Share

Bab 3

Author: Mona
Saat aku terperanjat bangun, aku sudah di rumah sakit.

Rico duduk di sofa tidak jauh dari tempat tidur dan memandangku dengan tatapan rumit.

"Kamu biasanya paling keras kepala. Kenapa kamu nggak melawan sedikit pun di depan orang lain?"

Dia sedikit emosi. "Tampar dia, tendang dia! Bahkan kalau dia sampai mati, aku bisa membereskannya."

Sinar matahari menerobos jendela, jatuh di tanganku.

Aku tersenyum dalam diam dan tidak membantah.

Aku diserahkan kepada orang lain untuk disiksa dengan tangan dan kaki diikat. Mana bisa aku melawan?

Aku cuma bisa tidak mati saja. Itu bukan berarti aku punya kekuatan super.

Terlarut dalam pikiran, aku tertawa sampai air mataku keluar, dan aku menjawab dengan tenang.

"Rico, kamu tahu nggak orang itu bilang apa?"

"Dia menempelkan puntung rokok ke kulitku dan bilang kalau kamu bersedia menanggung apa pun yang terjadi, asal dia bisa bantu buat Jessa menang."

Ketika kepentingan Jessa bertentangan dengan kepentinganku, aku tahu dengan pasti kepada siapa dia akan berpihak.

Kenapa sekarang dia harus pura-pura peduli kepadaku?

Luka bakar di tulang selangkaku berdenyut tajam tanpa henti. Aku menutup mata untuk beristirahat dan menyuruhnya pergi.

"Cukup. Aku mau istirahat."

Tahan sedikit lagi. Satu kali lagi, aku akan bebas.

Beginilah caraku menghibur diri sendiri.

Dia seperti ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi dia menerima telepon dan bergegas pergi.

Lamat-lamat terdengar suara Jessa yang penuh kebahagiaan.

"Kak Rico, aku menang."

Aku tidak bisa merasakan kesedihan, yang kurasakan hanya ketenangan.

Sebelum aku mati untuk terakhir kalinya, aku ingin bertemu nenek Rico lagi.

Setiap kali bangun dari kematian, aku menjadi semakin lemah, seolah energiku terkuras setetes demi setetes.

Luka yang dulunya cepat sembuh kini hanya mengering sedikit.

Setelah beristirahat selama lebih dari dua minggu, aku menyeret tubuhku ke rumah nenek Rico. Sialnya, aku bertemu Jessa dan Rico lagi.

Berbeda dengan Jessa yang tersenyum cerah, wajahku pucat dan kurus, seakan hari-hariku sudah dihitung mundur.

Nenek menggenggam tanganku dan bercakap tanpa henti, sengaja mengabaikan Jessa.

Dari sudut mataku, aku melihat kebencian yang mematikan dalam tatapan Jessa.

Ekspresi Rico tampak rumit melihatku, tapi aku tidak bicara sepatah kata pun kepadanya sepanjang waktu.

"Kamu nggak mau istirahat beberapa hari lagi?" Dia akhirnya menyela.

Aku tidak menjawab, pura-pura tidak dengar.

Jessa membuat sebuah alasan dan izin keluar. Tidak ada yang memperhatikan.

Tapi baru sebentar dia keluar, api besar mendadak berkobar di rumah itu.

Dia berlari kembali penuh panik dan melemparkan dirinya ke pelukan Rico. Tampak ada tanda-tanda terbakar di ujung roknya.

"Kak Rico, kebakaran! Aku takut!"

Rumah ini adalah bangunan tua dari kayu tanpa sistem keamanan kebakaran. Api dengan cepat melalap segala sesuatu yang ada di sekitarnya.

Rico menenangkan Jessa, lalu segera membasahi handuk dengan air dari atas meja.

Dia memberikan dua handuk itu kepada neneknya dan Jessa.

Kepadaku, dia hanya mengerutkan kening dan memberi perintah, "Aku yang bawa Jessa. Kamu jaga Nenek baik-baik dan bawa dia keluar."

Aku menatapnya dalam-dalam selama beberapa saat sebelum akhirnya menunduk.

Dia mungkin mengira aku tidak akan mati, jadi aku disuruh menjaga dari belakang.

Tapi, dia lupa aku baru saja disiksa sampai di ambang kematian. Berjalan saja sudah sulit bagiku.

Setelah mengatur semuanya, dia melepas mantelnya untuk menutupi Jessa dan bergegas menggendongnya keluar.

Api berkobar semakin hebat. Tidak ada waktu untuk ragu. Aku membantu Nenek tertatih-tatih keluar.

Luka-lukaku yang baru agak kering kembali berdarah. Aku memaksakan senyuman menenangkan kepada Nenek.

