Share

Senandung Cinta Aisyah
Senandung Cinta Aisyah
Penulis: Ciety Ameyzha

SPV Baru

Terkadang kenangan indah itu sulit dilupakan.

🥀🥀🥀

"Mas Ilham!" teriak Aisyah sembari membuka mata. Napasnya memburu seperti seorang yang selesai berlari.

"Astagfirullah, aku mimpi lagi," gumamnya.

Azan Subuh berkumandang jelas di mesjid yang tak jauh dari rumahnya. Aisyah mengatur napas lebih dahulu sebelum bangun dari tempat tidur.

Ia membawa langkah ke arah kamar mandi, mengambil wudu dan bersiap melaksanakan salat Subuh sebagai kewajibannya pada Ilahi Rabbi.

Dalam heningnya Subuh, Aisyah menikmati waktu menghadap Sang Khalik. Meresapi setiap gerakan demi gerakan salat hingga akhir, lalu memanjatkan doa.

Di atas hamparan sajadah, ada beberapa doa yang Aisyah pinta. Salah satunya, ingin selalu dimudahkan dalam segala urusan. Termasuk mencari rezeki untuk keluarganya.

Salat selesai, Aisyah membuka mukena, dan menyimpan di tempatnya kembali. Ia pun keluar kamar hendak menuju dapur. 

Sesampainya di dapur, Bu Fatimah --Ibu kandungnya-- tampak sedang berjibaku dengan penggorengan. Aisyah mendekat, lalu berkata, "Ibu sudah sehat?"

Bu Fatimah menoleh ke samping. Lengkung senyum bagai bulan sabit ia perlihatkan pada anak semata wayangnya. "Alhamdulillah, sudah, Nak."

Lega. Begitulah gambaran hati Aisyah. Ia yang sehari-hari harus bekerja dan meninggalkan sang Ibu sendirian di rumah pun tak perlu khawatir sepanjang hari kembali. 

Aisyah dengan cekatan membantu ibunya. Bu Fatimah sehari-hari membuat aneka gorengan, nasi uduk, nasi kuning untuk dijual di depan rumah mereka. Pekerjaan ini telah Ia lakoni sejak Aisyah sekolah SMA sampai sekarang.

"Nak, pulang kerja nanti, beliin Ibu kebutuhan rumah, ya," pinta Bu Fatimah. Tangannya sibuk menggoreng bakwan di wajan. "Nanti pakai uang hasil jualan aja. Punyamu ditabung."

Aisyah mengulas senyum. "Hari ini aku gajian, Bu. Biar aku aja yang beli."

"Tapi, Nak. Kamu juga pasti punya kebutuhan pribadi. Apa lagi kamu harus mencicil hutang bekas pengobatan Almarhum Ayahmu dulu."

"Kebutuhan kita jauh lebih penting dari pada kebutuhan pribadiku, Bu."

Rasa haru bercampur bahagia menyeruak dari hati Bi Fatimah. Didikannya begitu tertanam baik di diri Aisyah. Mereka mungkin miskin harta, akan tetapi tidak dengan hati.

Waktu terus berjalan hingga jam dinding rumah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Dengan dibantu Aisyah, Bu Fatimah membuka jualannya di depan. 

Satu per satu pelanggan datang. kebanyakan dari mereka adalah tetangga sekitar. Nasi uduk buatan Bu Fatimah sudah tersohor di perumahan tersebut. Selain rasanya enak, porsinya pun cukup banyak. 

Aisyah pamit ke kamar untuk bersiap-siap berangkat kerja. Tepat pukul O7.00 WIB, Aisyah berangkat setelah menyantap seporsi nasi uduk buatan ibunya. Ia mencium tangan Bu Fatimah, lalu berkata, "Aku berangkat dulu, Bu. As-salamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," sahut Bu Fatimah.

Sebuah motor matic berwarna pink adalah satu-satunya kendaraan yang Aisyah gunakan untuk operasional selama ini. Kendaraan itu ia beli dengan uang cash hasil bekerja, meski hanya motor second.

Lalu lintas kota Jakarta begitu ramai di pagi hari. Terlebih, hari Senin menjadi hari yang paling sibuk untuk semua orang.

🌸🌸🌸

Di gerai GraPARI, Aisyah hanyalah pekerja biasa yang menjadi Call Center salah satu telepon seluler.

Sebagai seorang Call Center, Aisyah dituntut harus bisa berkomunikasi baik dengan semua pelanggan. Tak jarang, ia harus tetap tersenyum. Meski, raganya sedang dilanda kelelahan.

Seperti pagi ini, Aisyah baru saja sampai meja. Beberapa teman seprofesinya pun menyapa satu per satu, dan Aisyah menjawab dengan baik.

