“Mbak, obat yang ini ada?” Raia menunjukkan secarik kertas pada penjaga apotik.Penjaga apotik menerima kertas berisi resep tersebut kemudian menekurinya selama beberapa detik. Ia kemudian kembali berbicara dengan Raia.“Mbak, karena ini obat racikan Mbak bersedia menunggu sebentar? Kebetulan apotekernya sedang ke luar.”“Duh, kira-kira lama nggak ya? Soalnya saya lagi buru-buru, Mbak.””Mungkin sebentar lagi, Mbak.”Raia memandang ke arah Giandra yang sedang duduk di kursi tunggu pembeli. Meminta pendapat laki-laki itu.”Gimana, Gi?””Ya udah, tunggu aja, kan obatnya ada.”“Tapi kalau lama gimana?”“Nggak apa-apa, daripada muter-muter nyari ke apotik lain ternyata zonk.”“Ya udah deh.” Raia terpaksa sepakat dengan Giandra lalu ikut duduk di sebelahnya.Penjaga apotik memberi mereka dua gelas air mineral sembari menunggu, lalu melayani pembeli yang lain.“Pinjam bahunya ya, Gi, ngantuk banget.” Raia menutup mulut yang menguap dengan telapak tangan lalu sebelum Giandra menjawab ia suda
Celine tidak tahu apa Giandra mengerti apa itu talak tiga beserta konsekuensinya. Yang Celine tahu Giandra sedang emosi saat mengatakannya. Ketika Celine memutar tubuh untuk masuk kembali ke dalam rumah, ia menemukan Agha sudah berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan. Bisa jadi laki-laki itu sudah lama di sana mendengar dan menyaksikan pertengkarannya dengan Giandra tadi.”Jadi dia bukan sepupu kamu?” Belum sempat Celine bicara Agha sudah berkata.Tidak ada lagi jalan bagi Celine untuk mengelak apalagi lari. Satu-satunya pilihan baginya adalah mengaku dan berterus terang saat ini juga, terlebih ketika mendengar kelanjutan ucapan laki-laki itu.”Aku udah dengar semuanya, Lin, tapi aku nggak ngerti gimana keadaan sesungguhnya. Kalau kamu nggak keberatan aku siap mendengarkan.”Celine mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah. Agha mengikuti dari belakang. Laki-laki itu siap mendengarkan apa yang akan Celine sampaikan padanya meskipun tadi ia merasa syok menyaksikan pertengkaran Celine da
“Nggak usah dijawab sekarang, pikirin aja dulu.” Lalu Qey berdiri, pergi dari kamar Giandra.Giandra termangu memikirkan kata-kata Qey. Semestinya tadi ia bisa menjawab tanpa perlu memikirkan apa-apa. Nyatanya kini ia meragukan perasaannya sendiri pada Celine. Tapi kalau Giandra tidak memiliki rasa apa pun pada perempuan itu ia tidak perlu marah kan saat melihat atau tahu Celine pergi dengan Agha?Suara pintu yang dibuka serta derap langkah yang mendekatinya membuat Giandra tersentak. Lamunannya memudar dan kemudian buyar seketika.“Bau parfum cewek.” Max mengendus-endus membaui seisi kamar. “Tadi Qey ke sini ya?” sambungnya sambil menatap ke arah Giandra. Max langsung bisa menebak kalau itu Qey karena ia sudah hafal aroma gadis itu saking mencintainya dengan sepenuh hati.“Kok lo tahu?”Max tersenyum jumawa. “Apa sih yang nggak gue tahu tentang Qey? Kalo lo nanya ukuran branya juga gue bakal jawab sekarang.””Jangan macam-macam lo, Max!” Giandra tidak suka pada gurauan Max. Max boleh
Satu hari berlalu sejak pertengkaran dengan Celine.Sudah sejak tadi Giandra melihat bolak-balik ke layar gawai hanya demi meyakinkan diri bahwa Celine memang tidak menghubunginya. Tidak ada pesan apalagi panggilan telepon di deret notifikasinya. Yang tidak berhenti dari tadi adalah notifikasi dari grup Anonim. Raia sibuk mengoceh tentang persiapan keberangkatan mereka besok. Berkali-kali gadis itu me-mention memanggil Giandra, namun Giandra tidak peduli. Ada yang lebih penting saat ini melebihi keberangkatan tur mereka. Apa lagi kalau bukan Celine.Alih-alih akan menelepon, mengirim pesan singkat pun tidak.‘Harusnya aku yang marah sama kamu, Lin, bukan kamu.’Semalaman Giandra memikirkan lagi perdebatannya dengan Celine. Merunut kembali kronologi kejadian tersebut beserta kata-kata yang ia ucapkan pada perempuan itu. Giandra mengernyitkan dahi saat mengingat ucapannya pada kalimat terakhir, tepat sesaat sebelum ia pergi meninggalkan apartemen itu. Apartemen yang ia beli untuk Celin
Giandra membanting pintu mobil dengan keras. Ia mengusap mukanya setelah menjatuhkan diri di jok pengemudi. Ini adalah untuk kedua kalinya Giandra merasakan rasa kecewa yang mendalam pada perempuan. Dulu Swabitha, dan sekarang Celine. Hanya saja pada mantannya dulu mungkin ucapan Giandra tidak sekeras seperti yang diucapkannya pada Celine. Giandra menjadi leluasa pada Celine karena perempuan itu adalah istrinya, pasangannya yang sah, perempuan halal miliknya.“Aku paling benci yang namanya pengkhianatan,” gumamnya sambil memukul setir. Dengan sekali sentakan kasar Giandra menyalakan mesin lalu menekan pedal gas dalam-dalam, pergi dari tempat itu.Giandra menyetir tanpa kendali, tidak peduli jika pengguna jalan lain merasa terganggu saat ia mengklakson keras-keras atau pun ketika dirinya menyalip dari kiri. Yang penting emosinya tersalurkan.***Sudah lebih dari setengah jam yang lalu Giandra pergi, tapi hingga detik ini Celine masih duduk melamun. Bukan di kursi ataupun sofa, melain
Lelaki itu melangkah dengan tegap. Sesekali ia menebar senyum saat berpapasan dengan orang-orang yang menyapanya. Entah itu mengenalnya atau pun hanya sekadar berbasa-basi.Langkahnya lalu terhenti tepat di depan sebuah ruangan. Perlahan tangannya memutar gagang pintu, lalu menarik langkah pelan ke dalam. Ruangan itu serba putih. Atmosfir di sekitarnya menguarkan bau yang khas.Laki-laki bersnelli putih itu adalah Agha Ardiya Arnawarma, dokter kandungan yang tadi menangani perempuan yang sedang berbaring tak sadarkan diri di tempat tidur rumah sakit. Orang-orang memanggilnya Agha atau Aga.Sedangkan perempuan yang tengah berbaring itu adalah Celine. Agha tidak tahu bagaimana ceritanya. Semua serba kebetulan. Ada pasien yang pendarahan dan Agha yang menangani. Kejutannya adalah pasien tersebut ternyata Celine, apoteker di tempatnya praktik selain di rumah sakit ini.Agha baru saja akan keluar dari ruangan tersebut ketika tangan Celine terlihat bergerak pelan. Agha menahan langkah, menu