Share

Pertemuan yang Tertunda

       

     

     Setelah pembicaraan dengan Nanta pagi tadi, Tiara jadi enggan bertemu dengan Nanta. Dia marah, kenapa Nanta harus berandai-andai tentang sesuatu yang buruk soal hubungannya dengan Arka. Bahkan, dia pun tak cukup baik mengenal Arka. Hanya bertemu beberapa kali, itupun secara tak sengaja, saat Nanta bertamu kerumahnya, dan  kebetulan Tiara dan Arka baru pulang dari pantai. 

       Waktu makan siang tiba, Bapak, Ibu, Tiara dan Nanta makan bersama. Disepanjang acara makan itu, tak sekalipun Tiara membuka suara, ia hanya fokus pada makanan yang ada dihadapannya. Menyuap dengan cepat, agar dia bisa segera meninggalkan meja makan. Nanta tampak sedikit canggung, mungkin merasa tidak enak dengan sikap Tiara. Dia menyendok makanan dengan pelan sekali. Ibu yang melihat itu, kemudian bertanya pada Nanta.

       "Apa makanannya tidak enak, Nak Nanta? Kok, Ibu lihat dari tadi kamu

 cuma memainkan sendok di piring, seperti tidak selera makan."

       Nanta yang memang cuma mengaduk-aduk makanannya, terkejut mendengar pertanyaan dari ibunya Tiara.  Wajahnya yang semula tertunduk, kini sedikit mendongak.

     "Oh, tidak Bu ... makanan yang terhidang semuanya enak, mungkin saya hanya tidak lapar, Bu ... maafkan saya." 

       Terlihat penyesalan di wajah Nanta. Bagaimanapun dia tidak ingin membuat Bapak dan Ibu Tiara khawatir.

      "Tak perlu meminta maaf, Nak. Ibu hanya takut bila kamu sakit. Nanti, bagaimana Bapak dan Ibu harus menjelaskan sama orangtua kamu." kata Ibu dengan lega.

      "Bukankah Kamu suka sekali makan bakso di ujung jalan itu? Ibu ingat sekali, dulu kamu sering  mengajak Tiara makan ditempat itu. Tiara, temani Nanta makan bakso disana." perintah Ibu pada Tiara.

       Tiara baru saja mau membuka mulut untuk menolak, saat ayahnya ikut bicara.

      "Itu benar Tiara, ajaklah Nanta makan di sana, nanti Bapak dan Ibu dibungkus kan ya. Sudah lama Bapak gak makan bakso itu." 

       "Kalau begitu, Bapak dan Ibu ikut saja. Kita makan sama-sama." akhirnya Nanta buka suara.

        "Loh, lha wong Bapak sama Ibu baru aja makan kok, jadi gak mungkin mau makan bakso lagi. Udah kalian berdua aja. Bapak lihat, Kamu dan Tiara kurang berselera makannya," imbuh Bapak.

      Ingin rasanya Tiara menolak, tapi, dia melihat kode dari Ibu agar menuruti perkataan Bapaknya.

     "Aku ganti baju dulu," kata Tiara sambil berlalu ke kamarnya.

      Tiara keluar memakai blus motif bunga, warna cream, dan rok dengan warna senada. Rambutnya ia biarkan tergerai, ada jepit rambut berhiaskan manik manik tersemat di rambutnya yang lurus dan panjang.

     Nanta begitu terpesona melihat kecantikan Tiara. Kecantikan alami tanpa  polesan make up yang berlebihan. 

     "Kita naik motor saja," kata Tiara, saat melihat Nanta berjalan menuju mobilnya.

      "Oke ... tapi kamu nanti kepanasan, inikan sudah tengah hari," jawab Nanta.

      Nanta mengambil kunci ditangan Tiara. Tak butuh waktu lama, motor matic itu sudah berada di jalanan yang berdebu, karena musim kemarau yang mulai datang.

      Sampai di warung bakso, Nanta segera memarkirkan kendaraannya ditempat yang teduh. Dia berlari kecil untuk bisa berjalan di samping Tiara yang meninggalkan Nanta, saat pemuda itu sedang memarkirkan motor milik Tiara.

       "panasnya hari ini, coba tadi kita pakai mobil aja, kan nggak keringetan gini." Nanta menyeka peluh di dahinya dengan sapu tangan yang selalu siap di sakunya.

       "Idih, manja banget jadi cowok. Gak boleh ngeluh, panas dan hujan itu adalah berkah dari yang Kuasa," kata Tiara.

       "Galak banget. Iya-iya Ustadzah." Nanta sedikit bergurau untuk menghilangkan cemberut di wajah Tiara.

       "Jangan mulai deh, melucu, untuk mendapat maaf dariku. Aku masih sebel sama kamu!" sungut Tiara.

       Tiara memilih tempat duduk di sudut sebelah kanan. Tempatnya yang adem karena ada pepohonan di sekitarnya. Ditambah lagi kolam ikan di depan tempat duduknya.