"Nenek, jangan takut. Aku pasti bisa membawamu keluar."

"Kita sudah melewati ujian yang jauh lebih buruk. Kalau kamu bisa melewati ini, kamu pasti tambah panjang umur."

Di hadapan situasi antara hidup dan mati, Nenek malah tertawa mendengar kata-kataku.

Pakaianku basah kuyup karena darah. Tubuhku gemetar dan pandanganku berangsur-angsur kabur.

'Tiara, bertahanlah! Tahan sedikit lagi!'

'Kita hampir sampai!' Aku terus menyemangati diriku sendiri.

Tinggal lima langkah dari pintu. Aku akhirnya bisa menghela napas lega.

Tapi tiba-tiba, sebuah tiang mengeluarkan suara berderit. Aku langsung tahu ini pertanda buruk.

Dalam kepanikan, aku hanya punya waktu untuk mendorong Nenek ke depan dengan lembut.

Detik berikutnya, tiang besar menghantam pinggangku. Aku terimpit ke lantai dan mengerang pelan karena tidak kuasa menahan sakit.

Dari sudut mataku, aku melihat Nenek jatuh dengan aman dalam pelukan Rico yang bergegas datang untuk menjemput. Hatiku lega.

Nenek berbalik setiap tiga langkah dan berteriak meminta Rico untuk menyelamatkanku.

Namun Rico hanya melirik ke arahku dan mengerutkan kening.

"Dia akan baik-baik saja."

Punggung mereka perlahan-lahan menjauh dan api melahap penglihatanku.

Aku mengalihkan pandangan dan tersenyum lega, lalu bergumam sambil menutup mataku, "Rico, kita sekarang impas."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 9

    Rico seolah tiba-tiba terbangun dan menyadari sesuatu.Dia pergi ke kuil terbesar di kota dan berlutut di 999 anak tangganya. Dengan penuh kerendahan hati, ingin memohon bertemu kepala kuil.Tiga tahun lalu, dia pernah membawaku ke sini untuk bersembahyang.Dia saat itu belum tahu aku punya sembilan nyawa. Dia mengira, bisa hidup kembali adalah anugerah dari Tuhan.Setelah berdoa, kami bertemu dengan kepala kuil, yang memberi kami sebuah pesan misterius, "Setiap karma sebab akibat pasti akan dibalas. Sampai jumpa, kita akan bertemu lagi."Saat itu, Rico hanya menganggap ucapan kepala kuil itu sebagai celoteh omong kosong. Kini, kata-kata itu menjadi penyelamatnya.Pada fajar keesokan harinya, dia akhirnya sampai di kuil dan mengetuk pintu ruangan kepala kuil.Kepala kuil duduk tegak di atas bantal, melafalkan kitab sutra dengan khidmat, seolah sudah lama tahu Rico akan datang.Rico berlutut di lantai dan membungkuk berulang kali."Guru, tolong beri tahu aku apa yang harus kulakukan aga

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 8

    Gigi Rico bergemeletuk dilanda amarah. Dia lalu menendang Jessa tepat di dadanya.Kerasnya tendangan itu membuat Jessa terlempar beberapa meter. Tulang rusuknya mungkin patah dua.Dia tergeletak di tanah, memuntahkan darah.Setelah menyeka darah dari sudut mulutnya, dia mendongak dan tertawa liar."Ya, memangnya kenapa? Aku sengaja membunuh Tiara, memangnya kenapa?"Rico tampak seperti iblis dari neraka. Matanya kelam tanpa ekspresi."Apa belum cukup kamu menjebaknya dan menyiksanya sekali? Kenapa kamu harus membakarnya hidup-hidup juga?"Menghadapi kematian yang tak terelakkan, Jessa tiba-tiba tidak merasa takut. Dia memandang pria di depannya dengan tatapan provokatif."Nggak kenapa-kenapa. Aku cuma nggak tahan dengannya! Berani-beraninya dia merampas sesuatu milikku. Aku harus membunuhnya!"Dia menyibakkan rambutnya dengan jari-jari gemetar dan tertawa sinis."Pada akhirnya, aku cuma menciptakan situasinya. Tapi yang pembunuhnya itu kamu sendiri, bukan begitu?""Kak Rico, kamu yang

