Menjadi pustakawan adalah suatu keuntungan terbesar yang pernah Gale terima selama 19 tahun hidupnya. Sedari kecil, dirinya tidak pernah sekali pun menginjakkan kakinya pada jenjang pendidikan. Saat masih di panti asuhan pun, para suster sangat jarang mengajari dirinya dan anak-anak lain membaca, menulis, dan penghitungan dasar. Bagi Gale juga anak-anak lain yang terus bertumbuh, pelajaran seperti ini tidaklah cukup. Ada rasa keingintahuan besar akan pengetahuan-pengetahuan luas. Sayangnya, karena keterbatasan ekonomi, pikiran itu harus dikubur jauh-jauh dalam hati mereka.
Jadi, ketika dirinya diterima sebagai pustakawan, rasa senang yang tak terhingga membuncah. Dia bahkan menganggapnya sebagai hadiah ulang tahun terbaik. Ditambah, pemilik perpustakaan tersebut adalah seorang nenek baik hati. Di saat waktunya luang, Gale diperbolehkan untuk membaca buku-buku di sana. Tentunya hal ini dimanfaatkan Gale dengan baik.
Dia sering menyusuri rak-rak tinggi penuh dengan segala macam buku pengetahuan. Semakin jauh ia menyusuri, semakin ia mengetahui, banyak buku yang bukan hanya terfokus pada dunia pengetahuan, tapi juga hiburan. Terkadang dirinya juga mendapati buku yang dipenuhi dengan khayalan yang tak mungkin terjadi.
"Bagaimana bisa ada orang yang membaca benda ini?" Suatu hari pertanyaan tak sengaja terlontar dari mulut Gale. Sang pemilik perpustakaan mendongak dari bacaannya dan tersenyum lembut pada Gale.
"Apa Kau tidak tertarik membacanya?" dia bertanya.
Gale menggeleng sebagai balasan. Nenek tua itu tidak marah, sebaliknya dia mengambil buku yang dimaksud Gale dan membukanya.
"Menurutmu mengapa tidak banyak orang tertarik membacanya?" tanya nenek itu lagi.
Berpikir sejenak sebelum menjawab, "karena penuh dengan kekonyolan dan kebodohan tak nyata...?" Gale ragu-ragu namun tetap meneruskan.
Lembar-lembar kusam dibalik satu-persatu. Berhenti ketika mencapai gambar yang tercetak di dalamnya dan mengamatinya. Seorang wanita cantik dengan mahkota bunga terpasang sedikit miring di kepalanya. Tangannya yang ramping terulur seperti menjangkau sesuatu. Wajahnya penuh senyuman yang menyiratkan suatu kebahagiaan.
Entah Gale salah melihat atau tidak, mata kecil berbingkai kacamata perak di depannya terlihat sendu. Suatu kesedihan yang tidak bisa dijelaskan muncul dari dalamnya.
"Apakah Kau pernah percaya pada dunia sihir?" pertanyaan kembali diucapkan.
Sekali lagi Gale menggeleng. "Bukankah itu hanya dongeng yang diciptakan orang-orang tua terdahulu? Bahkan ceritanya tidak bisa menghibur anak-anak sedikit pun."
Senyuman dan tatapan lembut kembali diarahkan. Rambut beruban sedikit bergoyang saat sang pemiliknya menoleh ke arah jendela. Sinar matahari pagi menyorot wajah keriput itu lembut. Sisa-sisa kecantikannya masih bisa dilihat.
"Bagaimana jika sesuatu yang dianggap khayalan itu adalah suatu kenyataan?"
Sejauh ingatannya, Gale tidak menjawab pertanyaan tersebut. Membiarkannya terbang disapu angin.
Ingatannya mengilas balik. Saat dia kembali tersadar, tempatnya berpijak berganti. Gale berdiri di karpet merah panjang dan Lui duduk di kursi singgasananya.
"Selamat datang di tempatku bertakhta. Dari sini aku bisa mengamati seluruh wilayah Thvacyria dan mengaturnya."
Gale menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan linglung. Cukup untuk menyadari seluruh ruangan itu berlapis kaca, membuat bagian luarnya terlihat sangat jelas. Gale sedikit merinding saat melihat bagian lantai yang juga berasal dari kaca. Ingatan saat ia terjun bebas masih terpatri erat di otaknya, meninggalkan semacam trauma baginya. Untungnya, karpet merah yang mengalasi tempat ia berdiri cukup untuk mengurangi ketakutannya.
"Mengapa aku dibawa ke mari? Aku ingin pulang." Setelah menyingkirkan ketakutannya, Gale memulai dengan pertanyaan.