"Aisyah, kamu semangat banget hari ini," ucap Erka --teman sebelahnya. Matanya menatap tajam pada Aisyah. "Seneng, ya, karena mau gajian."

Aisyah tertawa kecil. "Kamu bisa aja. Perasaan aku selalu semangat setiap hari."

"Eh, Aisyah, sepulang kerja anterin aku nyari baju buat kencan, yuk?" Erka menoleh ke samping, melengkungkan senyuman manis seolah merayu pada Aisyah. "Aku nggak punya baju nih."

"Astagfirullah. Terus yang numpuk di lemari kamu itu apa namanya?" Aisyah menggeleng, heran.

Erka tertawa kencang sehingga menyebabkan karyawan lain memperhatikan interaksi keduanya.

"Itu mah baju lama, Aisyah. Masa mau kencan pake baju jelek," tukas Erka membela diri.

"Kamu ini ada-ada, Ka."

"Jadi mau nggak?"

"Boleh aja, tapi jangan lama-lama. Aku harus belanja kebutuhan rumah pesanan Ibu."

"Asiap, Aisyahku tercinta. Kamu memang teman paling the best." Erka mengacungkan jempol ke arahnya.

Mereka pun memulai bekerja semana mestinya. Menjawab semua pertanyaan dari berbagai pelanggan dengan ramah. Sesekali selalu ada pelanggan yang rewel, akan tetapi itulah risiko dari sebuah pekerjaan.

Desas-desus terdengar dari satu mulut ke mulut yang lain, bahwa akan ada SPV baru menggantikan Pak Irfan yang telah pensiun beberapa hari lalu. Kabarnya, SPV pengganti ini masih tergolong muda. Kira-kira usianya dibawah 30 tahun. Cukup muda untuk seukuran seorang lelaki lajang.

Erka, si biang gosip pun turut andil dalam menyebarkan kabar segar tersebut. Para karyawan wanita penasaran bagaimana wajah manager mereka yang baru.

"Katanya, sih, orangnya cakep banget," ungkap Erka yang mendapatkan kabar dari temannya yang bekerja di kota Semarang. Kebetulan, SPV baru tersebut mutasi dari kota tersebut.

"Ah… yang bener kamu, Ka."  Wanita berseragam sama dengan Erka pun tersentak. "Kamu nggak lagi bohong, kan?"

"Ya Allah, kapan aku bohong, sih, Ras."

Ya, wanita itu bernama Rasti --teman sebelah Erka. Gadis berambut panjang yang sering dikuncir kuda itu berpikir keras. Bukannya Erka sering mengerjainya selama ini. Jadi … wajar saja jika ia kurang percaya.

"Yang kemarin. Katanya ada diskon di kedai makanan sebelah, tapi kenyataannya bohong," tegas Rasti.

Erka mengeluarkan tawa kecil. "Kamu pendendam amet, Ras. Aku, kan, cuman bercanda."

"Bercandamu kebangetan, Ka!" ketus Rasti.

"Ya, maaf, deh."

Di sela-sela kesibukan, dan menunggu telepon dari pelanggan. Terkadang mereka saling berkomunikasi untuk menghibur diri dari penatnya pekerjaan. 

Aisyah berdiri, rasa ingin buang air kecil tak bisa tertahan. Ia pun berjalan cepat ke arah toilet yang berada di belakang lantai dasar. Hari ini kantor begitu sibuk. Ada 10 Call Center yang bertugas, dan semuanya selalu menerima telepon dari setiap pelanggan.

Aisyah mempercepat hajatnya. Ia tak ingin terlalu lama meninggalkan meja yang akan menyebabkan fatal baginya. Ya … dia harus selalu siap sedia ketika ada telepon masuk.

Sekembalinya Aisyah, netranya mendapati seorang lelaki bertubuh atletis sedang mengangkat telepon di mejanya. Suara lelaki itu ramah dan sopan. Aisyah tersadar, ia pun mendekat.

"Baik. Terima kasih sudah menghubungi kami." Lelaki itu menutup sambungan telepon, mendongakkan kepala ke atas memperhatikan Aisyah dengan tatapan sulit diartikan.

"Kamu yang bekerja di meja ini?" tanyanya tegas.

Aisyah mengangguk. "Iya, Pak."

Semua orang menatap ke arah Aisyah. Berharap gadis berjilbab merah itu tidak mendapatkan teguran di hari pertama SPV mereka bekerja.

"Jangan terlalu lama meninggalkan mejamu. Bekerjalah secara profesional!" ujarnya tak kalah tegas dengan yang tadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rutia Ningsih
mampir thorrr ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status