FAZER LOGIN"Mas Reino?"
Nessa terdiam menatap suaminya yang kini berdiri dihadapannya. Ia tampak gugup seperti pertama kali bertemu, bahkan lidahnya pun terasa kelu.
"Apa yang kamu lakukan di apartemen ini? Bersama Pak Thomas?" tanya Reino dengan mata penuh selidik dan rasa curiga.
"A—aku... Aku sama Bima," jawab Nessa yang tampak gugup.
"Bima? Tapi untuk apa kamu kemari? Apa yang sudah Bima janjikan?" cecar Reino.
Nessa menghela nafas kasarnya, ia meminimalisir perasaan gugup yang sejak tadi menyergap. Ia tak ingin sampai Reino berfikiran macam-macam tentangnya.
"Awalnya aku dikejar tiga pria asing bertubuh kekar, lalu tiba-tiba Bima menolongku, dan dia membawaku ke apartemennya ini," ujar Nessa berusaha menjelaskan dengan jujur.
"Apartemennya? Apartemen ini milik, Pak Thomas," ujar Reino seraya menunjuk kearah Thomas.
Manik mata Nessa membulat sempurna. Ia menatap Thomas dengan penuh kebingungan. Ia masih ingat betul bagaimana Bima memperkenalkan Thomas sebagai pengawal pribadinya. Namun sekarang, Reino justru berkata bahwa apartemen mewah ini adalah milik Thomas.
Pikiran Nessa mulai kacau. Dua informasi yang bertentangan membuatnya sulit menentukan siapa yang benar? Dan siapa yang harus ia percayai, Bima atau Reino?
"Tapi, Bima bilang kalau Thomas itu pengawal pribadinya," protes Nessa, berusaha mempertahankan sedikit kepastian yang tersisa di kepalanya.
Reino malah tertawa kecil. Suaranya terdengar seolah ia tengah menertawakan kepolosan Nessa. "Bima berhasil menipumu, meski dia adik kandungku tapi nasib kita jauh berbeda, aku CEO Evoque sementara Bima cuma seorang supir, dan Pak Thomas ini atasan Bima, berani-beraninya dia mengaku-ngaku pemilik apartemen mewah ini."
Ucapan Reino membuat tubuh Nessa terasa dingin. Ia terkejut sekaligus bingung. Jika benar yang dikatakan Reino, berarti Bima sengaja membohonginya sejak awal. Namun ada sesuatu dalam cara Reino berbicara yang membuat Nessa tidak sepenuhnya yakin.
Nessa menatap Thomas. Ia mencari jawaban dari raut wajah pria itu. Namun Thomas hanya berdiri dengan ekspresi sulit dibaca, seakan memilih diam agar tidak ikut terseret dalam ketegangan itu.
"Thomas, jadi sebenarnya kau atau Bima pemilik apartemen ini?" tanya Nessa.
Thomas melirik sejenak kearah Reino sebelum pada akhirnya ia menjawab pertanyaan Nessa.
"Reino benar, aku pemilik apartemen ini. Saat di dalam aku dan Bima hanya sedang bercanda," jawab Thomas.
Jawaban itu tidak serta merta menenangkan hati Nessa. Ada bagian dari penjelasan Thomas yang terasa tidak pas.
"Kalau begitu… kenapa Bima menyuruhmu mengantarku pulang?" tanya Nessa lagi. Ia menatap Thomas lebih tajam, berusaha menemukan celah.
"Karena aku tahu kau istri Pak Reino. Sementara Bima sedang mendapat tugas khusus yang harus ia selesaikan," jawab Thomas tanpa banyak penjelasan tambahan.
Nessa terdiam. Penjelasan itu terdengar logis, tapi tetap saja ada perasaan janggal yang tidak bisa ia abaikan. Ia mengingat kembali bagaimana Bima bersikap, dan betapa wajar semua ucapannya terdengar. Tidak ada getaran kebohongan sedikit pun.
Namun sekarang, semua orang seolah memiliki versi masing-masing tentang kebenaran. Dan ia tidak tahu siapa yang harus dipercaya.
Akhirnya, Nessa memilih mengikuti Reino. Mereka meninggalkan apartemen itu, tetapi bukan ketenangan yang ia bawa pulang. Yang tertinggal hanyalah tumpukan tanya yang semakin menekan pikiran dan perasaannya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Nessa maupun Reino. Mobil terasa sunyi, hanya suara mesin yang menemani. Nessa duduk memandangi jendela, pikirannya dipenuhi kebingungan yang sejak tadi tidak mau pergi. Ia bahkan sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Reino di sisi lain tampak sibuk dengan ponselnya. Jarinya terus bergerak dan ia sama sekali tidak menunjukkan niat untuk mengajak istrinya bicara. Bukan hanya diam, sikapnya terasa seperti tidak peduli bahwa Nessa ada di sampingnya.
