LOGINMei Yan menoleh ke arah Chen Fu yang melarangnya untuk pergi.
"Ada apa, Tuan? Bukankah keluargamu tidak menginginkan aku tinggal di sini? Lagian aku ini hanya pengganti,"sahut Mei Yan dengan wajah merah. "Tidak ada yang bisa keluar ruangan ini tanpa seijinku," ucap Chen Fu tegas. "Mei Yan, masuk!" titah Chen Fu. "Kamu sekarang adalah istriku. Tidak ada Nyonya Muda yang meninggalkan malam pertamanya." Mulut Mei Yan menganga. Seolah rencana yang dia susun buyar semua. Dia ingin kabur setelah menerima cek dari Chen Fu. Nyonya Chen dan Cheng Yung merasa gusar karena Chen Fu melarang istri dadakannya untuk pergi. Padahal dia juga sudah mendapatkan uang pembayaran. Lalu untuk apa uang itu kalau juga harus tinggal di villa mewah milik keluarga Chen. "Kakak Chen Fu. Kenapa Kakak melarang gadis itu pergi? Bukankah dia sudah menerima pembayaran? Jadi tugasnya sudah selesai." Chen Yung protes dengan mata yang mendelik ke arah Mei Yan. "Aku berubah pikiran. Uang yang aku kasih ke dia sebagai hadiah dariku. Dia tetap di sini. Siapa saja yang berusaha mengganggu dia maka harus berhadapan denganku," ucap Chen Fu tegas. Nyonya Chen mendengus kasar. Dia kemudian mengibaskan rambut pirangnya. Tanpa banyak kata, dia naik ke lantai atas diikuti dengan anaknya, Chen Yung. Sebelum pergi Chen Yung menatap Mei Yan seolah memberikan kode kalau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan keluarga Chen. Mei Yan menghampiri suami kontraknya. Dia membungkuk di hadapan kursi roda Chen Fu. Gadis itu berusaha memasang muka sedih agar pria yang berwajah seperti kulkas sepuluh pintu itu merasa iba dan mengizinkannya pulang. "Maaf Tuan. Bukannya tugasku sudah selesai. Tadi Tuan bilang kalau aku mau menjadi pengantin pengganti saja, tidak menjadi istri seutuhnya. Lalu kenapa Tuan melarang aku untuk pulang ke rumah?" tanya Mei Yan tidak mengerti. Chen Fu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sinis kemudian mengangkat dagu Mei Yan yang runcing. "Mau tidak mau kamu sekarang adalah istriku. Jadi kamu tetap tinggal di sini. Mengerti! Enak saja sudah terima gaji langsung pulang. Seratus ribu dollar itu bukan angka yang sedikit," ucap Chen Fu dengan tatapan tajam. Mei Yan melengos sambil mendengus kesal. Dia sepertinya tidak tertarik dengan kekayaan Chen Fu atau ketampanan pria itu. Dia hanya membutuhkan uang untuk membayar hutang papanya dan menebus restoran kecil miliknya yang digadai pada keluarga Lee. Chen Fu memberikan kode kepada ajudan Felix untuk membawa dia ke kamar pribadinya. Sementara ajudan Austin membawa Mei Yan. Agak kesal ketika ajudan tampan itu memegangi lengannya. Dengan kasar melepaskan. "Aku bisa jalan sendiri. Emang aku ini tawanan!" bentak Mei Yan menatap sini ke arah Austin. Pria berambut gondrong dan memakai masker warna hitam itu hanya diam saja. Mereka menuju ke lantai tiga dengan menggunakan lift. Villa Rich terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama untuk ruang tamu. Lantai kedua adalah kamar Nyonya Chen dan Chen Yung. Sementara lantai ketiga adalah ruangan pribadi Chen Fu. Mereka diantar sampai depan kamar yang sangat besar. Keluarga Chen sepertinya sudah mempersiapkan kamar pengantin untuk Chen Fu. Kamar sudah dihias dengan warna biru laut dan bunga-bunga mawar warna merah dan merah muda. Sayang sekali Wong Yee kabur pas hari pernikahan itu. "Apakah anda bisa sendiri Tuan?" tanya