Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar ucapan dari Anjas, wanita itu menghenyak di samping Anjas dengan Fadil yang berada di tengah-tengah mereka."Mau bicara apa, Njas? Kelihatannya penting sekali?" tanya Jihan pada pemuda beralis tebal itu."Maaf, bukan aku ingin ikut campur masalah rumah tanggamu. Tapi, kenapa kamu tidak membahas pernikahan Rizal sama sekali?" Anjas berucap dengan sangat hati-hati, ia tak ingin jika sampai Jihan merasa tersinggung.Jihan mengulas senyum, "Dia saja tak tahu kalau aku sudah mengetahui rencana pernikahan itu. Aku sengaja tak membahas agar ia bisa merasa menang, aku akan berikan dia kejutan di hari pernikahannya nanti."Anjas cukup menegerti maksud dari ucapan Jihan, lelaki itu memutuskan tak lagi membahas masalah rumah tangga temannya dan lebih memilih untuk kembali pada tujuan awalnya."Baiklah, aku mengerti. Sekarang aku ingin mengatakan niatku yang sebenarnya, aku ingin mengajakmu untuk kerja sama." Anjas menaikan sebelah alis, menunggu bagaimana
Mendung menghiasi langit di pagi hari, seolah sengaja datang untuk mengiringi acara pernikahan Rizal dan Indri. Jihan bersama Fadil sudah bersiap dan tengah menunggu kedatangan taksi online yang akan mengantar mereka menuju kediaman Brama. Lima menit menunggu, akhirnya taksi online yang dipesan oleh Jihan telah tiba. Wanita itu segera masuk ke dalam mobil bersama sang putra, ia tahu jika dalam diamnya, Fadil menyimpan luka dan kekecewaan."Nak, kamu yakin mau datang ke pernikahan ayah?" Suara Jihan membuat Fadil mendongak, menatap sang bunda dengan pandangan sendu."Yakin, Bun. Fadil akan berikan ucapan selamat untuknya, setelah itu Fadil tak akan lagi menemuinya," ucap Fadil penuh penekanan.Sopir yang duduk di balik kemudi mengernyit mendengar obrolan sepasang ibu dan anak itu."Memangnya siapa yang akan menikah, Bu?" Sang sopir berbasa-basi untuk memecah keheningan, matanya sesekali melihat ke belekang melalui kaca spion yang berada di tengah."Suami saya, Pak," jawab Jihan dengan
Semua mata tertuju pada Brama yang tengah menatap sosok bocah kecil di hadapannya dengan pandangan nyalang, seolah anak lelaki itu adalah musuh besar baginya. Tak ada raut ketakutan di wajah Fadil, anak lelaki itu membalas tatapan pria seusia kakeknya dengan pandangan datar dan sebuah senyum miring. Sedangkan Rizal masih bergeming, rasa bimbang merajai hati. Sejujurnya, lelaki itu tak tega melihat sang anak yang tengah dibentak oleh ayah mertuanya. Namun, jika Rizal membela pasti Brama akan murka dan membuatnya menjadi gelandangan. Pada akhirnya, lelaki itu memilih untuk diam dan hanya menonton semua adegan yang terjadi di depan mata.Jihan menghela napas, berusaha menahan emosi karena ia sudah berniat jika harus membalas Rizal dengan cara elegan. Wanita cantik itu memajukan langkah, berdiri di samping sang anak dengan seuntai senyum tipis."Apa Bapak ingin tahu siapa anak ini? Jika iya, maka saya akan menjelaskan," ujar Jihan, sesekali ekor matanya melirik ke arah sang suami yang nam
Suara Brama menggelegar memenuhi lokasi acara, lelaki itu dengan lantang meminta Jihan untuk berhenti melangkah. Mau tak mau, Jihan harus menghentikan langkah kakinya. Wanita itu mendesah kasar kemudian menoleh ke arah lelaki yang kini telah resmi menjadi mertua dari Rizal."Ada apa, Pak Brama?" Suara Jihan begitu lembut, senyuman manis tak pernah terlepas dari bibirnya. Berusaha menunjukan pada semua orang jika ia sedang baik-baik saja.Brama mulai mengayun langkah kaki. Mendekati sepasang ibu dan anak yang berdiri di dekat pintu. Ada satu hal yang harus ia ucapkan pada Jihan. Atau mungkin ini termasuk salah satu penawaran."Siapa namamu?" tanya Brama pada wanita yang baru saja mendapat talak dari sang suami."Apakah menantu Bapak tak pernah menyebut nama saya?" Jihan tersenyum miring sembari menaikkan sebelah alis."Jika tidak, maka saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Jihan, Pak," lanjutnya kemudian.Brama mengulas senyum kagum, ia tak menyangka jika orang kampung seperti Jihan
