LOGINRaya merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk yang justru terasa seperti benda asing.Pegasnya menekan tulang-tulangnya yang masih tegang, membuat setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Matanya bengkak, perih, dan napasnya tersumbat oleh isak yang sejak tadi ia paksa berhenti. Di dalam kamar hotel yang dingin—hotel pertama yang ia temui secara acak malam itu—Raya memeluk tubuhnya sendiri, seolah satu-satunya pelindung yang masih ia miliki hanyalah lengannya.Ia masih mengingat bagaimana semua itu terjadi dengan begitu terburu-buru. Tangannya gemetar saat menyetop taksi, suaranya nyaris tak terdengar ketika ia meminta sopir berhenti di hotel terdekat yang mereka lewati. Ia bahkan tak sempat bertanya nama hotel itu. Tidak peduli harga, tidak peduli kelas. Ia hanya ingin turun. Ingin pintu terbuka. Ingin tempat yang bukan penthouse itu.Sopir sempat meliriknya melalui kaca spion—wajahnya basah air mata, rambutnya berantakan, napasnya tersengal. Raya hanya mengangguk kecil, menunduk, da
Tiga hari berlalu sejak Raya melihat sesuatu yang seharusnya tak lagi mengejutkannya, namun tetap saja melukai dengan cara yang paling kejam dan paling personal. Tiga hari di mana ia memilih diam, menolak segala bentuk percakapan, baik dari Cinta maupun dari Ardava. Diam yang bukan lahir dari kebingungan, melainkan dari kelelahan. Kelelahan karena selama ini ia terlalu sering menjelaskan, terlalu sering memaafkan, terlalu sering menjadi orang dewasa dalam hubungan yang tak pernah benar-benar setara.Mereka belum tahu. Setidaknya, belum sepenuhnya.Diamnya Raya menjadi bahasa yang sengaja ia ciptakan. Sebuah ketenangan palsu yang ia rawat dengan hati-hati. Ia masih membalas sapaan Cinta—singkat, ramah, nyaris normal—cukup untuk membuat wanita itu percaya bahwa tidak ada apa-apa. Bahwa persahabatan mereka aman. Bahwa Raya tidak curiga, tidak terluka, tidak menyimpan dendam. Padahal setiap huruf yang ia ketik terasa seperti menelan pecahan kaca kecil.Ia pun bersikap sama pada Ardava.
Ardava.Lelaki itu duduk terlalu dekat. Bahunya bersentuhan dengan Cinta, lutut mereka hampir sejajar. Ia tertawa ringan, santai, seolah tak ada beban sedikit pun di pundaknya, sambil mengangkat gelas bening dan meneguk isinya perlahan. Cahaya lampu ruangan memantul di rahangnya, memperjelas wajah yang selama ini hanya hadir dalam ingatan dan luka Raya.Detik itu terasa memanjang tanpa suara.Dunia Raya seketika membisu.Dentuman musik dari bar lenyap. Suara langkah kaki, tawa, bahkan napasnya sendiri menghilang, seolah semuanya tersedot ke ruang hampa. Darah terasa menyirna dari wajahnya, meninggalkan dingin yang menjalar dari tengkuk hingga ujung jemari. Tubuhnya kaku, seperti patung yang tiba-tiba kehilangan perintah untuk bergerak.Namun Raya tidak menjerit. Tidak menangis. Tidak pula mundur.Ia hanya melirik sepersekian detik, cukup lama untuk merekam setiap detail dengan kejam: jarak mereka, tawa mereka, bahasa tubuh yang tak bisa lagi disangkal. Dan cukup singkat agar tidak sat
Langit hampir sepenuhnya gelap ketika Raya yang sedari tadi nyaris tak mengedipkan mata, akhirnya melihat Cinta melangkah keluar dari lobi rumah sakit. Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, memantulkan kilau pucat di kaca depan mobil. Raya menegakkan punggungnya sedikit, refleks menoleh ke arah Jagara untuk memberi tahu, tapi gerakannya tertahan.Lelaki itu tertidur.Kepala Jagara miring ke samping, bersandar pada kusen jendela. Napasnya teratur, dalam, seperti seseorang yang sudah terlalu lama memaksa tubuhnya tetap terjaga. Wajahnya terlihat lebih lelah dari yang Raya sadari sebelumnya—rahangnya mengendur, kelopak matanya berat, rambutnya kusut tidak beraturan. Ada garis samar di antara alisnya, jejak dari malam-malam tanpa istirahat.Rasa bersalah menyelinap ke dada Raya, menusuk perlahan. Ia mengulurkan tangan, ragu, seolah takut menyentuh sesuatu yang rapuh. Namun saat menoleh lagi dan mendapati Cinta sudah menghentikan sebuah taksi di tepi jalan, Raya akhirnya mengusap p
Raya memilih untuk gila dengan sadar, dengan tenang, tanpa lagi berusaha menyangkal apa pun. Ia tidak peduli jika pemikiran ini akan menyeretnya ke jurang paling gelap, atau jika semua ini nantinya terbukti hanya paranoia yang lahir dari kekecewaan panjang terhadap Ardava. Pada titik ini, menyangkal justru terasa lebih menyakitkan daripada menerima kemungkinan terburuk.Perasaan itu sebenarnya sudah lama ada. Ia tumbuh perlahan, ditekan, dikubur, dipaksa diam seperti gunung berapi yang menahan lahar di perut bumi. Setiap kali tanda-tanda kecil muncul, Raya memilih memalingkan wajah, menyebutnya kebetulan, menyebutnya pikiran jahat yang tidak layak dipelihara. Terutama karena sosok yang ia curigai adalah Cinta, sahabat yang berdiri di sisinya saat Raya runtuh, yang membuka pintu apartemennya saat Raya tak punya tempat pulang, yang memeluknya di saat dunia terasa kejam dan sunyi. Memikirkan Cinta dengan cara seperti ini terasa kejam, nyaris seperti pengkhianatan.Karena itu Raya tak p
Operasi odontektomi dengan komplikasi infeksi itu memakan waktu jauh lebih lama dari perkiraan awal. Dua gigi bungsu tumbuh miring ke arah tulang rahang, satu di antaranya menekan saraf, sementara sisi lain sudah membentuk kantong kista kecil yang meradang. Raya sudah berada di ruang operasi sejak pagi buta, berdiri di bawah lampu sorot putih yang dinginnya seperti menembus tulang, memimpin prosedur dengan konsentrasi penuh.Tangannya bergerak presisi—insisi kecil, refleksi flap mukosa, pengeboran tulang secara bertahap agar tidak merusak saraf. Suara high-speed drill berdengung konstan, menjadi latar yang nyaris hipnotis. Setiap tahap memerlukan kehati-hatian ekstra. Ia tidak bisa terburu-buru. Satu kesalahan saja bisa berarti parestesia permanen bagi pasien.Jam di dinding bergerak pelan, ketika gigi terakhir akhirnya terangkat utuh dan area kista dibersihkan sempurna, Raya menarik napas panjang di balik masker. Jahitan ditutup rapi, perdarahan terkontrol, tanda vital stabil.“Baik