       "Mas , bakso isi daging dua ya, minumnya jus jeruk dan es teh aja." kata Tiara pada pelayan yang berdiri tak jauh darinya.

     Pelayan itu mengangguk dan bergegas menyiapkan pesanan Tiara.

      "Gak nyangka ya, kamu masih ingat semua yang ku suka." binar mata Nanta tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. 

      "Kita kan berteman gak sebentar, Nanta. Tentu saja aku ingat semua makanan kesukaanmu, film apa yang kamu suka, musik yang kamu suka, semua tak ada yang aku lupa. Tapi bukan berarti aku mencintaimu, ingat itu! Dan aku masih marah saat kamu berkata yang tidak-tidak soal Arka." 

     "Iya ... aku minta maaf ya, kalau kemarin aku telah menyakiti hatimu. Janji, gak akan mengulangi." Nanta berkata bersungguh-sungguh.

     Tiara tersenyum. Bagaimanapun Nanta adalah sahabat baiknya. Tak mungkin dia dengan mudah membenci  Nanta karena hal yang sepele.

      Mereka terdiam, saat pelayan mengantarkan pesanan. Dan tak lama, keduanya begitu asik menikmati bakso yang dari dulu memang jadi kuliner favorit mereka.

     "Antar aku ke Pantai, Nanta." Tiara berkata saat motor telah melaju meninggalkan warung bakso.

     Tanpa berkata apapun, Nanta menuruti kemauan Tiara. Sesampai di pantai, Tiara segera turun.

      "Kamu pulang saja, aku ingin sendiri." kata Tiara, sambil menyodorkan helm yang baru saja dilepasnya pada Nanta.

     "Tak bolehkah aku menemanimu, Tiara?" tanya Nanta sedikit meminta.

      "Aku tak ingin penantian ku untuk  Arka, terganggu dengan adanya kamu." tegas Tiara.

     Karena tak ingin membuat Tiara marah padanya lagi, terpaksa, Nanta menuruti kemauannya. Tapi diam-diam Nanta tetap mengawasi, dan berniat untuk menunggu Tiara.

      Tiara berjalan menuju ke bibir pantai. Senja baru akan mulai menjelang. Dia duduk menghadap ke laut lepas. Meski tiap hari dia memandang senja dan pantai yang sama. Tapi, tetap saja, dia selalu mengagumi ciptaan Allah yang begitu indahnya. Dalam hati, Tiara bersyukur atas segala Rahmat yang telah Allah berikan atas segala keindahan di atas bumi ini.

       Di kejauhan, pandangan Nanta tertuju kepada Tiara. Ada yang terasa sakit didada bila mengingat pengkhianatan Arka pada Tiara. Dia tak bisa membayangkan, betapa hancur hati Tiara, saat orang yang menjadi lentera hati dan jiwanya begitu tega menghancurkan kepercayaan yang selama ini telah utuh dia berikan.

     Pandangan Nanta tertuju pada Tiara, hingga tak menyadari ada seseorang yang sepertinya ingin mendekati Tiara. Nanta begitu marah, saat dia melihat bahwa seseorang itu adalah Arka.

     Tiara belum menyadari kehadiran Arka yang berjalan tak jauh di belakangnya.

Kemarahan Nanta begitu besar, tangannya mengepal, dia segera berlari menghadang Arka sebelum sampai di hadapan Tiara.

      Arka terkejut, karena tak menyangka ada seseorang selain Tiara di sana.

       "Masih punya nyali ya, kamu datang kesini!" Nanta mencengkeram kerah baju Arka.

      "Kamu siapa, aku nggak ada urusan dengan kamu, singkirkan tanganmu dari bajuku!" sentak Arka.

      "Kalau itu menyangkut Tiara, berarti kamu juga berurusan denganku!" Nanta memberi penekanan saat mengucapkan kata Tiara.

       "Aku tau semua cerita kamu di kota. Bahkan seminggu yang lalu kamu baru ini saja dikenalkan oleh seorang gadis sebagai calon suaminya." Nanta melepaskan cengkeraman tangannya.

     "Dari mana kamu tau semua itu." Arka berkata sedikit gugup. Tak menyangka ada seseorang yang tau kisahnya di kota.

     "Kamu tak perlu tau dari mana aku tau semua. Aku ingin kamu  jawab dengan jujur, apa yang ingin kamu katakan kepada Tiara? kalau kamu ingin kembali, kamu boleh menemui Tiara. Tapi, kalau cuma ingin melukai hatinya, pergilah, air mata Tiara terlalu berharga untuk menangisi lelaki pengecut seperti dirimu." Nanta memberi pilihan pada Arka.

    "Baiklah, aku tidak akan menemuinya. Siapapun kamu, aku tau kamu orang baik, aku titip Tiara." Arka menepuk bahu Nanta.

     Dengan langkah gontai, Arka meninggalkan tempat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status