Ketukan tanpa irama memasuki pendengarannya. Lui mengerakkan jari-jarinya bergantian, mengetuk sandaran tangan yang terbuat dari besi.
"Mmmm...sepertinya tidak bisa," balasnya santai, tidak memedulikan pertanyaan pertama Gale serta kebingungan di manik hitam pekat itu.
"Tinggallah di sini selama beberapa saat. Lagi pula, mengetahui sebuah lelucon adalah kenyataan sangat mencengangkan, bukan? Jadi jangan ragu untuk melihat-lihat sekitarmu sesuka hati."
"Bagaimana bisa seperti itu? Juga, aku hanya meminta cuti setengah hari pada bos tempatku bekerja," pekik Gale kesal.
Kakinya sedikit menendang-nendang saat ia berjalan ke sana ke mari, kebiasaan yang tanpa disadari sering ia lakukan saat gelisah.
"Tenang saja. Aku sudah mengatur segalanya untukmu. Aku jamin akan berjalan dengan lancar." Lui bersandar malas pada kursinya. Tatapannya geli melihat tingkah Gale mirip kangguru yang ingin memukul orang.
"Tapi aku tetap ingin pulang," wajah Gale cemberut. Ia tetap bersikeras untuk kembali ke dunianya. Firasatnya mengatakan, semakin lama ia di sini, sesuatu yang buruk akan mendatanginya.
Sayangnya, sebelum Gale bisa mendapatkan jawaban, orang yang terlihat akrab tiba-tiba muncul entah dari mana dengan wajah kusut dan menginterupsi pembicaraan mereka.
"Jika Kau ingin kembali, kembalilah sendiri."
Setiap kali pemuda ini bertemu dengan dirinya, Gale akan selalu merasakan tatapan merendahkan dan angkuh dilayangkan untuknya. Juga, kata-kata pedas yang tak pernah terlewat sejak pertemuan kedua mereka.
"Oh, Caesar, Kau sudah kembali." Lui yang menyadari kehadirannya segera menyapanya dengan senyum manis di wajah bayinya. Setiap orang yang mendapat senyuman manis itu akan merasakan kegemasan. Caesar bukan salah satu di antara orang-orang itu. Begitu senyuman dari Lui tertangkap matanya, dia memutar bola matanya dan berdecih.
Senyuman palsu yang menutupi niat tersembunyinya.
"Kau juga ada di sini?" pertanyaan dari Gale membuat Caesar mengangkat salah satu alisnya tinggi.
"Kau buta?" jawaban sinis lainnya datang. Gale segera menutup mulutnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.
Menyaksikan pertunjukan di depannya, Lui tertawa keras. "Caesar, Kau harus berperilaku lebih lembut terhadap pendatang baru kita." Walaupun terdengar seperti pembelaan, namun Gale dapat merasakan ejekan dalam kata-katanya.
"Aku sudah mengurus semuanya," Caesar membuka mulutnya, mengkonfirmasi maksud kedatangannya.
"Bagus. Dengan begini semuanya akan berjalan lancar." Lui mengangguk puas.
Dia berbalik menatap Gale yang berdiri diam mengamati dua orang di depannya dengan tatapan kosong. Kemudian, Lui membuka mulutnya dan mulai berbicara dengan suara yang berwibawa, "Gale Lavonsier."
Gale menatapnya.
"Aku sebagai penguasa Thvacyria memiliki suatu permintaan." Lui bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Gale. Tingginya hanya sebatas dada Gale. Tetapi, karena dia melayang, dia bisa menyamai Gale.
"Aku ingin Kau menjadi penyelamat Federlin." Lui menyelesaikan perkataannya. Matanya dipenuhi kesungguhan saat ia menatap tepat pada manik hitam di hadapannya.
Berkedip beberapa kali sebelum Gale bertanya dengan kebingungan yang jelas, "maksudmu?"
Lui berputar dan melayang ke arah jendela. "Sebuah dunia tidak akan bisa terbentuk dan memiliki kehidupan tanpa pencipta. Sama seperti dunia manusia. Kalian menyebutnya Tuhan, Dewa, dan lainnya. Sedangkan di Federlin, kami menyebutnya Monstrous Realm."
Dia berhenti sejenak, mengamati ekspresi Gale sebelum melanjutkan, "Monstrous Realm adalah pencipta kehidupan Federlin. Sebelumnya, semua yang ada di Federlin akan selalu diatur olehnya sehingga tidak terjadi kekacauan."
"Sebelumnya?" Gale mendapati sesuatu yang salah pada kata-kata Lui dan bertanya.
Anggukan kepala menjawab. "Ya. Sebelum para pengganggu itu datang."
