เข้าสู่ระบบMata Rara melotot ketika merasakan sapuan bibir Jefri di bibirnya. Ia bingung untuk bereaksi sehingga hanya mengatupkan bibirnya rapat.
Biasanya, dalam keadaan seperti ini, Satrio akan menggigit bibirnya kencang hingga ia terpaksa membukanya dan Satrio bisa melakukan ciuman lebih dalam yang terasa kasar baginya. Jantung Rara berdebar kencang, merasakan kekhawatiran kuat kalau Jefri akan melakukan hal yang sama.
Mata Rara semakin membulat ketika merasakan lidah Jefri menyapu bibirnya. Sapuan yang terasa begitu lembut dan tidak terburu-buru, meski Jefri semakin menekan bibirnya sekarang.
Gawat, ini membuat tubuhnya melemah!
Rara menutup matanya dengan alis bertaut kencang ketika sapuan lidah Jefri semakin intens. Seolah dia tengah merayu Rara untuk membuka mulutnya. Tangan gemetar Rara mencengkram bahu Jefri dan perlahan membuka mulutnya ..
KRUYUK!
Lidah Jefri seketika berhenti. Pria itu memundurkan kepalanya dan melihat wajah merah padam Rara. Ia seketika mendengus geli dengan seringai di wajahnya.
“Timingnya nggak pas, ya?”
Wajah Rara semakin memerah. Ia mengalihkan pandangan dari Jefri yang bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Jantungnya masih berdebar kencang sepeninggalan Jefri.
Gila, gila! Selama ini dia selalu merasa ketakutan tiap berciuman dengan Satrio, tapi apa tadi?!
Kenapa dia merasa berdebar dan gugup dan … ingin lebih lama?
“Ayo masuk, Ra,”
Rara seketika terlonjak mendengar suara Jefri, “I-iya, om!”
Perempuan itu segera mengikuti langkah Jefri yang sudah lebih dulu masuk. Pria paruh baya itu segera melipir ke dapur.
“Maaf, di sini cuma ada mie instan aja,” ucap Jefri penuh sesal. Rara menggeleng, “Nggak apa-apa, om! Aku suka kok!”
Jefri mendengus geli. Tangannya mulai mengambil bungkus mie dan menyiapkan makanan tersebut. Rara berjalan mendekat.
“Perlu saya bantu gak, om?”
“Duduk aja,” suruh Jefri tanpa menatap sahabat anaknya itu, “Di sini sempit. Kamu cuma ngehalangin,”
Rara seketika manyun. Om Jefri ini memang kadang ngomong suka gak ada filternya!
Ia kemudian menjauh dari dapur dan duduk di sofa ruang tengah. Merasa bingung untuk melakukan apa, Rara akhirnya menyalakan ponselnya.
Ada puluhan bahkan ratusan notifikasi sms dan telepon dari Satrio. Isi smsnya beragam, mulai dari ancaman, guilt trip, makian, dan berbagai pesan tidak mengenakkan lainnya. Meski begitu, ada satu pesan yang membuat tubuh Rara menegang.
Pesan tersebut berbunyi: “Kamu pasti bakal balik sama aku lagi, Ra. Liat aja nanti.”
Rara menghela napas. Kepalanya jadi berdenyut pusing karena pesan itu. Rara menatap kembali notifikasi ponselnya dan melihat beberapa pesan khawatir dari Hani.
Rara tersenyum dan membalas pesan-pesan sahabatnya, meyakinkan bahwa ia baik-baik saja dan sedang beristirahat sekarang.
“Kenapa senyum-senyum? Bukan karena Satrio, kan?”
Rara segera menoleh ke Jefri yang membawa dua piring mie instan. Ia menggeleng-geleng kencang.
“Nggaklah, om! Najis!” sungut Rara. Jefri menyeringai kecil. Ia menaruh dua piring tersebut di meja depan sofa.
Aroma mie instan yang memenuhi ruang tengah membuat perut Rara semakin berbunyi. Ia meringis ke Jefri yang menatapnya geli lalu mulai menyantap mie di piring.
“Makasih ya, om,”
Jefri hanya mengangguk pelan. Pria itu ikut menyantap mie di piring.
Setelah beberapa menit, keduanya selesai makan. Rara kali ini membantu Jefri untuk mencuci piring. Ia mengelap piring-piring yang sudah dicuci dan menaruhnya di rak piring.
“Om,”
“Hm?”
“Soal yang kemarin, yang diajarin,” Rara menatap Jefri, “Om jadi mau?”
