Share

bab 3

Seorang gadis tampak tergesa-gesa melewati petugas keamanan di depan stasiun kereta api bawah tanah Wu Chan. Wajah cantiknya sedikit tegang namun tetap berusaha tenang dan tersenyum manis. Coat berwarna moca sangat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Rambut yang berwarna coklat emas menambah pesonanya semakin terpancar.

Sebuah tas wanita berwarna hitam menggantung di pundak kirinya. Sedang tangan kanannya membawa sebuah tas komputer jinjing yang lumayan besar. Sangat terlihat tas itu padat dan agak berat. Langkahnya menuju lorong tempat kereta tujuan Shanghai.

“Kereta tujuan Shanghai biasanya tepat waktu, hari ini kenapa ada penundaan?” kata seorang bibi separuh baya yang berdiri tidak jauh dari si gadis.

“Mungkin ada sedikit masalah, biasanya tidak lebih dari dua menit kereta terlambat,” sahut seorang lelaki berkacamata tebal dengan dasi besar dan tas kerja yang sudah tidak baru lagi. Kentara sekali lelaki itu berusaha menarik perhatian gadis cantik bermata coklat itu. Namun, rupanya gadis berpenampilan elegan dan up to date itu sama sekali tidak tertarik padanya.

“Semoga dia menepati janjinya,” batin si gadis cantik sambil menatap layar gawainya yang sedari tadi dia tunggu bunyinya.

Gadis cantik bertubuh tinggi semampai dengan riasan wajah natural itu, menghela napas dan membuangnya cepat. Dadanya mulai berdebar ketika melihat segerombolan polisi mulai memeriksa satu per satu orang yang berada di stasiun kereta Wuhan.

“Maaf, Nona, boleh saya melihat identitas Anda?” Seorang petugas berwajah tampan menghampiri si gadis yang berusaha tenang dan bersikap wajar.

“Ada apa, Tuan? Ada masalahkah?” Si gadis menyodorkan kartu identitasnya sambil tersenyum ramah.

“Tidak ada masalah yang berat. Hanya ada laporan seorang petugas dari laboratorium pusat tiba-tiba menghilang. Rekan-rekannya mencari dia,” jelas anggota polisi yang lain.

“Oh, iyakah? Semoga dia segera ditemukan,” ucap si gadis tulus dengan mimik sedih.

“Ini kartu identitas Anda, Nona. Semoga perjalanannya menyenangkan,” ucap polisi tadi.  Dua orang petugas berlalu dan beralih pada lelaki yang berpenampilan kuno dan bibi separuh baya.

Tidak begitu lama kereta tujuan Shanghai memasuki stasiun Wu Chan.

Ada rasa lega memenuhi rongga dada si gadis, “Semoga tidak ada kendala lagi sampai Shanghai,” ucapnya dalam hati.

Kereta yang konon katanya kecepatannya hampir menyamai kecepatan pesawat itu, berhenti tepat tidak jauh dari tempat si gadis berdiri. Ketika dia akan mengangkat tasnya, tiba-tiba, lelaki berkacamata tebal sudah berada di sampingnya. Tangannya meraih tas yang terlihat berat. Karena terkejut, si gadis spontan menarik tas dan memegangnya kuat.

“Maaf, aku hanya ingin membantu,” ucap si lelaki sambil memamerkan senyum yang sama sekali tidak menarik dan terkesan dibuat-buat.

“Tidak usah. Saya bisa sendiri, terima kasih,” tolak si gadis. Dia bergegas ke arah pintu kereta.

Seorang petugas menyambutnya dengan senyum ramah. Gigi putih rapi dengan bibir tipis, ditambah sorot mata ramah, memberi ketenangan kepada para penumpang yang mengantre di depan pintu masuk kereta.

Stasiun Wu Chan adalah salah satu stasiun utama dari tiga stasiun terbesar di Provinsi Hubei. Stasiun Wuhan merupakan gabungan dari Stasiun Wuchang dan Stasiun Chanxi yang berada di Distrik Hongshan. Ada dua puluh jalur dengan sebelas peron yang sering kali membingungkan para penumpang karena stasiun ini terbilang baru. Apalagi penggabungan dua stasiun ini banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.

