“Maaf, Bu, semalam saya tidak dengar Ibu panggil.” Khanza meminta maaf pada Lidya.
“Tidak apa-apa, Khanza. Salah saya juga karena sudah mengabari kamu kalau saya dan suami tidak jadi pulang, tapi tiba-tiba mas Rajendra di telfon sama klien. Kalau pagi ini mereka akan meeting jam 9, makanya kamu pulang lagi. Suami saya takut telat ketemu klien kalau menginap di sana.” Lidya tidak memarahi Khanza, karena dia tahu itu salah dia dan suaminya yang sudah lebih dulu mengabari Khanza.
Syukurnya semalam mereka bawa kunci cadangan, kalau tidak mereka pasti bakalan tidur di luar.
“Tapi tadi kata mas Rajendra mereka tidak jadi meeting,” ucap Lidya lagi.
Khanza hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian dia kembali ke dapur.
“Khanza tolong kamu buatkan kopi untuk mas Rajendra, ya? Nanti tolong kamu antar ke ruang kerjanya, dia lagi kerja di sana.” Lagi dan lagi Lidya meminta Khanza untuk sekedar buatkan kopi pagi untuk suaminya.
Lidya benar-benar lepas tangan untuk mengurus suaminya. Hal sekecil apapun dia serahkan pada Khanza, dia percayakan pada ART untuk mengurus suaminya.
“Tolong, ya, Za?” ucap Lidya.
“Baik, Bu.” Khanza langsung ke dapur dan menjalankan perintah dari Lidya. Ia buatkan segelas kopi panas untuk Rajendra.
Setelah itu dia mengantar kopi panas itu ke ruangan kerja Rajendra.
Tok tok tok!
Khanza mengetuk pintu ruangan kerja Rajendra. Hatinya berdegup kencang saat bertemu lelaki itu, apalagi ia teringat kembali kejadian semalam. Itu sangat memalukan dan membuatnya muak untuk bertemu Rajendra lagi. Tapi sayangnya, dia tidak bisa menghindar dari lelaki itu, karena semua kebutuhan lelaki itu dia yang mengurus semuanya.
“Masuk!” Suara Rajendra dari dalam ruangan mempersilahkan masuk.
Khanza perlahan membuka pintu dan melangkah kakinya masuk ke dalam ruangan itu.
“Selamat pagi, Pak. Saya diminta Bu Lidya membuat kopi untuk Bapak,” ucap Khanza.
“Taruh di sini saja,” kata Rajendra tanpa menoleh, matanya masih fokus pada pekerjaannya.
Khanza melangkahkan kakinya dan meletakkan gelas kopi di atas meja kerja Rajendra.
Rajendra mengangkat kepalanya dan menatap sekilas wanita di hadapannya lalu kembali fokus pada pekerjaanya.
“Tutup pintu, Khanza.” Rajendra mengulangi perkataannya meminta Khanza menutup pintu.
“Baik, Pak. Saya permisi,” ucap Khanza yang langsung meninggalkan ruangan lelaki itu. Tidak lupa ia mengunci pintu ruangan itu.
Prang!
Baru juga Khanza menutup pintu ruangan dan hendak melangkah kembali ke dapur, tiba-tiba terdengar suara seperti barang yang dibanting dengan sengaja.
“Khanza?” Tidak berselang lama namanya kembali dipanggil oleh Rajendra.
‘Kalau bukan karena kau sudah membantu uang pengobatan adikku, aku tak sudi bekerja di rumah ini.’ Khanza hanya bisa menggerutu dalam hati.
Khanza mencoba untuk tetap tidak mendengar suara apapun dari dalam sana. Ia melangkah cepat kembali ke dapur. Namun, sayangnya saat ia baru saja sampai di dapur Lidya menghampirinya dan memberitahunya kalau Rajendra memanggilnya.
“Khanza, kamu dipanggil sama mas Rajendra. Tolong ke ruangan dia, mungkin dia butuh bantuan kamu,” kata Lidya.