"Para pengganggu?" Gael memiringkan kepalanya, bertanya dengan penasaran.Caesar menatapnya lama sebelum memalingkan wajahnya. Sedangkan Lui, menjawab tanpa mengubah rautnya, "orang-orang dari wilayah barat Federlin, Oorzecyria.""Apa Kau pernah mendengar Hearthsoul?" Lui tidak menjelaskan lebih lanjut, sebaliknya memberikan pertanyaan.Ingatan Gael berputar pada pertemuan pertamanya dengan Caesar. Jika tidak salah ingat, benda yang tidak sengaja ia hancurkan disebut Hearthsoul oleh Caesar."Hearthsoul adalah energi alam yang berkumpul menjadi energi spiritual besar untuk diserap oleh Monstrous Realm. Karenanya, Hearthsoul merupakan kekuatan pendukung besar bagi Monstrous Realm dalam mengatur dan melindungi Federlin."Sayangnya, karena kedatangan orang-orang dari Oorzecyria, segalanya menjadi kacau. Oorzecyria mencuri sumber daya Monstrous Realm. Hearthsoul perlahan lenyap karena alam tidak mampu lagi menghasilkan energi spiritual, yang mana membua
"Sudah sangat lama aku tidak pernah melihat Ervent," sosok itu masih terus berbicara dengan kata yang asing bagi Gale. Sedangkan Caesar, hanya menatap tak acuh pada tatapan Gale yang meminta pertolongan. "Bagaimana bisa ada Ervent di sini? Bukankah portal antar dimensi telah ditutup sejak lama?" Sosok itu mengitari Gale. Sesekali juga menyentuh bagian tubuhnya. "Dia adalah pengganti Hearthsoul yang Kau ramalkan. Lui memintaku menjemputnya kemarin," suara yang diharapkan terdengar. Caesar meliriknya sejenak sebelum kembali berkata, "kami ke sini untuk membeli beberapa barang." Akhirnya makhluk kerdil itu melepaskan Gale. Dia berbalik ke rumah mungilnya dan dengan suasana hati yang baik memberi isyarat pada dua tamunya agar mengikuti. Mereka berdua tidak masuk, hanya berdiri di depan pintu dengan dahi berkerut. Menyadari kesalahannya, Vryollin, nama makhluk kerdil itu, tertawa terbahak-bahak. Suaranya tercekik seperti tikus yang mencicit.
"Usiaku sudah 19 tahun. Bagaimana bisa aku masuk ke sekolah? Sudah terlalu tua untukku, bukan?" Bisik Gale cemberut. Dia berdiri dengan kesusahan karena beban di tangannya.Di depannya adalah gerbang besi raksasa saat Gale menyadari suatu hal yang ia lupakan. Caesar turun dari kereta kuda diikuti dirinya dengan bawaan penuh di tangan kanan kirinya. Kusir yang mengendarai kereta memastikan penumpangnya sudah turun dan segera pergi. Dia menarik tali kekangnya dan segera, kuda yang menjadi penariknya berlari cepat, mengeluarkan suara ketukan tak berirama. Kereta kuda itu semakin menjauh dan menghilang di antara pepohonan lebat.Jika sebelumnya Gale berpikir sekolah sihir, Scootharts akan berada di kota besar, pemikirannya meleset jauh. kenyataannya, Scootharts yang dimaksud berada di tengah hutan, dikelilingi oleh pohon-pohon rimbun. Tidak ada yang lain selain hijau dan hitamnya kegelapan. Akan jauh lebih baik jika berada di pinggiran kota. Setidaknya bukan hanya kesunyia
Gale duduk termenung dengan pandangan kosong, mengamati wanita berambut biru yang berjalan mondar-mandir sembari membawa setelan berwarna hijau tua. Dia terkadang mengangkat setelan itu saat menatap Gale, seolah membandingkannya dengan tubuh Gale. Kemudian wanita itu mendesah kecewa, menggeleng dan bergumam, ''tidak cocok.''Kaki yang tidak pernah merasa lelah itu melangkah menuju lemari tua berwarna cokelat dan membukanya. Ajaibnya, lemari yang hanya berukuran sedang itu memiliki ruang luas dan berbagai setelan mewah memenuhinya. Kali ini, Charlie mengambil setelan berwarna biru muda dan mencocokannya dengan penampilan Gale. Matanya berbinar, dengan gembira ia bersenandung.''Bagus, ini cocok untukmu!''Tanpa kata-kata, Charlie menarik Gale, yang sedang memegang cangkir, untuk berdiri dan memaksanya mengganti pakaian. ''Ayo, ayo! Jangan menunda waktuku lebih lama,'' desaknya tak sabar. Gale yang tidak punya pilihan, hanya bisa menuruti. Begitu setelan biru muda
