Helena mengerjap. “Maka dari itu aku tidak memberitahunya supaya dia tidak marah. Lagupula nanti aku akan bertobat. Saat kita menikah nanti, aku tidak akan bermain-main seperti itu lagi. Aku akan fokus menjaga anak kita di rumah.” Perdebatan dimulai. Irene menggeleng pelan. Ada Helena dan Devian, pasti ada juga perdebatan. Helena yang tidak suka mengalah, sedangkan Devian yang suka memancing keributan. “Bulshit.” Devian menggeleng. ia teringat sesuatu. “Jangan bilang kau pergi ke klub dengan Royce!” tuduhnya. “Astaga.” “Bagaimana kau tahu..” lirih Helena tidak percaya. “Jika belum selesai dengan masa lalumu, jangan memulai hubungan baru dengan orang lain. Kau akan menyesal, kau akan merasa bersalah nanti,” ucap Devian dengan sungguh-sungguh. “Kasihan pacarmu yang sekarang, dia menyukaimu dan kau malah pergi dengan pria lain saat dia sedang tugas.” Helena mengerjap. “Aku bingung.” Menutup wajahnya dengan tiba-tiba. Kemudian menangis. “Kalian tahu kan hatiku ini sangat lemah d
Devian tidak mengira akan menjadi sangat sibuk setelah mendirikan perusahaan sendiri. Apalagi ia belum mempunyai banyak pegawai yang membantunya. Jam 10 malam, seharusnya ia sudah bersama istrinya di rumah. Namun dirinya masih berkutat dengan dokumen. Ia sudah memberitahu Irene untuk tidak menunggunya. [Irene sayang, jangan menungguku. Aku ada banyak pekerjaan. Kamu langsung tidur saja ya.] [Iya, jangan terlalu larut pulangnya. Kamu juga butuh istirahat] Seperti itulah. Hingga pukul 11 malam. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Kemudian berdiri dan berjalan keluar. “Kenapa kau masih di sini?” tanya Devian. Ia berhenti saat meliha Siska yang masih berada di bangku sekretaris. Bahkan komputernya masih menyala. “Jangan bilang kau menungguku?” tanya Devian. Siska menggeleng. “Edo baru saja menghubungi saya, katanya dia masih sakit dan tidak bisa bekerja besok. Jadi saya membereskan pekerjaan untuk besok supaya tidak terlalu keteteran. Apalagi jadwal anda yang masih belum dijadwal
Irene terbangun lebih dulu. Ia menatap pakaian mereka yang berserakan di lantai. Irene mengambil kemeja Devian yang berwarna biru. Namun ada satu goresan yang berwarna merah. Nodanya samar dan tidak terlalu jelas. Namun Irene yakin itu adalah noda merah dari lipstik. Irene mengambilnya—mencium aromanya namun tidak menghasilkan apapun. Irene menghela nafas. “Sayang kenapa kamu bangun pagi-pagi?” Devian menyibak selimut. Dengan keadaan yang masih telanjang memeluk tubuh Irene dari belakang. “Ini apa? Kenapa ada noda lipstik di kemeja kamu?” tanya Irene. Devian mengambilnya. Ia melihat noda yang tercetak samar di kemejanya. “Ini..” “Noda apa? Jelaskan padaku kenapa ada lipstik di kemeja kamu? Kamu bilang kamu tidak bersama wanita lain tapi ini apa?” Devian menghela nafas. “Irene aku mohon kamu jangan berpikiran buruk dulu. Aku bisa menjelaskannya.” Devian memegang bahu Irene. “Jadi kemarin aku ada rapat evaluasi, dan pakaianku berantakan. Akhirnya Siska membantuku merapikan d
“Sialan!” teriak Devian mengusap rambutnya. “Maaf, Sir.” “Bukan salahmu.” Devian memang tidak langsung menyusul Irene karena setelah ini ia masih ada rapat dan bertemu dengan para pemegang saham perusahaannya. Devian menatap jendela, di sanalah ia melihat mobil Irene pergi dari area parkiran. Ia akan mengawasi Irene melalui GPS yang sudah terpasang di ponsel Irene. Jadi ia bisa memantau ke mana Irene pergi. ~~ Irene tidak punya tujuan. Ia tidak punya keluarga. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke makam ibu dan suadar kembarnya. Irene bersimpuh di makam ibunya. “Mom… Irene rindu mom. Irene rindu Iresh juga.” Irene mengusap batu nisan ibunya. “Lihat Irene dari jauh ya. Irene akan berusaha kuat. Irena akan jadi ibu yang baik seperti Mom.” Ia kemudian beralih ke makam saudara kembarnya. “Iresh, sebentar lagi kau menjadi uncle. Aku harap kau bisa melihatku dan anakku di atas sana. Iresh aku juga merindukanmu…” Irene mengusap batu nisan. Irene menunduk—menangis dengan sese
