Hari ini raja membuat perjamuan makan dengan mengundang semua penghuni keraton. Kerajaan sebelah baru saja mengirimkan upeti sebagai hadiah. Tak hanya uang, hasil panen dan hewan ternak ikut serta. Juga beberapa gadis yang akan dijadikan selir baru.
Kamandanu memberikan kode agar Handaru mendekat. Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga banyak informasi yang harus disampaikan. Sejak tadi banyak pasang mata yang menatapnya dan membuat lelaki itu merasa tidak leluasa.
Sebagai orang baru di keraton, tentu saja mereka menjadi perbincangan. Apalagi setelah berita tentang kehebatannya menaklukkan kuda liar menyebar di mana-mana. Kamandanu kini menjadi pusat perhatian.
"Kakang!"
Handaru memeluk Kamandanu dengan erat. Lalu, keduanya saling menepuk bahu dan menanyakan kabar. Mereka bersandiwara seperti dua saudara yang saling merindukan. Padahal diam-diam, ada gulungungan kertas yang diselipkan di saku pakaian.
"Kau tampak kurus, Ad
Arya menatap Kamandanu dengan tajam sembari berkacak pinggang. Lelaki itu sudah siap jika sewaktu-waktu sang Panglima akan melancarkan serangan."Apa kabarmu, Panglima Muda?" sapa Kamandanu."Baik-baik saja, Panglima. Kau sendiri bagaimana?""Aku sudah tak sabar ingin berlatih ilmu kanugaran denganmu," tantang Kamandanu.Arya tergelak lalu menyanggupi. Bukankah dulu dia pernah berkata akan belajar ilmu bela diri dari Kamandanu jika mereka bertemu lagi. Dan kini keduanya saling berhadapan satu dengan yang lain."Siapa sangka kita akan bertemu lagi setelah sekian lama," ucap Arya tak percaya. Jika bukan karena perburuan hari itu, maka mungkin dia akan lupa pada ucapan sendiri."Kau benar. Aku bahkan tak menyangka jika akan bertemu dengan kalian. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk selalu berhubungan dengan keraton, walaupun sudah menghindar ja
Derap kaki kuda yang berlari menembus jalanan menarik perhatian warga sekitar. Apalagi Semua penunggangnya berwajah tampan dan memakai baju khas keraton. Berita ceepat tersebar bahwa para penguni keraton akan melakukan perburuan."Apa Kanjeng Gusti yakin akan berburu di daerah sini?" tanya Arya, sang Panglima."Tentu saja. Aku sudah lama tidak berburu. Mengurus pemerintahan sangatlah memusingkan," jawab Abimana."Turuti saja permintaannya, Panglima. KIta hanya perlu mendampingi, " ucap WIjaya tenang."Bukan begitu, Raden. Daerah sini belum pernah kita lewati. Hamba khawatir terjadi sesuatu," jelas Arya."Kalau begitu kerahkan sihirmu untuk melihat situasi," titah Abimana.Arya menyetujui usul itu dan turun dati kuda untuk memulai ritualnya. Lelaki itu memiliki mata batin sehingga dapat melihat makhluk halus yang dapat membahayakan. Setelah memejamkan mata beberapa saat akhirnya lelaki itu tersadar dan merasa lega."H
"Raden, hati-hati! Nanti Raden terjatuh."Kamandanu tergopoh-gopoh mengejar anak laki-laki yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan. Hari ini dia yang mengajak bermain karena istrinya sedang mencuci di kali. Napasnya terengah-engah karena usia yang sudah tidak muda."Kejar aku, Paman! Katanya kau dulu seorang panglima perang. Mengapa kau begitu lemah," canda anak itu sembari menjulurkan lidah.Kamandanu menjadi geram. Lalu dengan kaki yang pincang, lelaki itu ikut berlari. Dia menagkap pinggang anak itu dan bergulingan di rumput. Tawa terdengar dari keduanya, lalu mereka bercanda hingga senja tiba."Ayo, kita pulang. Ibumu pasti mencari," ajak Kamandanu."Aku tidak mau pulang, Paman. Nanti ibu memarahiku karena tidak mau makan nasi," rajuk anak itu."Raden memang harus makan nasi supaya cepat tinggi," bujuk Kamandanu."Memangnya kenapa kalau aku menjadi tinggi?"Anak itu menatap Kamandanu dengan lekat. Dia mema
