Beranda / Romansa / Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK / ​BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor Lima

Share

Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK
Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK
Penulis: Tinta Senyap

​BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor Lima

Penulis: Tinta Senyap
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-04 08:05:47

​Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.

​Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".

​Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas.

​"Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."

​Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung.

​"Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak.

​"Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungnya abis loh!" teriak Siska tanpa curiga.

​Soraya cuma mengangguk, lalu berjalan cepat menjauh dari cahaya lampu posko. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada rantai besi yang menyeretnya menuju neraka. Dia merapatkan jaket almamater kebanggaannya, mencoba menahan rasa takut yang campur aduk jadi satu.

​Di ujung gang yang gelap gulita, di bawah rimbunnya pohon beringin tua, sebuah sedan hitam mengkilap sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Di samping mobil, berdiri sosok Dr. Subagyo. Dekan Fakultas yang biasanya tampil berwibawa di mimbar kampus, malam ini terlihat seperti serigala kelaparan. Rokok di tangannya menyala merah di kegelapan.

​Begitu Soraya sampai, Subagyo langsung membuang rokoknya dan menginjaknya dengan sepatu kulit mahalnya. Tanpa basa-basi, tangan besarnya langsung menyambar pinggang ramping Soraya, menarik tubuh kecil itu dengan sentakan kuat sampai menempel erat ke perut buncitnya.

​"Bapak... tolong jangan di sini, nanti ada warga yang liat," bisik Soraya ketakutan, matanya liar melihat sekeliling.

​"Baiklah kita cari penginapan dekat sini saja, sayang," bisik Subagyo di telinga Soraya. Napasnya yang bau tembakau menerpa leher jenjang gadis itu, membuat bulu kuduk Soraya meremang jijik. "Kamu wangi sekali malam ini... bikin saya nggak tahan."

​Tangan Subagyo mulai kurang ajar. Dia meremas pantat Soraya dengan kuat dan kasar, seolah sedang memeriksa kualitas barang dagangan.

​"Mmmh..." Soraya menggigit bibir, menahan suara. Dia pasrah. Dia cuma diam seperti boneka rusak saat tangan tua itu mulai menjajah tubuhnya di tempat terbuka.

​Tanpa mereka sadari, sekitar sepuluh meter dari sana, Gilang berdiri mematung di balik tiang listrik. Pacar Soraya itu melotot tak percaya. Nafasnya tertahan di dada. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri: dosen yang dia hormati sedang meremas tubuh pacarnya, dan Soraya... Soraya tidak melawan sama sekali.

​Subagyo mendorong Soraya masuk ke kursi penumpang. Mobil itu meluncur pelan menembus jalan desa yang berbatu, menuju hotel melati "Asri". Hotel mesum di pinggir desa yang cuma punya sepuluh kamar.

​Gilang mengikuti mobil itu dengan sepeda motor bututnya, dadanya serasa mau meledak karena marah, bingung, dan hancur.

​Kamar Nomor 5

​Begitu pintu kamar terkunci, Subagyo tidak membuang waktu. Dia melepaskan jasnya sembarangan. Matanya merah, menatap Soraya dengan nafsu yang sudah di ubun-ubun.

​"Buka baju kamu. Semua," perintahnya dengan suara berat.

​Soraya berdiri kaku di samping ranjang besi tua itu. Tangannya gemetar saat membuka kancing kemejanya satu per satu. Jaket almamater jatuh ke lantai, disusul kemeja, lalu celana jeans. Dalam hitungan detik, Soraya berdiri tanpa helai benang, kulit putih mulusnya bersinar redup di bawah lampu kamar yang remang-remang.

​"Sini kamu, Sayang..." panggil Subagyo parau.

​Dia menarik pergelangan tangan Soraya kasar, melempar tubuh gadis itu ke atas kasur per yang berdecit nyaring. Ngiik!

​Subagyo langsung menindihnya. Berat tubuh pria tua itu membuat Soraya sesak napas. Subagyo mencium bibir Soraya dengan kasar, melumatnya tanpa perasaan seolah ingin memakan gadis itu hidup-hidup.

​"Ahhh... Pak..." Soraya mendesah tertahan saat tangan kasar Subagyo meremas payudaranya dengan gemas.

​Subagyo melepaskan ciumannya, menatap wajah Soraya yang memerah. "Jangan panggil Bapak," bisiknya di telinga Soraya, lalu lidahnya menjilat cuping telinga gadis itu, turun ke leher, membuat Soraya melenguh. "Di atas ranjang ini, panggil saya Tuan. Paham kamu?"

​"I-iya... Tuan..." jawab Soraya lirih, matanya terpejam menahan rasa hina.