Giselle ragu. “Seharusnya Devian yang memberitahu kamu sendiri Irene. Mom yakin Devian akan menceritakan sendiri. Mom takut terlalu ikut campur dalam hubungan kalian.” “Tadi Irene melihatnya menggendong sekretarisnya sendiri Mom. Irene juga menemukan kemeja Devian ada jejak lipstik berwarna merah. Irene tidak bisa berpikiran jernih saat ini. Irene takut kenyataannya sesuai dengan pikiran Irene.” Giselle mendekat. Mengusap pipi menantunya itu yang sudah basah. “Satu yang bisa Mom pastikan. Devian itu sangat mencintai kamu. Dari dulu hingga sekarang. dari dulu kalian masih di SMA. Cinta dia cuma untuk kamu, Irene.” “Bicarakan masalah kalian baik-baik.” Giselle menuntuk Irene untuk duduk di ranjang. “Tidurlah. Mom akan di sini.” Akhirnya Irene tidur ditemani oleh ibu mertuanya. Giselle mengusap bahu Irene lembut agar lebih nyaman. “Kamu harus tahu, Devian tidak pernah melupakan kamu. Dari dulu kalian masih SMA sampai sekarang.” Irene menutup mata sambil mendengarkan ucapan Gisel
“Aku bisa menjelaskannya,” ucap Devian mengambil tangan Irene. “Jelaskan sampai sejelas mungkin.” “Siska dan aku tidak ada hubungan apapun.” Devian menghela nafas. “Aku menganggapnya lebih seperti teman karena dia sudah menjadi sekretarisku lama. Di perusahaan kakek, dia banyak membantuku. Kenapa aku menerimanya bekerja di perusahaanku? Karena dia diusir dari perusahaan kakek. Aku menerimanya bukan sebagai sekretaris tapi sebagai staff administrasi.” “Seperti kataku, dia membantu menjadi sekretarisku untuk dua hari karena Edo sakit.” “Lalu kenapa kamu menggendongnya?” Irene melotot. “Kemarin itu Siska jatuh. Aku akan memanggil ambulan, tapi aku harus membawanya ke tempat yang lebih nyaman. Aku berusaha membantunya duduk di sofa.” Irene menghela nafas. “Kamu bisa meminta tolong pada security di depan. Kenapa harus menggendongnya sendiri? kenapa kamu menggendong wanita lain padahal ada istri kamu yang menunggu kamu di rumah.” Devian mengangguk. “Iya-iya aku yang salah. Seh
“Oke, lanjut.” Irene mengangguk. “Ya pokoknya karena aku tidak bisa melupakan kamu, aku jadi mencoba banyak hubungan dengan wanita lain. namun tetap saja sebanyak apapun wanita yang aku coba dekati, tidak ada yang seperti kamu. Karena yang aku butuhkan itu adalah sosok kamu, Irene. Jadi aku tidak pernah mendapatkan Irene pada wanita lain.” “Jadi kamu menganggap mereka hanya sebuah pelarian?” “Ya seperti itu.” Irene mengusap air matanya yang mengalir. “Jahat kamu.” Ia menatap suaminya itu dramatis. “Itu kenapa kamu sangat kesal pada Helena? Karena kamu tidak ingin Helena menyesal dengan apa yang dilakukannya seperti kamu?” Devian mengangguk. “Sampai saat ini aku menyesali perbuatanku. Aku takut perbuatanku akan berimbas pada anak kita nanti. Karena aku masih mempercayai hukum tabur tuai.” Irene menghela nafas. “Baiklah aku mengerti. Aku juga tidak akan memikirkan masa lalu. karena kita harus fokus pada masa depan.” “Pokoknya aku tidak ingin melihat kamu dengan wanita itu!” menun
“Apa aku cantik hari ini?” tanya Helena. Royce menyipitkan mata terlebih dahulu sebelum menjawab. “Lama, bilang saja kalau aku tidak cantik.” Helena bersindekap. “Tentu saja cantik.” Royce mencubit pipinya pelan. “Aku sungguh menyesal dulu menolakmu. Dari dulu kau cantik, Helena. Tapi dulu itu kau galak, jadi aku tidak yakin bisa berkencan denganmu.” “Sudahlah tidak perlu di bahas. Tapi saat ini kau tergila-gila padaku.” Helena mengalunkan tangannya di leher Royce. “Bagaimana kalau masuk ke ruanganmu?” “Of course.” Royce menggandeng tangan Helena masuk ke dalam ruangannya. Setelah itu mendorong pinggang Helena sampai membentur tembok. Tangannya menyusuri pipi Helena. "Aku akan dimarahi Devian habis-habisan jika dia tahu aku berhubungan denganmu.” Helena mendongak. “Tapi tidak masalah biar saja—" Royce menyunggingkan senyum. Menarik tengkuk Helena menunduk dan mencium bibir Helena. Menggigit pelan bibir wanita itu hingga terbuka. Jemarinya mengusap pinggang Helena pelan. Royce