merasa seperti berada di dunia fantasi. Kau benar-benar berada di dalam sana?” Kania memulai percakapan, memecah keheningan. “Bukankah sudah jelas, apa kau masih meragukannya?” Aldebaran melirik sekilas, pandangannya kembali menatap bulan. “It's hard to believe! That can't be.” Kania menghela napas pelan. “Bagaimana bisa jiwamu berakhir di dalam tubuh seorang gadis yang terpaut jauh usia denganmu?! Apa kalian memiliki hubungan yang spesial?” “Kami tidak sedekat itu! Semua ini juga tidak masuk akal bag