“Oh, iya, Khanza? Bilang juga ke mas Rajendra kalau aku sudah berangkat kerja, aku ada meeting sama atasan.”
“Baik, Bu.”
Khanza langsung kembali ke ruangan kerja Rajendra. Sedangkan Lidya, wanita itu langsung berangkat kerja dengan menggunakan mobilnya.
Khanza yang tadinya sudah berniat ke ruangan Rajendra, namun ia menghentikan langkah dan memastikan Lidya pergi dari sana. Setelah melihat mobil Lidya keluar dari halaman rumah, Khanza dengan cepat kembali ke dapur.
Dia tidak peduli dengan Rajendra yang memanggilnya. Wanita itu kembali menyibukkan dirinya dengan melanjutkan kegiatan masaknya yang sempat tertunda. Ia hanya takut, jika ia kembali masuk ke ruang kerja majikannya, mungkin hal lain bisa terjadi. Ia tidak ingin pekerjaannya sampai bermasalah karena sikap majikannya yang semakin aneh padanya dan terkesan melewati batas.
Mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang, Khanza hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu persis siapa yang datang dan kini berdiri di belakangnya.
Rajendra.
Pria itu tak langsung bicara. Ia hanya berdiri di sana, diam, seolah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya. Khanza tetap membelakangi, berusaha tenang walau perutnya terasa mual karena cemas.
Beberapa detik kemudian, Rajendra akhirnya melangkah masuk ke dapur. Khanza bisa merasakan kehadirannya makin dekat, tapi tak ada suara. Hanya udara yang mendadak terasa berat, seperti membawa beban yang tak kasatmata.
Akhirnya, Khanza membalikkan badan perlahan, memasang ekspresi datar.
“Bapak butuh sesuatu?” tanya Khanza hati-hati.
Rajendra tidak menjawab. Matanya menatap Khanza dengan sorot yang sulit dijelaskan. Tubuhnya tampak gelisah.
“Saya butuh kamu,” kata Rajendra akhirnya,membuat Khanza semakin kebingungan.
Sesaat kemudian, Rajendra bergerak mendekati Khanza, menyandarkan kedua tangannya di permukaan meja dapur di belakang Khanza, mengurung ruang geraknya tanpa benar-benar menyentuh.
Tapi tidak seperti biasanya. Sikapnya tidak sepenuhnya dominan, sebaliknya, terkesan ragu-ragu. Pandangannya tidak fokus, kadang memandangi wajah Khanza, lalu menunduk, seolah pikirannya sedang bertarung hebat.
“P—Pak, ada Ibu,” ucap Khanza dengan nada gemetar, mencoba menjaga jarak sebisa mungkin.
Rajendra hanya menggeleng pelan, masih tanpa sepatah kata. Ia tampak seperti ingin bicara, tapi menahan diri. Rahangnya mengeras, matanya sesekali memejam, lalu membuka lagi dengan pandangan kosong.
Khanza menelan ludah, merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang yang tak terlihat.
“Pak… tolong. Jangan begini,” bisiknya memohon.
Lagi-lagi Rajendra tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba memalingkan wajah dan melangkah mundur satu langkah, seperti sadar akan sesuatu.
Drtd drtd drtd!
Suara ponsel bergetar memecah keheningan. Rajendra langsung mengeluarkannya dan menjawab panggilan itu tanpa melihat Khanza lagi. Suaranya pelan tapi serius, dan ia berjalan pergi tanpa berkata apa-apa. Langkahnya terdengar menjauh menuju kamarnya.
Khanza berdiri terpaku. Udara di dadanya baru bisa masuk penuh saat suara pintu kamar tertutup. Ia menunduk, menggenggam ujung meja dapur erat-erat sambil mencoba menenangkan dirinya.
“Ya Allah, godaan yang hamba lewati sungguh sangat berat,” bisiknya lirih, hampir seperti isak tertahan.