Jefri mematikan keran air dan mengelap tangannya dengan lap tangan. Ia menggantungkan kembali lap tersebut kemudian menatap Rara. Pinggangnya disandarkan ke wastafel dan tangannya bersedekap.
“Kamu sendiri udah siap?” tanya Jefri dengan alis terangkat, “Kemarin bukannya masih takut?”
“Udah nggak!” Rara menggeleng kencang, “Aku siap 100 persen sekarang!”
Jefri tertawa pelan.”Kalau gitu, ayo,” ucapnya lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan keluar dapur.
Rara mengerutkan alisnya, merasa bingung dengan maksud Jefri. Ia berjalan mengikuti Jefri dan seketika terhenti ketika pria itu berhenti di depan kamar kemarin.
Jefri membuka pintu dan masuk ke ke dalam kamar. Rara menelan ludah. Jantungnya kembali berdebar kencang. Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam kamar.
“Tutup pintunya,” titah Jefri yang segera dipatuhi Rara. Jefri kemudian menelengkan kepalanya ke arah kasur.
“Duduk di kasur,”
Rara menurut tanpa sepatah kata pun. Ia sudah kelimpungan dengan jantungnya yang berdebar semakin kencang sekarang. Ingatan kejadian tadi pun tak berhenti membanjiri pikirannya.
Rara duduk di pinggir kasur. Wajahnya tegang ketika Jefri mendekat dan menaruh kedua tangannya di kanan-kiri Rara yang membuat perempuan itu terkurung.
“... Om?”
“Kamu tadi bilang udah siap, kan?”
Rara mengangguk ragu membuat Jefri menyeringai lebar.
“Ayo kita lanjutin yang tadi,”
Mata Rara melotot ketika merasakan sapuan bibir Jefri di bibirnya. Ia bingung untuk bereaksi sehingga hanya mengatupkan bibirnya rapat.Biasanya, dalam keadaan seperti ini, Satrio akan menggigit bibirnya kencang hingga ia terpaksa membukanya dan Satrio bisa melakukan ciuman lebih dalam yang terasa kasar baginya. Jantung Rara berdebar kencang, merasakan kekhawatiran kuat kalau Jefri akan melakukan hal yang sama. Mata Rara semakin membulat ketika merasakan lidah Jefri menyapu bibirnya. Sapuan yang terasa begitu lembut dan tidak terburu-buru, meski Jefri semakin menekan bibirnya sekarang. Gawat, ini membuat tubuhnya melemah! Rara menutup matanya dengan alis bertaut kencang ketika sapuan lidah Jefri semakin intens. Seolah dia tengah merayu Rara untuk membuka mulutnya. Tangan gemetar Rara mencengkram bahu Jefri dan perlahan membuka mulutnya ..KRUYUK!Lidah Jefri seketika berhenti. Pria itu memundurkan kepalanya dan melihat wajah merah padam Rara. Ia seketika mendengus geli dengan serin
“Satrio! Dasar gila!”Hani segera bangkit dan mendorong tubuh Satrio hingga jambakannya di rambut Rara terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah dengan napas menggebu, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. “Wanita ular itu kan yang nyuruh kamu begini?! Nolak aku terus-terusan! Ngehindar terus!”“Masih belum sadar juga?!” Hani menggeram dan hendak bergerak mendekati Satrio. Tapi, Rara buru-buru menahan pundak Hani. “Lepasin, Ra! Dia harus dipukul minimal sekali!”Rara menggeleng-geleng panik. Semua pengunjung sudah melihat mereka, tentu saja ia tidak bisa membiarkan Hani sang putri dari keluarga terhormat, melakukan tindakan yang mencoreng nama baiknya itu. Meskipun Hani melakukan hal yang benar sekarang, tapi para pengunjung yang tidak mengerti konteksnya bisa salah paham dengan keadaan sekarang!“Biar aku yang ngomong,” ucap Rara menenangkan, “Nggak papa. Kan kamu juga ngawasin aku,”Hani ingin membentah, tapi melihat tekad di mata Rara meski gadis itu gemetar meluruhkan a