''Kamar asrama? Belum disiapkan,'' kata seorang pria bertelinga panjang. Tangannya membalik-balik buku tebal yang berisi daftar siswa asrama. ''Eh? Tapi sebelumnya kepala sekolah Fradleniz sudah mengaturnya untukku,'' jawab Gale dengan bingung. Caesar berjalan mendekat, mengambil alih buku tebal dari pria bertelinga panjang itu. Dia membalik-balikannya sebentar sebelum mengembalikannya. ''Siapa yang berjaga di sini sebelumnya?'' ''Itu Ellyn. Dia menjaga di sini sebelumnya, lalu bertukar denganku setelah mendapatkan panggilan.'' Pria bertelinga panjang itu melanjutkan, ''Mungkin dia lupa menambahkanmu ke daftar.'' Pria itu mendongak dan menatap Gale. Kedua orang itu kemudian pergi setelah Caesar memberi pesan untuk menyiapkan satu kamar. Pria bertelinga panjang itu menggaruk kepalanya bingung sembari menatap buku tebal di tangannya, ''sangat aneh. Biasanya Ellyn tidak pernah lupa.'' ''Apakah Kau juga tinggal di sini?'' tanya Gale penasaran. Dia
Bukan tanpa alasan Gale membanting pintu di depannya. Hanya saja kondisi di balik pintu membuatnya terkejut setengah mati. Dibandingkan dengan ruangan kelas, keadaannya lebih mirip dengan pasar yang dipenuhi sekumpulan preman. Meja-mejanya tersebar tak beraturan dan 'sekumpulan preman' itu duduk di tengah-tengah ruangan sambil memainkan sesuatu.''Apa yang Kau lakukan di sini? Cepat masuk!'' Sentakan keras di bahunya membuat Gale terdorong ke depan. Gale menoleh patah-patah dan menemukan pria kurus tinggi berkacamata perak menatapnya tajam. Pakaiannya lusuh dan wajahnya tak terawat, dipenuhi jambang tipis di sekitar dagunya. Hanya dengan sekali pandang, kelesuan dan kemalasannya dapat dirasakan.Pria itu membuka pintu di depannya setelah mendorong Gale ke samping. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang peduli dengan suara engsel pintu yang berderit. Begitu pria tinggi itu memukul meja dengan keras, perhatian 'para preman' di sana teralihkan. ''Rapikan!'' tanpa salam s
'Boom!'Bunyi ledakan ringan terdengar diikuti asap hitam yang mengepul. Gale terbatuk dan tangannya bergerak mengibaskan asap hitam yang menyesakkan pernapasannya.''Sial, gagal lagi!'' keluh seseorang di samping Gale. Wanita itu mengusak rambut pendeknya, yang malah membuatnya makin berantakan. Matanya bergerak, melirik Gale yang masih menutupi mulut serta hidungnya. ''Ah, maaf, maaf,'' sesal wanita itu dengan raut tak bersalah, atau lebih tepatnya acuh tak acuh sambil menyingkirkan tungku di hadapannya.Gale tidak tertarik untuk mempersalahkannya dan kembali fokus pada racikannya. Berbeda dari sebagian besar murid yang hampir meledakkan tungku mereka, Gale bisa dibilang melakukan dengan baik meskipun ini kali pertama ia mencoba. Tangannya mengusap keringat tipis di dahinya. Memasukkan ramuan ungu setelah memastikannya sesuai dengan buku panduan di meja. Cairan dalam tungku berubah menjadi hijau terang, menandakan jika ramuannya berhasil.''Wah
''Masih ada waktu dua jam. Lanjutkan!'' Begitu kata 'lanjutkan' jatuh, keadaan kembali sunyi. Masing-masing kembali fokus pada tungku di hadapan mereka. Suasananya terlalu serius, bahkan hembusan napas pun tak terdengar. Hanya suara 'blup blup' dari cairan yang dipanaskan di atas api, membuktikan jika lingkungan sekitar hidup.Meskipun Gale sudah menyelesaikan bagiannya, namun keseriusan di sekitarnya membuat dirinya terhanyut. Tangannya gatal ingin bereksperiman dan menciptakan sesuatu yang lain. Beberapa kali membalik-balik buku panduan tebal, Akhirnya Gale menyerah pada keinginannya. Mengambil beberapa helai daun ungu, menghaluskannya menjadi serbuk kasar dan memasukannya ke dalam tungku. Dia mengaduk beberapa putaran hingga serbuk kasar daun larut dalam cairan panas.Bunyi 'blup' serta gelembung-gelembung panas naik ke permukaan. Aroma menyebar seiring dengan uap yang dihasilkan. Sayangnya, dibandingkan aroma manis sebelumnya, aroma yang dihasilka