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 7

    Nenek berusaha membujuk Rico sekian lama, tapi pria itu bersikukuh tidak mau mengkremasi mayatku. Akhirnya, wanita tua itu hanya bisa mendesah dan pergi.Rico menjadi gila dan berjaga di sampingku sepanjang malam.Dia takut akan melewatkan saat-saat aku terbangun jika tertidur sebentar saja.Tapi mayatku tidak kunjung bangun, hanya semakin membusuk.Nenek akhirnya mendapat kesempatan untuk membawaku ke tempat kremasi saat Rico tumbang tak sadarkan diri.Saat Rico terbangun lagi, yang dilihatnya hanya sebuah guci kecil.Dia mencoba meraihnya, tapi jari-jarinya gemetar hebat dan terlalu lemah.Guci itu terguling dan abu di dalamnya berserakan di lantai.Rico terjatuh dari ranjang rumah sakit, memungut segenggam abu.Air mata tak dapat ditahan lagi dan jatuh ke atas abu, menimbulkan tetesan yang semakin melebar.Dia mendekap abu itu di dadanya. Tangisnya pecah penuh kepiluan.Dia akhirnya menerima kenyataan bahwa aku telah mati dan tidak akan kembali lagi selamanya.Keesokan harinya, dia

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 6

    Mengabaikan tatapan orang-orang, Rico menggendong tubuhku dengan hati-hati.Seolah takut guncangan sekecil apa pun bisa menyakitiku.Aku melipat tanganku di depan dada dan mendengus.'Untuk apa repot-repot? Aku sudah mengalami rasa sakit yang ribuan kali lebih parah dari ini. Ini bukan apa-apa.'Dia membawaku pulang, membaringkanku di tempat tidur, dan menyelimutiku.Suaranya lembut."Tiara, kamu masih marah dan belum pulih, jadi nggak mau bangun, ya 'kan?""Nggak usah buru-buru. Tenang saja. Aku akan menjagamu sampai kamu bangun, oke?"Sudah lama sekali aku tidak mendengarnya bicara kepadaku dengan suara seindah itu. Seluruh tubuhku merinding mendengarnya.Melihat selimut yang menutupi mayatku, aku ingin sekali menariknya dan melemparnya jauh-jauh.Meski sudah jadi mayat pun, aku tetap merasa jijik.Selimut ini dipakai Jessa malam itu. Aku masih bisa mencium aroma cairan yang mereka tinggalkan saat tidur bersama.Meski aku tidak punya tubuh fisik lagi, rasa jijik itu membuatku mual ta

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 5

    Rico terhuyung keluar pintu dan langsung menuju ke rumah nenek.Rumah itu sudah hangus hitam, terbakar habis.Dia mencari-cari sangat lama di sana. Setelah membuka ponsel, dia menemukan sebuah pesan yang diterima tiga hari lalu.Pengirim menyuruhnya segera ke kamar mayat untuk mengambil jenazahku agar segera dimakamkan.Dia berjalan ke pintu kamar mayat dengan langkah goyah, tapi dia ragu-ragu untuk membukanya.Petugas kamar mayat menjadi tidak sabar dan mendorong pintu dengan kasar, lalu menarik kain putih yang menutupi mayatku.Mayat itu mengerikan, sudah tidak berbentuk manusia lagi.Aku saja takut pada mayatku sendiri hingga semua bulu di tubuhku berdiri.Rico tiba-tiba tertawa, menggelengkan kepala."Nggak mungkin, nggak mungkin, ini bukan dia.""Kalian nggak kenal dia, dia orang paling cerdik. Dia pasti sembunyi di suatu tempat karena ngambek."Petugas itu jadi terheran-heran dan merasa curiga."Kamu benar keluarga Tiara atau bukan?"Melihat Rico mengangguk, dia bicara lagi denga

  • Sembilan Nyawa yang Kuhabiskan untukmu   Bab 4

    Kamu pernah menyelamatkanku sekali. Sebagai balasannya, aku berikan sembilan nyawaku kepadamu.Cukup adil.Aku merasa kelegaan yang mendalam. Setelah kematianku yang kesembilan, aku berhasil melunasi utang budiku.Aku dulu seekor kucing hitam kecil di Gunung Arwah.Pada hari aku selesai berkultivasi dan membentuk wujud manusia, kebetulan Gunung Arwah dikepung musuh.Ibuku, seekor kucing hitam berusia seribu tahun, mengirimku keluar dari gunung untuk berjaga-jaga.Sayangnya, ibuku tidak menyangka aku sebodoh itu. Meski aku sudah sembunyi-sembunyi dengan langkah sepelan mungkin, aku tetap ketahuan.Mendapat serangan membabi-buta, salah satu kakiku terluka dan berdarah.Aku lari terbirit-birit sambil menyeret kakiku, dan akhirnya berubah menjadi seekor kucing hitam yang lusuh. Tidak ada yang mau melihatku, semua orang mengusirku.Rico menemukanku di tempat pembuangan sampah. Pemuda yang terbiasa hidup mulia itu menurunkan gengsinya dan menarikku keluar dari tumpukan sampah dengan tangan k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status