Namun kali ini, bukan hanya karena takut, melainkan juga bingung. Ada sesuatu yang berbeda dari sikap Rajendra. Bukan hanya mengganggu, tapi juga menyimpan luka yang tak ia pahami.
Setelah beberapa menit, Khanza menarik napas panjang dan mencoba kembali bekerja, walau tangannya masih sedikit gemetar.
Beberapa saat kemudian, suara mobil terdengar dari luar. Khanza mengintip dari balik tirai, melihat Rajendra pergi tanpa bicara apa-apa.
Ia kembali duduk di meja dapur, menatap kosong ke arah kompor.
“Dok? Bagaimana keadaan Lita?” tanya Arga. “Maaf Pak, kami belum bisa memberikan yang terbaik,” jawab dokter dengan suara pelan. “Maksud, dokter?” tanya Arga semakin panik. “Kami tidak bisa—”“Tidak bisa apa, dok?” potong Arga yang terlihat semakin panik. “Dok? Adik saya tidak kenapa-kenapa, ‘kan?” Khanza juga terlihat panik. “Kami belum bisa memberikan yang terbaik, karena bisa saja pasien mengalami lupa ingatan,” jelas dokter. Mendengar perkataan dokter, Arga dan Khansa secara bersamaan menghela nafas panjang. Pikir mereka Lita tidak bisa diselamatkan, ternyata gadis itu hanya akan mengalami lupa ingatan. “Tapi Ibu dan Kapan tenang saja, karena ingatannya akan kembali sekitar 3 bulan. Jadi tidak perlu terlalu khawatir, sekarang kita tinggal menunggu pasiennya sadar.” “Iya, dok. Terima kasih banyak,” ucap Neli dan Rosa bersamaan. “Iya, sekarang Bapak dan Ibu sudah boleh masuk dan lihat pasien di dalam. Jika pasien sadar atau ada sesuatu yang terjadi dengan pasien, tolong ber
Arga sudah pulang dari kampung, akan tetapi ia tidak bertemu Lita. Bahkan saat ia sampai di kampung ia tanyakan juga pada tetangga, tapi kata tetangga Lita tidak pernah pulang kampung sejak mereka berobat ke kota. Sesampainya di kota, lelaki itu langsung ke kediaman Rajendra. Sayangnya saat ia baru tiba di sana, ia mendapatkan informasi dari ART, bahwa Lita mengalami kecelakaan maut dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Jadi, saat ini Rajendra dan yang lainnya di rumah sakit. Karena saat ini Lita dilarikan ke rumah sakit. Mendengar berita yang mengenaskan, Arga langsung melesat mobilnya meninggalkan kediaman Rajendra. Ia melesat mobilnya menuju rumah sakit. Pikirannya makin tidak tenang saat mendengar kabar Lita mengalami kecelakaan maut. Arga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Di posisi lain, tepatnya di rumah sakit. Khanza dan Neli tidak bisa menahan tangis saat melihat kondisi Lita yang sangat parah. Wajah dan tubuh gadis itu berlumuran darah.Rajendra dan Rosa teru
Lita sudah kemas semua pakaiannya. Dia sudah putuskan untuk kembali ke kota. Dia tidak mau buat Khanza kecewa lagi hanya karena kebodohan dirinya. Di luar sudah ada taksi yang sudah menunggunya. Setelah berpakaian rapi dan bersiap diri untuk pulang. Lita bergegas keluar dari kamarnya sambil mendorong kopernya. Di ruang keluarga ada Khanza dan Rajendra. Pasangan suami istri itu terkejut melihat Lita keluar dari kamar sambil mendorong koper dan juga menenteng tas ransel. Lita meletakkan kopernya, lalu ia menghampiri Khanza dan Rajendra. Ia akan berpamitan pada Khanza dan Rajendra. Gadis itu masih tetap tersenyum walaupun matanya masih bengkak karena menangis semalaman. “Kamu mau kemana? Kenapa bawa koper?” tanya Rajendra. “Lita pamit. Lita mau balik ke kampung,” jawab Lita sambil tersenyum. Menyembunyikan rasa sakit dan sedihnya. Ia tidak hanya tersenyum pada Rajendra, tapi juga pada Khanza. “Kak? Lita pamit ya,” ucap Lita pada Khanza. Khanza tidak menjawab. Ia diam dengan mata
