Masuk''Apa mereka tahu apartemenmu ini?'' tanya Nessa yang tampak panik.
Bima menggeleng pelan, buru-buru, ia mengintip dari celah lubang pintu yang dibuat khusus. Nessa yang semakin panik lantas bersembunyi dibelakang Bima dari jarak yang cukup jauh. Ia masih trauma dengan ketiga pria bertubuh kekar itu,
Saat pintu mulai terbuka, tampak berdiri seorang pria bersetelan jas hitam berdiri tegak di depan pintu. Bima menghela nafas kasarnya saat tahu pria yang ada dihadapannya ialah pengawal pribadinya.
''Kau rupanya? Apa ada kabar penting hari ini?'' tanya Bima.
Belum sempat pengawal pribadi bima menjawab, Nessa maju kedepan menggeser pelan tubuh Bima, menatap wajah pengawal serta Bima secara bergantian.
''Siapa dia? Akrab sekali rupanya? Jangan-jangan dia bos dari ketiga pria itu,'' ujar Nessa yang langsung menyerang dengan tuduhan.
''Dia Thomas, pengawalku, kau tunggu saja didalam,'' titah Bima.
Nessa kembali masuk, rasa nyeri di lutut membuatnya tak bisa untuk terlalu lama berdiri. Ia lantas duudk di sofa, sofa yang tampak unik sekali sama sekali belum ia pernah ia lihat, bahkan ia tidak mengerti cara duudk di sofa tersebut.
Karena kesulitan, Nessa memilih untuk duduk ditepi ranjang. Matanya tak lepas memperhatikan Bima yang tampak serius mengobrol dengan pengawalnya.
Tak lama Bima dan pengawalnya pun, selesai mengobrol. Bima melangkah mendekat kearah Nessa, namun ada sesuatu yang berbeda dari wajah Bima yang tampak tegang.
''Aku ada urusan penting, kau bisa pulang dengan Thomas,'' ujar Bima yang langsung membuka lemari dan meraih jas hitamnya.
Nessa tampak bingung ia perlahan mendekat, ''Apa ada masalah?''
''Kau pulang saja, ini nggak ada kaitannya dengan ketiga pria misterius itu,'' jawab Bima tanpa menoleh.
Nessa mengangguk pelan ia lantas melangkah keluar bersama pengawal pribadi Bima, namun baru beberapa langkah, Nessa kembali menghampiri Bima.
''Apa barangmu ada yang tertinggal?'' tanya Bima.
''B-bukan... aku cuma mau tanya, kamu beli dimana sofa itu?'' tanya nessa, tangannya lurus menunjuk kearah sofa panjang berlekuk warna merah.
''Hah?'' Bima tersentak kaget, ''Memangnya kenapa?''
''Sofanya unik, estetik! Kasih tahu aku dimana belinya? Aku mau minta Mas Reino buat belikan,'' ujarNessa yang tampak antusias.
Bima semakin tercengang. Tatapannya terpaku pada Nessa yang kini tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk sofa merah itu, seolah sedang menunjukkan sebuah harta karun. Dari ambang pintu, pengawal Bima pun terlihat menahan tawa melihat tingkah gadis itu.
''Aku akan berikan,'' uujar Bima sambil melangkah pelan mendekat. Suaranya menurun, lembut namun penuh tantangan. ''Asal kau mau… mencobanya denganku,'' bisiknya tepat di belakang telinga Nessa.
Dahi Nessa langsung berkerut. Tatapannya berubah dari kagum menjadi curiga campur jengkel. Tanpa menjawab sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi dengan langkah cepat, sang pengawal pribadi Bima buru-buru mengikutinya.
Begitu pintu apartemen tertutup, Nessa melangkah ke lift dengan wajah masam. Tapi di balik kesalnya, pikirannya masih terngiang-ngiang pada sofa merah yang begitu mencolok itu.
“Thomas, menurutmu sofa merah itu unik nggak?” tanya Nessa sambil menekan tombol lift dengan sedikit terlalu keras. “Kamu bisa antar aku ke toko yang jual sofa itu nggak? Soalnya kalau aku harus tanya ke Bima lagi, aku bisa gila!” gerutunya, membuat Thomas hanya bisa tersenyum tipis sambil mengangguk.
Lagi-lagi Thomas menahan senyumnya, ''Apa Nona tahu fungsi dari sofa itu?''
Wajah Nessa tampak bingung dengan pertanyaan Thomas, ia tak pernah tahu kalau sofa memiliki sebuah fungsi khusus.
''Fungsi apa? Bukankah semua sofa untuk duduk?'' tanya Nessa.
Thomas menutup mulut dengan telapak untuk menutupi senyum diwajahnya, ''Nona itu sofa dewasa, khusus untuk pasangan kekasih.''
