MasukRaisa mendongakkan wajahnya, menatap lurus pada pria yang berdiri di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam, menusuk, seolah hendak menelanjangi isi kepalanya. Jantung Raisa berdegup cepat, bukan karena takut, melainkan karena dendam yang sudah lama ia pupuk di dalam dada.
Ia hampir lupa, saat pertama kali bertemu, pria ini tampil begitu ramah. Senyumannya hangat, tutur katanya lembut, bahkan ia memperkenalkan diri dengan sopan seakan tak memiliki cela. Saat itu, Raisa yang masih polos percaya saja bahwa lelaki paruh baya itu sungguh-sungguh baik. Namun waktu telah membongkar topengnya. Di balik senyum ramah itu, ternyata tersimpan sebuah rencana busuk. Dan kini, setelah sekian lama, mereka kembali dipertemukan. Mata Raisa terasa panas, perih menahan emosi yang mendesak keluar. Tangannya terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ingin rasanya ia melepaskan tinju tepat ke wajah pria itu. Wajah yang kini dipenuhi kerutan halus, tanda usia yang tak bisa disembunyikan. Namun, Raisa harus mengakui, meski rambut pria itu telah dipenuhi uban, pesonanya masih sulit dipungkiri. Ada aura karisma yang membuat orang-orang tunduk padanya. Tidak heran jika ibunya, seorang wanita yang dulu begitu sangat mencintai ayahnya. Jadi sosok yang selalu Raisa banggakan di depan teman-temannya karena dia adalah sosok ibu yang begitu baik dan perhatian. Tiba-tiba berubah jadi ibu yang kejam dan tidak manusiawi hanya karena jatuh cinta pada pria itu, lalu melakukan segala cara untuk menyingkirkannya demi bersama orang yang dicintainya untuk menguasai seluruh kekayaan yang ayahnya tinggalkan “Saya tanya kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada di ruangan saya?” suara pria itu memecah keheningan, dingin dan tegas, penuh wibawa. Raisa tersentak. Ekspresinya yang tadinya datar berubah dalam sekejap. Ia berusaha menampilkan sosok yang rapuh. “S-aya…” suaranya bergetar pelan, matanya bergerak gelisah ke segala arah. Gugup dan terlihat rapuh “Ah!” Raisa menjerit pelan ketika dagunya tiba-tiba dicengkeram erat. Pria itu memaksanya mendongak, wajahnya dipaksa menatap lurus ke mata yang dingin dan penuh selidik itu. Rasa sakit menjalar ke rahang, dagunya seperti diremas oleh besi. Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan nyeri dan air mata menggenang di pelupuk matanya. “Jawab!” bentak pria itu, suaranya membuat udara di ruangan semakin berat. Raisa menelan ludah. “Saya…” suaranya tercekat, lalu ia menunduk, seakan takut. Pria itu menyipitkan mata. Genggamannya di dagu Raisa makin kuat, membuatnya mengerang tertahan. “Jangan main-main dengan saya. Siapa yang menyuruhmu masuk?” “Saya pembantu baru di sini dan saya ditugaskan Bi Murni untuk membersihkan ruangan bapak,” jawab Raisa dengan nafas tertekan. Pria itu memicingkan matanya, menatap penuh selidik pada Raisa yang kini menahan perih pada rahangnya yang ditekan kuat. Namun, perlahan cengkaraman itu mulai mengedur, akhirnya Raisa bisa bernafas lega, saat ayah tirinya itu melepas tangan dari rahangnya. Raisa menundukkan wajahnya. Tak lagi menatap pria itu, berusaha bersikap sopan. Walau dalam hatinya sangat dongkol dan keinginannya untuk meludahi wajah pria itu harus ia tahan, demi ke-langsungan rencanannya. Raisa terus berdiri di sana, sementara pria itu berjalan ke meja kerjanya lalu duduk di atas kursi. Raisa melirik lewat ekor matanya. Wajah pria itu terlihat sangat tenang, gurat amarah yang tadi Raisa lihat hilang seketika. Raisa kembali menundukkan wajahnya, saat pria itu tiba-tiba berbalik kembali memperhatikannya. Ketukan jari pada meja kayu dan helaan nafas pria itu terdengar di telinga Raisa. “Aneh…Kenapa Bi Murni tidak memberitahuku jika ada pembantu baru, biasanya dia akan melapor lebih dulu,” ucap pria itu sambil terus menatap Raisa penuh selidik. “Kau tidak bohong, kan?” tanyanya masih tak percaya. Raisa mendongak, ia menggeleng cepat. “Tidak, saya tidak bohong, Pak. Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa tanya sama Ibu… karena dia sendiri yang menerima saya di sini.” Suasana kembali hening, pria tak lagi bertanya. Namun, ia tak hentinya menatap Raisa. Pria itu menelusuri tubuh Raisa dengan pandangan lambat, dari ujung kepala hingga ke kakinya, tatapannya seolah ingin menembus kulitnya. Lidahnya bergerak pelan di balik pipi, menimbulkan kesan menjijikkan yang membuat Raisa ingin segera memalingkan wajah dan keluar dari ruangan itu. “Pak…apa saya boleh keluar sekarang? pekerjaan saya di sini sudah selesai,” kata Raisa memecah keheningan karena ia mulai risih terus diperhatikan. Namun, ia harus terbiasa untuk ke depannya karena ia lah yang akan mulai menggoda pria itu. Untuk sekarang ia harus terlihat jaim. Agar pria itu tak curiga dan lebih tertantang untuk mendekatinya. Dengan begitu akan lebih mudah untuk menjeratnya. Pria itu tidak segera menjawab pertanyaan Raisa. Ia bersandar santai di kursinya, melipat lengan ke belakang kepala. Bibirnya terangkat sedikit, menampilkan senyum tipis yang samar. Raisa sempat menangkap senyum itu, namun ia tak mampu menebak apa maksud dari senyuman itu. “Kamu sudah boleh keluar sekarang…” suaranya datar, namun ada penekanan di akhir kalimat yang membuat Raisa merinding. Setelah jeda singkat, pria itu menambahkan, “…tapi ingat, jika saya sedang ingin sesuatu, saya akan memanggil kamu untuk datang ke sini,” katanya kini kembali memandang Raisa masih dengan seringai tipis yang tercetak jelas di wajahnya Raisa menelan ludahnya kasar. ia kemudian mengangguk. “Baik Pak…kalau begitu saya keluar dulu.” Raisa bergegas membawa langkahnya keluar dari ruangan itu. Saat sampai di luar, Raisa langsung bersandar pada dinding, menekan dadanya dengan kuat karena rasanya jantungnya juga ingin melompat keluar setelah merasakan ketegangan di dalam ruangan. Ekspresi pria itu sangat sulit ditebak. Raisa sedikit takut, jika pria itu mengenalinya dan sikapnya tadi adalah sebuah kamuflase untuk mengelabuinya. Ia tidak bisa berpikir jernih untuk sekarang, tapi ia akan mencoba hati-hati untuk ke depannya. Raisa berjalan meninggalkan area tempat itu, saat menuruni tangga tak sengaja ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja menaiki tangga. Ia menggeser langkahnya memberi ruangan untuk ibunya jalan lebih dulu. “Selamat pagi, Nyonya…” sapanya ramah dengan senyum manis di wajahnya, berusaha bersikap manis di depan ibunya. Namun, ibunya melewatinya begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Tatapan mata yang sembab, kelopak merah yang jelas menunjukkan sisa tangis semalaman, membuat wajah wanita itu tampak lusuh. Raisa memperhatikan semua itu, bukannya merasa kasihan, justru rasa puas menyelinap di dadanya. Hatinya berdebar pelan, bukan karena iba, melainkan karena ia tahu penderitaan itu berasal dari orang yang selama ini begitu dicintai ibunya. Bagus, batinnya. Semakin menderita, semakin baik. Raisa menyunggingkan senyum miring, menatap punggung ibunya yang semakin menjauh. Tatapannya mengikuti langkah sang ibu, memperhatikan punggung rapuh itu perlahan menjauh. Hingga akhirnya, sosok ibunya menghilang di balik pintu kamar, meninggalkan Raisa berdiri dengan rasa senang yang tidak bisa disenyumbunyikan.Happy Reading, semoga suka ya...