Plak!Plak! Lita begitu syok, dia baru saja pulang jalan-jalan bersama Arga, tapi disambut oleh Kakaknya dengan menamparnya.“Kak—”“Kau itu masih kecil, Dek! Kenapa kamu sudah melakukan dosa yang sama seperti Kakak?!” ucap Khanza memotong ucapan Lita. Mendengar suara Khanza yang menggelegar, Rajendra berlari keluar dari kamar dan ia terkejut melihat istrinya yang memarahi Lita. Rajendra mendekati Khanza, namun ia dikejutkan tamparan keras istrinya itu pada adik iparnya. Plak! Tamparan kembali mendarat sempurna di pipi Lita. Lita hanya diam dengan mata yang lekat menatap Kakaknya yang saat ini sedang memarahinya. Rajendra tidak bisa melakukan apapun, karena kalau dia membela Lita, sudah pasti dia juga yang dimarahi dan dipersalahkan oleh istrinya itu. “Kakak pikir kamu tidak akan jadi gadis yang rusak, tapi kamu sama dosanya dengan Kakak!” “Kakak merasa gagal jadi seorang kakak jagain Adiknya,” ucap Khanza lagi. Amarahnya membludak saat Rajendra mengatakan kalau adiknya itu sud
“Ayo, kita bisa membuktikannya di kamar kamu. Atau bisa juga kita coba di mobil saya,” bisik Arga lagi dan tentunya membuat Lita tak bisa berkutik. Melihat Lita yang tidak bisa berkutik, Arga tersenyum. “Lain kali jangan menantang saya, kalau sudah pernah saya buat kewalahan.”Arga tersenyum dengan dada yang berdebar kencang. Ditambah lagi gejolak dalam dirinya. Lita benar-benar menguji keimanannya. Gadis itu benar-benar nakal dan keras kepala. “Atau kamu mau coba disini?” bisik Arga lagi. Lita yang tidak kuat lagi dan takut dilihat oleh Rajendra dan Khanza, ia pun menggigit kuat lengan kekar lelaki itu. Tapi semakin dia berontak dan berusaha gigit lelaki itu justru semakin mengeratkan melingkar tangannya di pinggangnya. “Mau coba disini juga boleh banget. Saya juga mau coba hal baru yang mungkin lebih menyenangkan,” ucap Arga. Mendengar itu, Lita la langsung memasang raut wajah masam dan memanyunkan bibirnya. “Apaan sih? Lepaskan saya!” ujar Lita kesal. Arga terkekeh. Ia tah
Lidya duduk di ruangan istirahat para karyawan cleaning servis. Wanita itu duduk dengan kedua tangan menopang dagunya. Saat ini yang istirahat hanya dia, sedangkan yang lain sudah kembali menjalankan tugas mereka. Semenjak benar-benar pisah dari Rajendra dan tidak berurusan lagi dengan kedua orang tuanya, Lidya terlihat lebih diam dan tubuhnya juga terlihat kurus. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria. Sekarang yang memperhatikan dirinya adalah Rangga. Walaupun pernah memarahi dan mengancam wanita itu, Rangga masih berbaik hati padanya dengan memberikan pekerjaan dan juga memberikan jam istirahat yang lebih dari karyawan lain. Bahkan lelaki itu juga sering belikan makan siang untuk Lidya. Seperti saat ini lelaki itu keluar dari ruangannya dan berjalan menuju ruang istirahat cleaning servis. Ia samperin Lidya yang duduk sendirian di ruangan itu. Melihat Lidya yang duduk dengan kedua tangan menopang dagu dengan tatapan kosong, Rangga pun menghampiri dan ikut duduk di samping Lidy