​"Pinter," puji Subagyo. Tangannya makin liar menjelajah ke bawah, menyusup ke sela paha Soraya. "Basah sekali kamu, Soraya... Ternyata mulut kamu bilang enggak, tapi tubuh kamu jujur banget. Tubuh kamu kangen disentuh saya, kan?"

​"Aahhh!" Soraya mendongak saat jari jemari Subagyo bermain kasar di area sensitifnya.

​"Jangan bohong! Bilang kalau kamu suka!" paksa Subagyo. Dia mulai mengatur posisinya, siap menyatukan tubuh mereka. "Bilang, 'Saya mau punya Tuan Subagyo'!"

​"Saya... ahhh... s-saya mau punya Tuan..." desah Soraya terpaksa, air mata menggenang di sudut matanya.

​Subagyo menyeringai puas. Dia menghentakkan pinggulnya, menyatukan diri mereka dengan kasar. Ranjang tua itu berguncang hebat, menciptakan irama berisik yang memenuhi ruangan sempit itu.

​"Ahhh! Sakit... pelan-pelan..." rintih Soraya mencengkeram sprei kumal.

​"Ngapain pelan-pelan? Kita nggak punya banyak waktu!" Subagyo memacu gerakannya, makin cepat, makin dalam, makin liar. Keringat menetes dari dahinya jatuh ke dada Soraya. Napasnya memburu seperti banteng gila. "Kamu memang sempit banget, Soraya... Ahhh... rasanya beda sama istri saya yang sudah tua itu. Kamu masih kencang, masih enak..."

​"Ohhh... Tuan... ahhh..." Soraya mendesah keras, bukan karena nikmat cinta, tapi karena gesekan kasar yang dipaksakan. Dia membiarkan dirinya hanyut dalam sensasi fisik, mencoba mematikan hatinya.

​"Punya siapa tubuh enak ini, hah?!" racau Subagyo sambil menampar pelan pantat Soraya, menambah sensasi panas. "Jawab yang keras!"

​"Punya Tuan... ahhh! Tubuh Soraya punya Tuan Subagyo..." jerit Soraya di antara desahannya.

​Saat suasana makin memanas dan Subagyo mengerang panjang hendak mencapai puncaknya.

​BRAAAK!!!

​Pintu kayu kamar itu ditendang dari luar. Didobrak dan terbuka.

​Suara desahan dan derit ranjang seketika mati. Hening yang mencekam.

​Gilang berdiri di ambang pintu. Napasnya memburu, bajunya basah kuyup oleh keringat, matanya merah menyala seperti orang kesurupan. Pemandangan di depannya membuat jantungnya berhenti berdetak. Pacar yang dia puja setengah mati, kini telanjang bulat, mengangkang dibawah kungkungan dosen tua, basah oleh keringat dosa.

​Soraya menjerit histeris, refleks menarik selimut tipis untuk menutupi tubuhnya yang penuh bercak merah. Subagyo kaget setengah mati, buru-buru duduk dan menutupi bagian vitalnya dengan bantal. Wajahnya yang tadi penuh nafsu birahi langsung berubah jadi garang dan panik.

​"G-Gilang..." suara Soraya tercekat di tenggorokan, air mata langsung tumpah deras.

​"ANJING! BIADAB LO!" Gilang meraung. Suaranya pecah, menyayat hati. "Lo apain cewek gue, Bangsat! Dosen gila! Iblis!"

​Gilang menerjang maju, tangannya terkepal siap menghancurkan wajah Subagyo. Tapi Subagyo dengan cepat bangkit dan mundur. Meski setengah telanjang, aura kekuasaannya kembali muncul.

​"Berhenti di situ, Bocah!" bentak Subagyo keras. "Kalau kamu berani sentuh saya, atau bocorin kejadian ini ke satu orang saja, besok aku bisa hentikan beasiswa Soraya dan tidak akan membiayai pengobatan ibunya lagi!"

​Langkah Gilang terhenti mendadak. Kakinya lemas. Dia menatap Soraya, mencari pembelaan. "Soraya... bilang sama aku ini nggak bener... bilang dia perkosa kamu... kita lapor polisi sekarang..."

​Soraya mengangkat wajahnya yang basah dan berantakan. Matanya kosong, tak ada kehidupan. Dia menggeleng pelan. "Pergi, Gilang..." bisiknya lirih, suaranya gemetar hebat. "Tolong pergi. Jangan bikin semuanya makin hancur."

​"Tapi, sayang… aku mau nyelamatin kamu..." bujuk Gilang.

​"GUE BILANG PERGI!" jerit Soraya histeris, melempar bantal ke arah Gilang. "Lo nggak ngerti apa-apa! Lo nggak bisa kasih gue uang! Pergi!"

​Belum sempat Gilang menjawab, dua orang penjaga hotel berbadan kekar datang karena mendengar keributan. Tanpa ampun, mereka menyergap Gilang.