Nessa tampak berpikir keras. Di dalam lift yang perlahan turun, bayangan sofa itu kembali muncul di kepalanya. Bentuknya yang melengkung, sandarannya yang aneh juga posisi duduknya yang terlalu intim untuk sekadar sofa biasa.
Dan saat akhirnya kepingan itu tersambung, Nessa membelalakkan mata.
Bentuk sofa itu jelas sekali menjurus ke arah aktivitas sepasang kekasih.
“Asal kau mau mencobanya denganku.”
Ucapan Bima kembali terngiang sangat jelas, membuat wajah Nessa memanas seketika. Ia menepuk keningnya berkali-kali, merutuki kebodohannya sendiri karena tidak menyadarinya dari tadi.
Ia melirik Thomas yang berdiri di sampingnya. Pengawal itu tampak berusaha keras menjaga ekspresi netral, tapi sudut bibirnya tak bisa menyembunyikan senyum yang mencoba melarikan diri. Hal itu membuat rasa malu Nessa meledak dua kali lipat.
Begitu pintu lift terbuka, Nessa langsung melangkah keluar. Tidak ada percakapan di antara mereka. Thomas paham benar kapan harus diam dan Nessa jelas sedang ingin menelan udara saja pun enggan karena malu.
Mereka berjalan menuju lobi, keluar gedung, kemudian menuju tempat parkir. Nessa hanya ingin cepat masuk mobil dan melupakan kejadian memalukan itu selamanya.
Namun tepat saat ia hendak membuka pintu mobil, sebuah suara memecah keheningan.
Langkah seseorang terdengar tergesa, dan seorang pria yang baru saja turun dari mobil putih di sebelah mereka menghampiri Nessa.
Nessa spontan terhenti. Matanya membesar melihat seseorang yang sama sekali tidak ia duga akan muncul di apartemen milik Bima.
“Nessa?” Pria itu menatapnya dengan campuran kebingungan dan keterkejutan. “Sedang apa kamu di sini?”
''Apa mereka tahu apartemenmu ini?'' tanya Nessa yang tampak panik.Bima menggeleng pelan, buru-buru, ia mengintip dari celah lubang pintu yang dibuat khusus. Nessa yang semakin panik lantas bersembunyi dibelakang Bima dari jarak yang cukup jauh. Ia masih trauma dengan ketiga pria bertubuh kekar itu,Saat pintu mulai terbuka, tampak berdiri seorang pria bersetelan jas hitam berdiri tegak di depan pintu. Bima menghela nafas kasarnya saat tahu pria yang ada dihadapannya ialah pengawal pribadinya.''Kau rupanya? Apa ada kabar penting hari ini?'' tanya Bima.Belum sempat pengawal pribadi bima menjawab, Nessa maju kedepan menggeser pelan tubuh Bima, menatap wajah pengawal serta Bima secara bergantian.''Siapa dia? Akrab sekali rupanya? Jangan-jangan dia bos dari ketiga pria itu,'' ujar Nessa yang langsung menyerang dengan tuduhan.''Dia Thomas, pengawalku, kau tunggu saja didalam,'' titah Bima.Nessa kembali masuk, rasa nyeri di lutut membuatnya tak bisa untuk terlalu lama berdiri. Ia lant
''Bima?''Nessa tercengang saat tahu pria yang sejak tadi menutupi wajahnya dengan masker hitam itu ternyata Bima. Ia tak menyangka akan bertemu Bima, ia juga bingung dengan penampilan Bima yang terkesan sangat misteriusBima terus menatap Nessa tanpa berkedip sedikitpun. Bima merasa ada yang berbeda dari Nessa."Kau sedikit lebih lumayan tanpa kacamata,'' Celetuk Bima.Nessa memundurkan tubuhnya yang dirasa terlalu dekat, ''K...kamu sedang apa di tempat ini? Kenapa juga pakai masker?"Bima menghela nafas kasarnya, lalu tak sengaja manik matanya melihat luka yang cukup parah di salah satu lutut Nessa.''Lututmu berdarah, sebaiknya segera diobati,'' ujar Bima.Nessa menundukan kepalanya melihat kearah lututnya yang memang benar ada luka disana. Karena terlalu panik dan takut hingga ia tak merasakan rasa sakit dari luka itu.Nessa lantas keluar dari gang sempit itu hendak kembali mencari taksi, tapi Bima menarik lengan Nessa, agar berjalan melewati jalan pintas.''Kalau kau kembali ke