Rara memejamkan mata ketika wajah Jefri mendekat. Tubuhnya gemetar. Sungguh, melihat Jefri sekarang sangat membuatnya takut! Tidak hanya karena merasa semua ini salah, ia juga teringat dengan Satrio ketika mereka akan berhubungan intim Rara sudah hendak menangis dan pasrah pada keadaannya ketika tiba-tiba ..CTAK! “Aw!”… Jefri menyentil dahinya. Rara seketika membuka mata. Ia melihat Jefri mendengus geli kepadanya dan beranjak berdiri. “Padahal kamu yang ajak, tapi kamu juga yang gemetaran,” ejek Jefri. Rara seketika manyun, “Padahal sebelumnya aku udah klarifikasi terus–!”“Kamu takut kan, Ra?”Rara terdiam. Ia memerhatikan Jefri yang duduk di sebrangnya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. “Kamu keinget Satrio tadi, kan?”Rara menundukkan kepala. Ia tak bisa membantah ucapan Jefri karena nyatanya memang begitu. Berhubungan intim menjadi hal yang menakutkan bagi Rara karena perlakuan kejam Satrio padanya. “Kalau kamu emang beneran mau dibantu, kamu harus putusin dia dulu,
Rara duduk dengan tegang di sebelah Jefri. Ia menelan ludah gugup lalu melirik pria paruh baya di sebelahnya. Wajah pria itu masih mengeras sedari awal. Tatapan matanya yang biasanya lembut kini terlihat tajam, membuat Rara ketakutan. Ugh, dia jadi teringat dengan kejadian semalam. Bisa-bisanya dia berkata hal memalukan seperti itu ke ayah sahabatnya sendiri!“Om, yang semalem maaf ya–”“Itu pacar kamu?”Rara tersentak mendengar pertanyaan Jefri. Ia membuang pandangan, menundukkan kepala, dan mengangguk pelan. Jefri yang melihat gerak-gerik Rara menghela napas kencang. Pegangannya di kemudi semakin kencang. “Anak zaman sekarang bener-bener ya,” gumam Jefri kesal, “Apa dia selalu begitu tiap sama kamu?”“Awalnya enggak, tapi sejak tahun kedua jadi begitu,”Jefri ber-hm singkat mendengar jawaban itu. Rara menggigit bibir pelan lalu lanjut berkata lirih, “Saya sebenarnya bingung kenapa dia tiba-tiba berubah begitu,”Mata Rara berkaca-kaca, “Apa saya banyak kekurangannya makanya dia ja
“Apa?”“Iya! Om ajarin aku gimana berhubungan intim yang baik itu! Jadi, aku bisa bilang ke Satrio biar dia bisa baik-baik juga!”“Tunggu-tunggu,” Jefri menggelengkan kepala, “Daripada kamu berusaha nyadarin dia, mending kamu putusin dia aja,”“Nggak bisa, om!” Rara berteriak frustasi, “Aku udah coba selama dua tahun ini, tapi tiap kali minta, Satrio pasti bakal lebih gila lagi! Aku udah nggak sanggup hadapinnya lagi!”Rara meremas pergelangan tangan Jefri erat-erat, “Jadi om bantuin aku, ya? Jelasin ke aku semuanya langsung biar aku bisa ajarin Satrio juga!”“Kamu mabuk, Ra,” Jefri mengibaskan tangannya yang digenggam Rara kemudian beranjak berdiri sambil mengeluarkan ponselnya. “Saya telepon Hani,”“Om! Please, om!”Rara ikut berdiri dan mengekori langkah Jefri yang terburu-buru, “Aku cuma minta ini doang, om. Setelah itu, aku bakal menghilang dari hidup om beneran, deh! Aku sembunyiin semuanya jadi nama om tetep baik terus kalau ketahuan aku siap tanggung–”DUK! Kepala Rara terant
“Ra, bibir kamu luka kenapa itu?”Rara tersentak kaget mendengar pertanyaan Hani, sahabatnya sejak masih kecil. Ia buru-buru menutupi luka di bibirnya dengan tangan dan berkata canggung, “Nggak kenapa-kenapa, kok! Ini tadi ada kulit terkelupas aja.”Hani menatapnya curiga. Ia memandang sekelilingnya yang ramai kemudian berbisik di telinga Rara, “Karena Satrio, ya?”Rara seketika menegang. Ia buru-buru menggeleng. “Mana ada. Aku kan nggak ketemu dia hari ini. Sibuk nyari hadiah ulang tahun buat sahabat aku ini!” ucap Rara kemudian tertawa-tawa sumbang. Jawaban Rara tidak mengendurkan tatapan curiga Hani. Malah, wajah gadis itu semakin mengeras. Tapi, ia akhirnya menghela napas pasrah. Toh, tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Rara dalam menyimpan masalahnya sendiri. “Yaudah, nikmatin pestanya, ya. Kalau pengin sesuatu, kabarin aja,” ucap Hani akhirnya sambil menepuk-nepuk bahu Rara. Rara tersenyum lebar. Ia mengangguk-anggukkan kepala. “Selamat ulang tahun ya, Han. Hadiah