​"Lepasin gue! Bangsat! Lepasin!" Gilang meronta sekuat tenaga, tapi dia kalah jumlah. Dia diseret paksa keluar dari kamar neraka itu, meninggalkan jejak sepatu di lantai. Pintu kamar itu menutup pandangan Gilang. Hal terakhir yang dia lihat adalah punggung telanjang Subagyo yang kembali mendekati Soraya di atas kasur.

​Di dalam kamar, Soraya meringkuk seperti janin. Tangisannya pecah, meraung-raung menyakitkan. Saat tangan Subagyo kembali menyentuh bahunya dengan kasar menuntut kelanjutan, pikiran Soraya melayang jauh, terseret arus ingatan ke masa lalu, masa dimana neraka ini belum ada.

​Dua tahun yang lalu...

​Bayangan itu datang begitu jelas. Soraya teringat rumah gedongnya di kawasan elite Pondok Indah. Rumah dengan pilar-pilar marmer yang tinggi, kolam renang luas, dan garasi yang penuh mobil mewah. Dulu, Soraya adalah putri raja. Ayahnya, Pak Adhitama, selalu memanjakannya. Tas branded, liburan ke Eropa, pesta ulang tahun mewah di hotel bintang lima, semuanya tinggal tunjuk.

​"Apapun buat Putri Papa yang paling cantik," begitu kata Ayahnya dulu sambil memeluk Soraya.

​Tapi kebahagiaan itu rapuh seperti kaca. Suatu sore yang kelabu, segerombolan orang berbadan besar datang menggedor gerbang rumah. Debt collector. Ternyata perusahaan Ayah sudah lama kolaps karena ditipu rekan bisnis. Utang menumpuk di mana-mana.

​Hari itu juga, rumah disita bank. Mobil-mobil ditarik paksa. Di tengah kekacauan itu, Ayah memegang dada kirinya, wajahnya pucat pasi. Ayah ambruk di ruang tamu yang mulai kosong.

​"Pah! Papa kenapa?!" jerit Soraya histeris.

​Serangan jantung.

Ayah meninggal sebelum sempat sampai di rumah sakit. Raja di hidup Soraya pergi, meninggalkan utang dan kehancuran.

​Hidup Soraya berputar 180 derajat. Dari putri raja, jadi gembel kota. Dia, Ibu, dan Dimas terusir. Mereka pindah ke rumah kontrakan petak di gang sempit yang bau selokan. Soraya yang biasa tidur di kasur empuk ber-AC, kini tidur beralaskan tikar tipis, digigitin nyamuk.

​Ibu Wati, yang tak pernah hidup susah, syok berat. Fisiknya drop drastis. Sampai suatu malam, Ibu muntah darah dan pingsan.

​Di lorong rumah sakit umum yang dingin dan bau obat, dokter memvonis kalimat yang mematikan harapan Soraya: "Ibu Anda gagal ginjal stadium akhir. Harus cuci darah rutin seumur hidup. Biaya tindakan awal dan obat-obatan malam ini lima puluh juta. Harus lunas sekarang atau kami tidak bisa bantu."dua puluh juta. Dulu itu harga satu tas Soraya. Sekarang, uang segitu rasanya mustahil didapat. Soraya bingung, panik, dan takut. Dia menghubungi semua teman kayanya, tapi mereka semua menghindar, pura-pura tidak kenal.

​Saat Soraya duduk menangis di lantai RS, putus asa memikirkan cara mendapatkan uang, sosok itu datang. Dr. Subagyo. Dia tersenyum, bukan senyum kasihan, tapi senyum seorang pedagang yang melihat barang bagus.

​"Saya dengar kesulitanmu, Soraya," ucapnya pelan. Matanya tidak menatap wajah Soraya, tapi menelusuri lekuk tubuh Soraya yang masih terbalut baju lusuh. "Saya bisa lunasi semuanya. Sekarang juga. Tapi... ada harganya."

​Malam itu, Soraya sadar. Dia tidak punya apa-apa lagi selain tubuhnya. Dan demi nafas Ibunya, dia rela menjual satu-satunya harta yang tersisa itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 6: Kursi Bus Bersebelahan

    ​Mesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. ​Hanya berjarak lima sentimeter. ​Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. ​Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. ​Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 5: Tatapan Membunuh

    ​Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. ​Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. ​"Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." ​Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. ​Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 4: Kopi Pahit di Posko

    ​Aroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. ​Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. ​"Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" ​Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. ​"Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 3: Matahari Pagi yang Menusuk

    ​Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. ​Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. ​Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. ​Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. ​"Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. ​Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." ​"Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   BAB 2: Hujan yang Tak Kunjung Reda

    ​​Suara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. ​Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. ​Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. ​"Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. ​"Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." ​Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" ​Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor Lima

    ​Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.​Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".​Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas.​"Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."​Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung.​"Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak.​"Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status