Gadis cantik itu bergegas mencari tempat duduknya. Dia tersenyum setelah menemukan bangkunya dan segera duduk.

“Nona, mungkin Anda ingin meletakkan tasnya di atas? Saya bisa membantu,” tawar seorang petugas yang sengaja berkeliling membantu para penumpang yang baru saja naik. Dia mencarikan tempat duduk sesuai dengan yang tertera di tiket. Sering kali dia membawakan barang bawaan penumpang serta meletakkannya di tempat barang yang berada di atas tempat duduk penumpang.

“Tidak terima kasih, biar saya bawa saja.” Si gadis menolak seraya tersenyum.

Petugas itu pun mengangguk ramah dan berlalu. Terdengar sapaannya yang ramah dan ceria kepada penumpang lainnya.

Berkali-kali si gadis membuka ponselnya. Sesekali dia mengirim pesan atau membalas pesan yang masuk. Perjalanan dengan kereta cepat CRH2 Hexie yang berkecepatan 250 KM/jam akan memakan waktu kurang lebih 3-3,5 jam. Dia tidak mungkin tidur selama tiga jam ke depan. Bukan tidak mengantuk, tetapi karena sesuatu yang dibawanya. Sesuatu yang bisa mengubah kondisi dunia.

“Hai, Nona, apa isi tasmu itu?” tanya si lelaki berkacamata tebal dan dasi yang norak.

Si gadis masih diam, dia malas bicara dengan orang asing yang sok akrab dan bukan tipenya!

“Hai, kalau kau butuh teman untuk menjaga barang-barangmu ... aku bisa kau andalkan, Nona,” ujar si lelaki dengan dada membusung.  “Aku biasa ....”

“Tidak terima kasih. Aku biasa sendiri.” Si gadis segera memotong kalimat lelaki itu.

“Tapi, Nona ....”

“Tidak, terima kasih!” tegas si gadis sambil memalingkan pandangannya ke luar jendela.

***

Sementara itu, di Wu Chan Institute of Virology, semua petugas keamanan menyisir setiap sudut gedung. Bangunan yang sangat luas dengan puluhan laboratorium canggih serta ratusan ahli yang bekerja siang malam, tentu bukan hal mudah menemukan seseorang yang tiba-tiba menghilang. Kamera CCTV yang terpasang ternyata tidak dapat menemukan jejak Angel. Dia terekam kamera pengawas saat memasuki toilet wanita. Sejak itu, dia tidak pernah keluar dari sana.

Chou menyusuri lorong tempat rahasia mereka kalau sedang melepas penat dan jenuh. Sebuah tempat rahasia yang hanya dia, Angel, dan Chen yang tahu. Ada pintu darurat di ujung koridor laboratorium mereka. Sebuah pintu yang menuju ke sebuah balkon kecil yang berada tepat di atas ruang rapat untuk para petinggi di institusi ini. Angel biasanya duduk menyendiri di sini bila jenuh atau sekadar melepas penat dan tekanan dari James.

Saat Chou membuka pintu, dia sangat berharap gadis pujaannya itu ada di sana, agar tidak ada yang mencurigainya lagi. Perlahan Chou keluar dan dalam hatinya dia berdoa, semoga Angel ada di sana. Biasanya dia selalu bersembunyi dan keluar tiba-tiba mengejutkan Chou. Namun, ternyata harapan Chou tidak terkabul. Angel tetap tidak muncul memberinya kejutan. Tubuh pemuda itu lemas. Lututnya seperti tidak bertulang. Seandainya tidak ada rekaman kamera pengawas itu, dia akan membela gadisnya dengan segala upaya. Dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya terlibat masalah, apalagi masalah sepelik ini.

“Angel di mana kamu?” gumam Chou sambil memandang ke taman kecil yang terawat apik di bawah balkon.

Bunga lili selalu membuat Angel tersenyum bahagia. Katanya bunga itu mengingatkannya kepada sosok kakak yang hilang puluhan tahun lalu.

Tiba-tiba, telepon genggamnya berbunyi.

“Ada apa Chen?” tanya Chou tidak bersemangat.

“Angel ...,” ucap Chen terbata.

“Ada apa dengan Angel?” tanya Chou dengan wajah tegang

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status