Tangan wanita itu tidak lagi diam di atas perut liat Galtero. Menyusup ke tubuh kekar seolah tahu betul bagaimana membakar hasrat pria itu dengan mudah. Aroma parfum yang familiar menyeruak memenuhi indera penciuman. “Aku merindukanmu,” bisik suara mendayu manja dari balik punggung. Dalam satu gerakan cepat, Galtero membalikkan tubuh, mendorong wanita itu hingga jatuh terduduk di sofa. Mata mereka bertaut, begitu panas dan tajam. “Kenapa datang ke sini?” Suara Galtero terdengar dingin dan tegas. “Di mana Carlitos?” “Kami membutuhkanmu, Galtero. Carlitos mencarimu,” ucap wanita itu dengan wajah berubah sendu. Namun, jemari nakalnya masih sempat menyusuri dada bidang Galtero, mencoba mengulang percikan yang dulu pernah mereka rajut. “Dia jatuh dari tangga,” lanjut Isabel, kali ini air mata benar-benar mengalir di pipinya. “Dia ingin kamu di rumah sakit. Sebagai papanya.” Galtero terdiam. Tangannya mengepal dan pandangannya lurus ke dinding, pada retakan di sudut yang dia b
Sofia terus memandangi suaminya yang menjengkelkan itu. Bukan karena terpesona pada penampilan Galtero mengenakan celana jeans hitam panjang dan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku. Semua kancing dibiarkan terbuka, memamerkan dada bidang dan perutnya yang liat.Oh … sungguh keterlaluan!Kenapa dia justru memperhatikan sedetail itu? Sofia mengepalkan tangan dan menghunuskan tatapan tajam.Galtero berdiri santai, tangan di saku celana, dagu terangkat, dan hanya menaikkan sebelah alis saat Sofia menggantung ucapannya."Jangan-jangan Tuan Muda Kedua Torres ... kamu bekerja untuknya?" bisik Sofia di akhir kalimat, buru-buru menutup mulutnya. Pantas saja suaminya itu bisa membeli rumah besar dan mobil mewah. Ternyata ….Galtero hanya menatap tanpa menjawab. Bibirnya berkedut seolah mengejek, dan Sofia bagai sedang bicara pada tembok. Kalau bisa dia ingin menampar wajah tampan itu yang tanpa ekspresi. Namun
“Apa aku tidak salah baca, Tuan?” Sofia menggenggam map itu erat-erat. Napasnya tercekat dan pandangan mulai memburam. Dia buru-buru menyeka sudut matanya sebelum air bening jatuh dan membasahi kertas penting dalam tangannya. “Tidak,” jawab Direktur Jose, duduk agak jauh darinya, tetapi pandangannya tetap mengamati Sofia dengan serius. “Tapi ... kenapa aku yang menerima ini, Tuan?” Tatapannya kembali turun, membaca ulang setiap kata yang tercetak jelas di atas kertas. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan membuncah di dadanya. “Kamu beruntung mendapat kontrak eksklusif Torres Lumière. Bahkan para seniormu belum pernah mendapat kesempatan ini. Baru kamu, Sofia.” Jose tersenyum, bangga. Tidak pernah terlintas di benak Sofia bahwa akan mendapat kesempatan sebesar ini. Menjadi model eksklusif untuk brand nomor satu itu seperti mimpi. Dulu, setiap kali melihat model-model Torres Lumière di kantor, rasa iri menyelusup diam-diam. Mereka semua tampak sempurna, sedangkan dia hanya bisa be
"Itu cucuku, kamu tunggu di sini sebentar." Abuela segera bangkit dan melangkah ke depan.Rasa penasaran Sofia melambung tinggi. Dia memberanikan diri mengintip melalui pilar besar yang mampu menyembunyikan tubuhnya.Sosok itu berdiri dengan punggung membelakangi arah pandangnya, membuat Sofia tidak dapat melihat wajah cucu Abuela. Namun, dari caranya berdiri tegak, kaku, dan penuh tekanan, dia merasa seperti mengenali postur itu.‘Tidak mungkin. Bukan dia, ‘kan?’ batin Sofia, sambil tetap mencuri dengar percakapan mereka.Dia ingin memastikan apa dugaannya benar. Itu saja."Usir perempuan itu!" Suara familiar kembali terdengar, kali ini Sofia menahan napas karena bertanya-tanya siapa perempuan yang dimaksud pria itu."Kenapa diusir? Dia bantu aku. Kalau tidak ada dia, aku pasti di penjara karena tidak bayar makan." Intonasi Abuela meninggi. "Pergilah kamu dari sini, dasar cucu nakal.""Dia pura-pura baik, karena mengincar uangmu!" Suara menyebalkan itu kembali berdengung, kali ini me
Sofia bisa melihat bagaimana kulit Galtero yang putih memerah seketika, matanya memburu seperti binatang liar yang kehilangan kendali. Hawa panas menguap dari tubuhnya seakan darahnya di dalam sana mendidih. “Lancang sekali, bibirmu!” desis pria itu dengan rahang mengeras. Tangan Galtero mencengkeram pinggang Sofia, menariknya hingga tubuh mereka makin menempel, lalu jari-jarinya merayap ke tengkuk, menahan Sofia agar tidak bisa berpaling. “Namaku ... hanya namaku, Sofia.” Sungguh Sofia tidak menyangka niatnya untuk mengakhiri penyatuan ini justru bermuara dengan kemarahan Galtero. Dia pikir pria itu akan membebaskannya, ternyata kenyataan tidak semudah rencana impulsif. Jantungnya melompat-lompat, dan Sofia hampir tidak mampu bernapas saat Galtero tiba-tiba membalik tubuhnya. Sofia membungkuk, mengepalkan tangan, bersiap akan disentak dengan kasar. Namun … yang menyentuhnya justru kelembutan. Bukannya kemarahan atau amukan seperti yang dia duga. Bukankah pria itu seh
Galtero melepaskan dasinya yang terasa mencekik sedari tadi. Pria itu segera bangkit dan meminta Alonso untuk mengantar Abuela pulang. “Apa Anda tidak ikut ke mansion, Tuan?” Satu tangan yang terangkat ke udara, sudah menjadi bukti bahwa Galtero tak ingin mendengar pertanyaan apa pun. Dia memesan kamar, lalu menghubungi sekretarisnya. “Beli semua gaun tidur nude gold milik Doca Gaba!” perintahnya di telepon. Dia meremas ponselnya lalu menyusup ke backstage. Dari kejauhan, pria itu mengawasi Sofia yang sedang tersenyum dan bertepuk tangan saat mendengar bahwa gaun tidur yang dikenakannya ludes terjual. Sofia dipersilakan istirahat lebih dulu, sementara para model lain sibuk berganti pakaian baru. Di balik rasa bangga dan syukur, wanita itu tidak tahu bahaya sedang mengintainya dari kegelapan. Langkahnya mantap sambil membawa botol minum menuju ruang istirahat dekat backstage. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, tangannya ditarik ke dalam gelap. Botol di tangannya terjatuh dan So