Sekar menatap burung-burung yang sedang berkicau di dahan pohon. Pikirannya melayang entah ke mana. Sementara pipinya basah dengan air mata yang sejak tadi menetes. Wanita itu membalik badan dan menatap kamar yang sejak satu minggu ini tak boleh dimasuki siapapun, kecuali orang-orang tertentu. Dan dia termasuk salah satunya.Ada Wijaya di sana, dengan kondisi luka bakar pada wajah dan beberapa bagian tubuh yang melepuh karena insiden malam itu. Dia sendiri terkena di bagian tangan dan dada, tetapi tidak parah sehingga tak memerlukan perawatan khusus. Sekar tak boleh merawat suaminya, hanya Prameswari yang diberikan amanat. Hal itu ditetapkan setelah banyak pertimbangan. Salah satunya adalah saat lelaki itu sakit dulu.Selain itu, Wijaya terkena musibah saat bermalam bersama dengan Sekar. Jadi wanita itu dianggap sebagai pembawa sial. Apalagi pelakunya adalah Kamandanu yang hendak membalas dendam. Maka semakin lengkaplah tudingan yang dialamatkan kepadamya.
Kamandanu menarik tangan Handaru dan membekap mulutnya. Lalu, menyeret anak itu agar menjauh dari keramaian untuk mencari persembunyian. Lelaki itu melepaskan cekalan dan terengah-engah begitu mereka berada di tempat yang aman."Kau membuatku takut, Panglima!"Handaru memegang dadanya yang terasa sesak. Lelaki itu duduk di tanah dengan kedua lutut ditekuk sembari memyadarkan kepala di salah satu bagian barak. Tangannya memijat kepala yang terasa berdenyut."Aku terpaksa melakukan ini agar kau mengerti. Sejak tadi aku memberikan kode tetapi kau tak paham," sungut Kamandanu."Mereka sedang mengajakku berbicara. Aku tak mungkin pergi," jawab Handaru.Mereka saling terdiam untuk beberapa saat, lalu menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit. Malam ini barak mengadakan pesta setelah dua bulan para prajurit baru menjalani pelatihan intensif. Minggu depan adalah hari pengukuhan dimana Handaru akan resmi diangkat menjad
Kamandanu menatap secarik kain yang dia temukan di hutan. Simbol yang tergambar di sana membuatnya lemas. Itu adalah lambang salah satu perguruan silat yang cukup terkenal dari kota sebelah.Apa yang Adiguna duga sedikit demi sedikit mulai terbukti. Lalu, apakah Raden Wijaya pelakunya, itu belum bisa dipastikan. Butuh petunjuk yang kuat untuk menjatuhkan tuduhan.Adiguna melipat tangan di depan dada dan menatap Wijaya dengan lekat. Entah apa maksud kedatangan adiknya itu, dia masih belum bisa menerka. Sejak tadi mereka hanya berbasa-basi menanyakan kabar dan juga membahas pemerintahan. Padahal dia tahu, bukan itu tujuan utamanya."Kakang, aku baru saja mendapatkan hadiah sebuah pedang baru."Adiguna menatap adiknya dengan curiga. Sejak kecil mereka memang tumbuh dan bermain bersama. Namun ketika beranjak dewasa, ada kepentingan dan ambisi yang ditanamkan oleh para ibu sehingga hubgungan itu menjadi renggang. Wijaya yang awalnya tak terla