Ajudan Felix. "Tinggalkan kami, karena aku sudah punya istri yang akan melayaniku," ucap Chen Fu. "Oh, baik, Tuan. Selamat menikmati malam pertama pernikahan kalian. Semoga Tuhan memberkati kalian," ucap ajudan Felix. "Hei tunggu! Dasar kamu penipu. Kamu menjebakku dengan pesta ini. Awas aja," ucap Mei Yan pada Ajudan Felix. Pria tampan itu hanya nyengir. Lalu pergi dari ruangan itu. Mei Yan mengepalkan tangan. "Hmm, tidak akan aku biarkan kamu menjamahku. Awas aja. Aku ini masih perawan," batin Mei Yan. Setelah kedua ajudannya keluar dari kamar miliknya, Chen Fu segera menekan tombol kursi rodanya mendekati ranjang pengantin. Sementara itu Mei Yan masih berdiri mematung di dekat pintu. Seperti mimpi saja dia berada di kamar itu. Kamar pengantin yang selalu dia cita-citakan ternyata sudah ada di depan matanya. Harum bunga mawar yang memenuhi ruangan itu dengan kamar yang luas dan sangat bersih. Bahkan matanya melotot kegirangan melihat bunga-bunga indah yang terpajang di kamar itu. "Mei Yan, kenapa kamu tetap berdiri di situ? Bantu aku duduk di ranjang ini!" titah Chen Fu. "Hah membantu Tuan duduk? Bagaimana aku bisa? Badan Tuan sebesar itu?" tanya Mei Yan sambil garuk-garuk kepala. "Ya kamu kan istriku. Kamu harus pakai otak agar aku bisa tidur diranjang itu." "Aku masih memakai gaun pengantin. Apakah kamu punya baju ganti? Tidak mungkin aku menggotong tubuhmu dengan baju pengantin seperti ini. Bisa-bisa aku jatuh," ucap Mei Yan. "Kamu cari baju yang pas untukmu di lemari itu," ucap Chen Fu. "Hah! Kamu juga sudah mempersiapkan baju untuk istrimu? Sebenarnya siapa calon istrimu itu? Kenapa dia kabur?" "Dia adalah calon yang disiapkan oleh adikku, Chen Yung dan mama. Aku juga tidak begitu mengenal gadis itu. Katanya dari keluarga kaya juga. Aku sudah mempersiapkan kalau dia mau menjadi istriku." "Oh begitu." "Mungkin dia tidak mau punya suami lumpuh seperti aku. Sangat merepotkan," ucap Chen Fu memukuli kakinya yang tidak bisa digerakkan. "Kasihan juga ya pria ini," batin Mei Yan. Mei Yan gegas membuka lemari besar yang ada di kamar itu. Mulutnya semakin menganga melihat baju-baju cantik yang digantung. Tapi dia tidak terbiasa dengan gaun-gaun itu. Biasa di rumah hanya memakai celana pendek dan kaos oblong saja. Apalagi saat ini adalah musim panas di Hongkong. Dia juga tidak mungkin memakai baju terbuka apalagi dengan pria yang tidak dikenalnya satu kamar pula. "Tuan, apakah tidak punya baju lain? Aku tidak suka baju-baju seperti ini." "Hah! Kamu gadis yang sangat aneh. Baju-baju itu sangat mahal tidak ada yang murah. Aku belinya di mall yang sangat besar di kota ini." "Tapi aku tidak suka Tuan. Terlalu mewah buatku. Kalau tidur aku biasa pakai singlet dan celana pendek saja," ucap Mei Yan. "Ya sudah kamu pakai kaosku saja di sebelah." Mei Yan segera membuka lemari baju milik Chen Fu dan mengambil kaos oblong milik pria itu. Ketika memakai kaos itu dia sudah seperti memakai rok saja. Terlalu besar tidak ada ukuran kecil. Mungkin tidak ada celana pendek yang pas dengan tubuhnya yang mungil. "Ha...ha...ha kok kayak seperti itu," ledek Chen Fu tertawa kecil. Dia menutupi giginya yang bagus dengan tangan. "Cepatlah! Tolong aku naik ke ranjang ini! Aku sudah capek seharian duduk di kursi roda ini," titah Chen Fu. Mei Yan berdiri mematung di depan Chen Fu. Dia bersedekap memikirkan cara memindahkan tubuh besar pria itu ke