Mobil yang dikemudikan oleh Anjas mulai melaju. Hening, tak ada perkacapan di antara mereka. Padahal, Jihan tengah menunggu pemuda di sampingnya untuk menjawab rasa penasaranya tadi. Tanpa disadari oleh Jihan, Anjas telah membelokan mobilnya menuju sebuah restoran. Mobil telah terpakir, Jihan pun tersadar dari lamunan. Pandangan wanita itu menelisik ke sekitar, mencoba mencari tahu di mana ia berada sekarang. "Lho, Njas. Kok kita malah ke sini?" Kedua alis Jihan saling bertaut kala ia menyadari tengah berada di sebuah restoran.Anjas mengulas senyum, menatap sepasang ibu dan anak secara bergantian, "Sudah waktunya makan siang, aku lihat tadi kamu nggak makan sama sekali. Aku juga nggak sempat makan. Jadi lebih baik sekarang kita makan dulu, ayo turun. Aku traktir."Anjas keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Jihan kemudian Fadil. Lelaki itu berjalan di depan bersama Fadil yang berada di dalam gendongan, ia tahu jika perasaan anak didiknya sekarang sedang tidak baik-baij saja
Malam telah berkunjung, mengantar hawa dingin dan terang cahaya gemintang yang menghias pekatnya langit. Sepasang pengantin baru tengah menikmati makan malam bersama keluarga besar."Saya permisi, ada pekerjaan yang harus saya selesaikan di kamar. Oh ya Indri, besok kamu dan Rizal sudah bisa langsung menempati rumah baru," ujar Brama, kemudian berlalu tanpa pamit pada sang besan, lelaki paruh baya itu pergi begitu saja setelah selesai mengisi perutnya.Mata Bu Inggar dan Indri berbinar mendengar kata "rumah baru". Sejuta angan terbayang di benak mereka. Hidup mewah dan bergelimang harta, cukup duduk manis semua akan disediakan oleh Indri. Rizal menoleh, memastikan jika ayah mertuanya telah menjauh, ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada sang ibu dan kakak perempuannya."Ibu, Mbak Rindi." Panggilan Rizal membuat kedua wanita beda generasi itu mendongak. "Ada apa, Zal. Pasti kamu mau menyuruh Ibu dan Mbak Rindi berkemas untuk ikut pindah ke rumah baru kalian kan?" Bu Inggar berucap ta
Suara ranjang yang roboh bersamaan dengan jatuhnya tubuh Rizal dan Indri. Wajah lelaki itu nampak pias dengan mata terpejam, menahan rasa sakit luar biasa pada pinggangnya. Apalagi sang istri masih menindih tubuhnya dan seolah tak ingin beranjak dari sana."I-Indri, aku tidak bisa berna-pas." Rizal terbata, hampir saja ia pingsan jika sang istri tak buru-buru beranjak dari posisinya."Ya ampun, Mas Rizal. Kenapa kamu ada di situ? Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Indri tanpa rasa bersalah, padahal nyaris saja sang suami berpindah alam karena tertimpa tubuh besarnya.Rizal mendengus, berusaha untuk berdiri meskipun terlihat kepayahan. Bahkan Indri sama sekali tak berbiat untuk membantu, "Ya karena kamu terlalu semangat bergoyang, sampai ranjang semewah ini saja bisa roboh akibat terkena badai goyanganmu."Wanita bertubuh gemuk itu tersipu, pipinya merona karena ucapan sang suami. Indri hendak menarik tubuh sang suami ke arah sofa saat terdengar suara pintu yang diketuk tanpa henti. Seolah
Jihan, aku benar-benar bodoh sudah melepaskan kamu. Aku menyesal sudah menikah dengan wanita macam Indri. Aku ingin kembali padamu, Jihan.Pesan itu ditulis oleh Rizal melalui aplikasi whatsapp. Jihan sama sekali tak berniat untuk membalasnya, wanita itu lebih memilih untuk memblokir nomor Rizal kemudian menyimpan benda pintar miliknya di atas nakas. Ia yakin, saat ini kehidupan Rizal sedang tidak baik-baik saja. Sepuluh tahun bersama telah membuat Jihan cukup mengerti, bagaimana sikap Rizal jika sedang berada dalam masalah. Biarlah, biar saja lelaki itu menuai buah atas apa yang ia tanam selama ini."Selamat menikmati kehidupan barumu, Mas. Semoga kamu dan keluargamu bisa bahagia hidup bergelimang harta," oceh Jihan kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Membuai diri dalam indahnya mimpi.*******Pagi telah datang berkunjung bersama cahaya mentari yang menembus masuk ke kamar Indri karena jendela telah dibuka oleh si empunya. Wanita itu melipat tangan di depan dada melihat sang su