Nessa melirik pelan ke arah suaminya. Senyum tipis terlihat mengembang di wajah Reino, sementara matanya menatap serius layar ponsel yang ia genggam. Nessa semakin bingung. Apa yang membuat suaminya tersenyum seperti itu? Kenapa perhatian Reino justru tertuju pada sesuatu di ponsel, bukan padanya?
Perasaan itu membuat dada Nessa sedikit sesak. Ia merasa seperti tidak memiliki ruang sama sekali dalam hidup Reino.
"Mas serius sekali. Mas lihat apa sih?" akhirnya Nessa bersuara, mencoba memecah hening.
Reino langsung menoleh sebentar. "Ah ini," ujarnya ringan. "Aku buka sosmed, nggak sengaja lihat foto kontes bayi. Lucu ya?" Ia memperlihatkan layar ponselnya pada Nessa, masih dengan senyum yang tadi membuat Nessa bertanya-tanya.
Nessa bisa melihat dengan jelas foto bayi laki-laki, yang sangat lucu menggemaskan, memakai kostum anak ayam. Nessa ikut tersenyum lebar, langsung terbayangkan bagaimana jika ia mempunyai putra yang sangat lucu.
''Lucu banget, Mas. Aku jadi pengen punya anak laki-laki,'' celetuk Nessa.
Senyum diwajah Reino mendadak memudar, ponsel ditangannya seketika langsung dimasukan kedalam saku. Nessa ikut terdiam memperhatikan perubahan ekspresi pada waja suaminya.
''Bayi itu memang lucu, tapi aku rasa... aku belum siap untuk mempunyai anak,'' ujar Reino.
Kedua alis Nessa terangkat keatas, ia benar-benar terkejut mendengar ucapan Reino, ''Kenapa, Mas? Apa yang membuatmu belum siap? Usiamu sudah tiga puluh tujuh dan aku tiga puluh tahun, jadi sudah sepantasnya kita mempunyai anak,'' ujar Nessa dengan bibir bergetar dan manik mata yang tampak berkaca-kaca.
Tengah malam, suara mobil yang berhenti di halaman membuat Nessa langsung terbangun. Ia bangkit dengan cepat dan menyingkap tirai. ternyata suara mobil itu milik Reino yang baru saja pulang.Perasaan Nessa langsung berubah panas. Ia merapikan rambutnya, lalu mengambil kemeja oversize yang jatuh longgar di tubuhnya. Ia juga membuka beberapa kancing bagian atas sengaja untuk menggoda. Ia ingin membuat Reino memperhatikan dirinya, bukan sekadar lewat dan tidur begitu saja.Nessa berdiri di depan cermin sebentar, memastikan tampilannya pas. Tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat siapa pun menahan napas.Langkah kaki Reino pun mulai terdengar mendekat di lorong, lalupintu kamar terbuka.Ceklek.Reino muncul dengan wajah yang hampir ambruk karena lelah. Meski begitu, matanya sempat terpaku pada penampilan Nessa.Nessa mendekat, membantu meletakkan tas kerja Reino di meja dan menggantung jasnya dengan rapi. Ia beberapa kali memberikan perhatian kecil, menyentuh lengan suaminya, berhara
Nessa masuk melangkah cepat ke kamar, tanpa mempedulikan Reino yang masih berada di dalam mobil. Ucapan Reino perihal ingin menunda momongan, membuat Nessa merasa sedikit sakit hati. Padahal tujuan utama pernikahannya ingin segera memiliki seorang anak, namun keinginannya bertentangan dengan kenginan Reino.''Nessa, ayolah… kamu jangan kekanak-kanakan. Cuma karena aku ingin menunda punya anak, kamu langsung merajuk seperti ini?” suara Reino meninggi, mencoba terdengar tegas padahal jelas ia sedang kehilangan kesabaran.''Aku kekanak-kanakan? Justru Mas Reino yang aneh, malam pertama kita, Mas Reino kerja aku maklumi, sekarang Mas Reino minta untuk menunda punya anak, apa harus aku turuti juga? Harus aku maklumi juga?'' cerocos Nessa yang mulai meledak emosinya.Reino menyisir rambutnya secara kasar, tarikan napasnya begitu berat. ''Nessa, aku lagi nggak mau ribut.''''Tapi aku mau kejelasan, Mas!'' Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah.Alih-alih menenangkan, Reino justru meraih tas