atas ranjang. Dia ingat dulu pernah menolong papanya yang sakit dan duduk di kursi roda. Dia segera mengunci kursi roda itu melepaskan sepatu Chen Fu dan meletakkan di sudut kamar. Dia juga melepaskan jaket serta dasi pria itu. Chen Fu mencium aroma tubuh Mei Yan yang wangi. Hasrat laki-laki-lakinya menyeruak. "Eh awas jangan macam-macam!" ancam Mei Yan mendelik. "Hmm, setia juga gadis ini. Dari tingkahnya aku tau dia dari keluarga baik baik dan hidupnya teratur," batin Chen Fu. "Aku tolong kamu dari depan. Kamu jangan macam-macam!" Mei Yan menarik kedua lengan kekar Chen Fu dan akan memindahkan di atas ranjang. Namun, Chen Fu ingin mengerjai gadis itu. Dia mendorong tubuh mungil hingga terjerembab di atas ranjang. "Aaaaauuu!" teriak Mei Yan.Dengan halus Mei Yan menolak semua lamaran dari keluarga Man maupun keluarga Lee. Alasan yang tepat sehingga tidak menyinggung perasaan kedua keluarga itu. Mereka tidak marah ketika Mei Yan menolak. Tidak ingin memaksa sesuatu. Hung Mao tetap berteman baik dengan kedua marga itu. @@@Hampir satu bulan Mei Yan penasaran dengan cincin yang dipakai pria itu. Hung Mao belum juga bertemu dengan Nelayan Kwok. Mei Yan hanya ingin memastikan kalau pria itu adalah suaminya tidak lebih. Mei Yan meminta Hung Mao untuk mengatur pertemuan Mei Yan dengan pria muda itu. Dengan pasal mengantar ikan ke rumah Hung Mao yang ada di kampung. Nelayan Kwok menyanggupi. Hari yang ditentukan Kwok Sam alias Chen Fu mengirimkan ikan ke rumah Hung Mao dengan berjalan kaki. Mei Yan meminta nomer ponsel Kwok Sam lalu membagikan lokasi rumahnya. Tidak sulit bagi Kwok Sam untuk mencari rumah itu. "Permisi!" teriak Kwok Sam di depan pagar rumah Hung Mao. Pria tua itu terkejut dan tergopoh menuju ke pagar rumah.
Dalam pikiran Mei Yan ketika sampai rumah, dia akan mengambil cincin berlian yang disimpan di dalam lemari perhiasannya. Perasaan cincin pria itu mirip dengan cincin pernikahannya. Apa mungkin ada kesamaan atau memang dia adalah Chen Fu, suami yang diharapkan setelah 2 tahun menghilang. Bahkan putra putrinya sudah setahun lebih. Mereka sudah merangkak. Wajah Chen Bo mirip dengan papanya, Chen Fu. Sedangkan Chen An mirip dengan Mei Yan, ibunya. Hung Mao sangat terkejut melihat kedatangan Mei Yan yang terburu-buru. Bahkan sepedanya dirubuhkan sehingga ikannya berantakan. Sebenarnya apa yang baru saja dilihat oleh putrinya sehingga dia nampak gugup dan bertingkah seperti itu. Dua anak kembar Mei Yan tidur di ayunan. Hung Mao mengayun anak-anak itu di teras rumah Hung Mao. "Hai ada apa, Mei? Kenapa kamu buru-buru seperti itu? Kamu bukannya mengambil ikan dari Tuan Kwok?" pria tua berkaca mata itu tertatih menghampiri Mei Yan. "Papa, aku melihat ada sesuatu yang aneh. Entah ini pertand
Mei Yan juga terkejut melihat Chen Fu. Walau menjadi istri pria itu hanya beberapa bulan saja terus ditinggal pergi tidak ada kabar, Mei Yan mengenal bau badan pria itu. Sempat matanya terbelalak. Bentuk tubuh dan tinggi Kwok Sam mirip dengan suaminya. Hingga mereka saling tatap. Hampir lima menit tanpa disadari. Hingga Mei Yan tergagap. Mungkin ini adalah halusinasi dirinya mengharap suaminya masih hidup. Begitu juga dengan Chen Fu. Pertama kali bertemu dengan Mei Yan, dia merasa sudah mengenal lama wanita yang berdiri di depannya. Hingga Nelayan Kwok menyenggol pundaknya."Kwok, dia adalah putri dari sahabatku, Hung Mao. Kamu jangan macam-macam dengan dia," bisik Nelayan Kwok di telinganya Kwok Sam. Chen Fu hanya nyengir saja sambil menggaruk kepalanya. Dia lupa kalau tugasnya hanya mengantar ikan. "Maaf apakah kamu putri dari Tuan Hung Mao?" tanya Nelayan Kwok pada Mei Yan. "Iya Tuan. Apakah Tuan ini dari marga Kwok yang mengantar ikan?"tanya Mei Yan sambil tersipu malu. Seja