Manik mata Nessa melebar. Jantungnya serasa berhenti sesaat ketika pria yang ia yakini sebagai Reino menoleh.“Ma… maaf, Mas. Saya salah orang… permisi,” ucapnya gugup sebelum buru-buru kabur dari toko itu.Langkahnya terburu, tetapi pikirannya tetap tertinggal di sana. Ia yakin betul ia tidak salah lihat. Postur tubuh, potongan rambut, bahkan garis rahang yang sempat terlihat dari samping, sangat jelas baginya kalau itu Reino. Tapi kenapa secepat itu Reino menghilang? Pikirnya.Nessa mengembuskan napas panjang, rasa lelah mendadak menyergap. Keinginannya untuk jalan-jalan di mall lenyap begitu saja. Ia merogoh ponselnya dan mengetikan pesan pada temannya untuk pamit pulang.“Bisa gila aku mikirin Mas Reino. Pesan-pesanku nggak dibalas, padahal baru juga nikah. Kok rasanya mentalku yang goyah duluan,” gumamnya sambil cemberut, berusaha menepis rasa gelisah yang mengganggu sejak tadi.Ia pun merasa lelah bahkan sudah tidak selera lagi untuk berjalan-jalan di mall. Ia lantas merogoh pon
''Nessa? Kamu sendirian, mana suamimu?''Nessa tersenyum tipis, pagi itu ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengambil barang-barang juga pakaian. Sekaligus ingin menghilangkan rasa jenuh karena sampai pagi ini Reino belum juga pulang.''Mas Reino lagi sibuk, Mah. Sejak semalam dia ngurus kerjaan bahkan sampai sepagi ini beum juga pulang,'' ujar Nessa dengan wajah cemberut.''Malam pertama Reino kerja? Keterlaluan, lebih mementingkan pekerjaan daripada istri,'' jawab ibunda Nessa yang ikut kesal.Nessa terduduk di sofa, ia menyandarkan kepalanya di pundak sang ibu, wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya ssepenuh hati. Nessa mengadu mengeluarkan semua unek-unek yang sejak semalam mengganjal.''Nessa, Reino itu pekerja keras. Dia pemimpin yang sangat bertanggung jawab, kamu harus memakluminya dan juga sabar, itu resikonya menjadi istri CEO Evoque,'' sahut ayah Nessa.''Pekerja keras sih Pah, tapi nggak malam pertama juga dong Pah, masa nggak ada waktu sedikitpun,'' protes ibunda
Pria itu kini berdiri menghadapnya sepenuhnya, sorot matanya tajam, tapi wajahnya datar tanpa ekspresi.Nafas Nessa tercekat. Matanya membesar, tubuhnya mendadak membeku seperti disiram air es."S-siapa kamu?''Tubuh Nessa bergetar, kedua tangannya mencengkeram gagang sapu yang siap ia ayunkan lagi. Rasa takut menghimpit dadanya ketika melihat tatapan dingin pria asing yang menerobos masuk tanpa permisi."Jadi… kau istri Reino?" pria itu bertanya tanpa sekedip pun.Ia menatap Nessa dari ujung kepala sampai kaki, lalu mengeluarkan cibiran kecil. "Selera Reino benar-benar aneh. Dari semua wanita di dunia, dia memilih wanita… jelek? Berkacamata tebal dan sama sekali tidak menarik."Nessa melemparkan tatapan sinis ke arah pria misterius itu. Kata-katanya memang bukan hal baru baginya, tapi tetap saja ada sembilu halus yang menancap di dadanya.Tanpa ragu, Nessa mengeratkan genggaman pada gagang sapu yang sejak tadi ia pegang. Ia mengangkatnya sedikit, cukup untuk menunjukkan bahwa ia tida
"Mas, mau kemana? Kenapa pakai setelan kantor?"Nessa menatap suaminya dengan begitu heran, padahal ia sudah melepas gaun pengantinnya dan menggantinya dengan lingerie putih berbahan satin yang menonjolkan lekuk tubuhnya."Ah… iya, malam ini Mas ada meeting penting,” jawab Reino, nadanya tergesa, kemejanya belum sempat ia rapikan sambil melirik jam di pergelangan tangan.“Tapi… ini kan malam pertama kita.”Suara Nessa merendah, matanya bergetar menahan kecewa. “Apa Mas nggak bisa minta izin, walau sebentar?”Reino terhenti sejenak. Helaan napasnya terdengar pelan, tapi langkahnya tetap seakan ingin pergi. Sementara Nessa berdiri mematung, merasakan dada yang perlahan menghangat oleh rasa tidak diprioritaskan.Reino menatap wajah Nessa, lalu mengusap pucuk rambut Nessa dengan lembut. Nessa menyandarkan kepalanya pada lengan Reino, sesekali mengusap dada bidang milik Reino berharap bisa sedikit membangkitkan gairah Reino, namun Reino malah menyingkirkan tangan Nessa.''Maaf sayang, tapi