"Mas Reino?"Nessa terdiam menatap suaminya yang kini berdiri dihadapannya. Ia tampak gugup seperti pertama kali bertemu, bahkan lidahnya pun terasa kelu."Apa yang kamu lakukan di apartemen ini? Bersama Pak Thomas?" tanya Reino dengan mata penuh selidik dan rasa curiga."A—aku... Aku sama Bima," jawab Nessa yang tampak gugup."Bima? Tapi untuk apa kamu kemari? Apa yang sudah Bima janjikan?" cecar Reino.Nessa menghela nafas kasarnya, ia meminimalisir perasaan gugup yang sejak tadi menyergap. Ia tak ingin sampai Reino berfikiran macam-macam tentangnya."Awalnya aku dikejar tiga pria asing bertubuh kekar, lalu tiba-tiba Bima menolongku, dan dia membawaku ke apartemennya ini," ujar Nessa berusaha menjelaskan dengan jujur."Apartemennya? Apartemen ini milik, Pak Thomas," ujar Reino seraya menunjuk kearah Thomas.Manik mata Nessa membulat sempurna. Ia menatap Thomas dengan penuh kebingungan. Ia masih ingat betul bagaimana Bima memperkenalkan Thomas sebagai pengawal pribadinya. Namun sekar
''Apa mereka tahu apartemenmu ini?'' tanya Nessa yang tampak panik.Bima menggeleng pelan, buru-buru, ia mengintip dari celah lubang pintu yang dibuat khusus. Nessa yang semakin panik lantas bersembunyi dibelakang Bima dari jarak yang cukup jauh. Ia masih trauma dengan ketiga pria bertubuh kekar itu,Saat pintu mulai terbuka, tampak berdiri seorang pria bersetelan jas hitam berdiri tegak di depan pintu. Bima menghela nafas kasarnya saat tahu pria yang ada dihadapannya ialah pengawal pribadinya.''Kau rupanya? Apa ada kabar penting hari ini?'' tanya Bima.Belum sempat pengawal pribadi bima menjawab, Nessa maju kedepan menggeser pelan tubuh Bima, menatap wajah pengawal serta Bima secara bergantian.''Siapa dia? Akrab sekali rupanya? Jangan-jangan dia bos dari ketiga pria itu,'' ujar Nessa yang langsung menyerang dengan tuduhan.''Dia Thomas, pengawalku, kau tunggu saja didalam,'' titah Bima.Nessa kembali masuk, rasa nyeri di lutut membuatnya tak bisa untuk terlalu lama berdiri. Ia lant
''Bima?''Nessa tercengang saat tahu pria yang sejak tadi menutupi wajahnya dengan masker hitam itu ternyata Bima. Ia tak menyangka akan bertemu Bima, ia juga bingung dengan penampilan Bima yang terkesan sangat misteriusBima terus menatap Nessa tanpa berkedip sedikitpun. Bima merasa ada yang berbeda dari Nessa."Kau sedikit lebih lumayan tanpa kacamata,'' Celetuk Bima.Nessa memundurkan tubuhnya yang dirasa terlalu dekat, ''K...kamu sedang apa di tempat ini? Kenapa juga pakai masker?"Bima menghela nafas kasarnya, lalu tak sengaja manik matanya melihat luka yang cukup parah di salah satu lutut Nessa.''Lututmu berdarah, sebaiknya segera diobati,'' ujar Bima.Nessa menundukan kepalanya melihat kearah lututnya yang memang benar ada luka disana. Karena terlalu panik dan takut hingga ia tak merasakan rasa sakit dari luka itu.Nessa lantas keluar dari gang sempit itu hendak kembali mencari taksi, tapi Bima menarik lengan Nessa, agar berjalan melewati jalan pintas.''Kalau kau kembali ke
Manik mata Nessa melebar. Jantungnya serasa berhenti sesaat ketika pria yang ia yakini sebagai Reino menoleh.“Ma… maaf, Mas. Saya salah orang… permisi,” ucapnya gugup sebelum buru-buru kabur dari toko itu.Langkahnya terburu, tetapi pikirannya tetap tertinggal di sana. Ia yakin betul ia tidak salah lihat. Postur tubuh, potongan rambut, bahkan garis rahang yang sempat terlihat dari samping, sangat jelas baginya kalau itu Reino. Tapi kenapa secepat itu Reino menghilang? Pikirnya.Nessa mengembuskan napas panjang, rasa lelah mendadak menyergap. Keinginannya untuk jalan-jalan di mall lenyap begitu saja. Ia merogoh ponselnya dan mengetikan pesan pada temannya untuk pamit pulang.“Bisa gila aku mikirin Mas Reino. Pesan-pesanku nggak dibalas, padahal baru juga nikah. Kok rasanya mentalku yang goyah duluan,” gumamnya sambil cemberut, berusaha menepis rasa gelisah yang mengganggu sejak tadi.Ia pun merasa lelah bahkan sudah tidak selera lagi untuk berjalan-jalan di mall. Ia lantas merogoh pon