Bayangan itu menangkap Felix kemudian membawanya ke tempat yang lain sehingga dia tidak ada kabar lagi. Entah menghabisi Felix atau mengasingkan ke tempat lain. Sementara itu Dinasti Group dipimpin oleh Chen Yung dan ibunya bukannya maju terus mengalami kerugian sangat banyak. Chen Yung menggunakan aset perusahaan untuk main judi dan bercinta dengan cewek bayaran. Begitu juga dengan Nyonya Chen. Wanita tua itu semakin lupa daratan. Dia menggunakan harta perusahaan untuk kesenangannya sendiri. Bahkan dia mengganti orang-orang kepercayaan Chen Fu dengan orang baru. Termasuk Moudy. @@@Dua tahun yang lalu Chen Fu terombang ambing di laut Hongkong sehingga bisa mencapai kapal yang berada di dekat pantai Tuen Mun. Dia tidak sadar hingga arus ombak membawanya di pinggir pantai. Seorang pemancing yang bermarga Kwok menemukannya tergeletak di pinggir pantai dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuh dan bibirnya sudah membiru. Kalau saja tidak tepat waktu maka Chen Fu akan kehabisan nafa
Malam itu Hung Mao sedang memasak mie di dapur untuk makan malam terkejut mendengar suara di pintu gerbang. Sejak Mei Yan ikut suaminya, Hung Mao memang tinggal sendiri. Dia tidak mengambil teman atau pembantu untuk menemaninya. Dia sudah tidak jualan mi lagi. Hanya merawat tanaman saja untuk makan sehari-hari. Menikmati hari tua. Sebenarnya Chen Fu ingin mengajak Hung Mao untuk tinggal bersama tapi pria tua itu tidak mau sehingga Chen Fu hanya mengirimkan uang untuk kehidupan mertuanya dan membayar semua hutang-hutangnya. "Siapa malam-malam datang?" tanya Hung Mao menghentikan tangannya ketika memasak mie. Sekali lagi Mei Yan mengedar-gedor pintu pagar sehingga Hung Mao segera mematikan kompor itu dan berlari ke depan. Dia sangat terkejut ketika melihat Mei Yan datang dengan ajudannya, Felix. "Mei Mei kamu datang? Papa rindu!" teriak Hung Mao memeluk putrinya dan mencium gadis mungil itu. "Papa, Mei Yan juga kangen!" teriak Mei Yan. "Suamimu mana?" tanya Hung Mao cel
Sore hari ketika keadaan Mei Yan sudah mendingan, dia mengajak pulang. Pihak rumah sakit sebenernya belum mengijinkan namun wanita itu tetap kekeh ingin pulang. Takut suaminya datang dia tidak ada di rumah. Apalagi ada kabar gembira yang harus disampaikan. Mei Yan berusaha menghubungi ponsel Chen Fu tapi tidak ada jawaban. Hampir seharian setelah pria itu mengirimkan pesan terakhir. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pikiran Mei Yan tidak menentu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan suaminya sehingga sejak pagi tidak menghubunginya. Dia hanya menurut saja dengan Ajudan Felix ketika pria itu membawanya pulang. Felix yang membawakan tas milik Mei Yan. Pandangan wanita itu kosong. Seperti tidak ada nyawa sama sekali. Sampai di dalam taksi Mei Yan mencolek punggung Felix yang duduk di depan dekat sopir. Tidak sabar rasanya mengetahui kabar dari suaminya. "Felix, apa Tuanmu tidak menelponmu? Kenapa sampai sekarang dia tidak ada kabar? Apa benar tidak pulang? Aku ingin mengabark