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Suami? Calon suami? Sejak kapan?!" cecar Raisa dengan suara tertahan namun penuh penekanan. "Kamu sadar nggak sih, kamu baru aja bikin kekacauan di depan pelanggan aku?"Alan bukannya merasa bersalah, ia malah bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke meja kerja Raisa dengan santai. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya, Sa. Daripada pria itu terus-terusan mendekatimu tanpa tahu batasan.""Namaku Nesya di sini! Berhenti panggil aku Raisa di depan orang-orang!" bentak Raisa lagi. "Dan soal suami itu... itu bohong besar, kan? Kamu cuma mau bikin skenario supaya orang-orang kasihan sama kamu dan nganggep aku ini istri yang durhaka karena amnesia?"Alan melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka hingga Raisa terpaksa mundur sampai punggungnya membentur pintu. Alan menatapnya dalam, suaranya kini merendah, terdengar lebih serius."Aku nggak bohong soal perasaan aku," bisik Alan pelan. "Kalau kamu nggak suka aku bilang begitu ke pria tadi, itu karena aku ngg
Sudah tiga hari ini Alan terus-terusan muncul di toko. Dia rajin sekali menceritakan potongan-potongan masa lalu mereka, tapi di kepala Raisa, semuanya masih gelap. Kalaupun ada yang terlintas, rasanya cuma seperti bayangan buram yang lewat sekilas. Raisa sudah berusaha keras untuk mengingat, tapi tetap saja buntu.Malahan, yang menghantuinya justru mimpi buruk yang itu-itu saja. Suara amarah seorang wanita dan caci maki tajam selalu terngiang setiap malam, membuat kepalanya terasa mau pecah setiap kali bangun tidur.Pagi ini, Alan kembali lagi. Bahkan sebelum toko dibuka, pria itu sudah berdiri di depan pintu. Sekarang Alan sedang menunggu di ruangan Raisa, sementara Raisa sendiri masih sibuk melayani pelanggan yang kebetulan cukup ramai hari ini.Saat sedang merapikan beberapa barang, seorang pria masuk dan menyapa.“Hai…”“Eh, hai!” Raisa tampak terkejut, tapi sedetik kemudian senyumnya merekah. “Ke mana aja? Kok baru kelihatan lagi?” tanya Raisa dengan nada yang sangat akrab.“Bar
Alan langsung menoleh. Wajahnya seketika berubah gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu. Ia buru-buru memutus panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu melangkah cepat menghampiri Raisa seolah tak ada yang terjadi.“Nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil memasang senyum tipis yang terlalu dipaksakan.Raisa mengerutkan dahinya. Tatapannya penuh curiga. Ia jelas tak percaya begitu saja. Tadi ia mendengar dengan jelas namanya disebut. Pasti ada masalah, dan besar kemungkinan masalah itu ada hubungannya dengan dirinya. Tapi dengan ingatan yang belum pulih sepenuhnya, Raisa memilih menahan diri. Bertanya terlalu jauh justru bisa memperkeruh keadaan.Ia akhirnya hanya mengangguk pelan. “Oh… gitu. Umm… kamu masih mau di sini? Atau mau pulang?”Alan melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya aku pulang aja deh. Lagian toko kamu juga sebentar lagi tutup, kan?”Raisa ikut mengangguk. “Iya, bentar lagi tutup.”“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu.” A
Saat kesadarannya mulai kembali, Raisa refleks mendorong tubuh Alan agar tidak terlalu dekat. “Menjauh… jangan terlalu dekat,” ujarnya sambil menggeser duduknya menjauh.Wajah Alan seketika tampak kecewa. “Maaf…” ucapnya lirih, disertai senyum miris. “Kalau begitu… mau aku lanjutkan ceritanya atau tidak?” tanyanya, sama sekali tidak memaksa bila Raisa tidak ingin mendengarnya lagi.Mungkin lain kali ia akan mencoba lagi. jika Raisa tak mau mendengarnya lagi. apalagi kondisi Raisa sekarang sepertinya sedang kurang sehat..Raisa hanya terdiam. Tatapannya terarah pada Alan dengan intens, menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun ada ketakutan lain yang membayangi—kepalanya sering berdenyut setiap kali ia memaksa diri untuk mengingat sesuatu.Dokter bilang lupa ingatannya tidak permanen. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan yang kembali. Ia sudah mengonsumsi obat sesuai anjuran, berharap ingatannya pulih lebih cepat, tapi anehnya, semakin ia berusaha meng
Alan tiba di depan Toko Raisa. Tanpa ragu, ia melangkah masuk. Hal pertama yang menyambutnya adalah Raisa, berdiri di balik meja kasir, melayani pelanggan dengan senyum yang hangat dan menawan.Senyum itu... sudah lama sekali Alan tidak melihatnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis ikut merekah di bibirnya. Senyum Raisa begitu indah dan murni hingga sekali lagi, Alan merasakan debaran hangat yang tak asing di dadanya.Melihat Raisa tersenyum bahagia sungguh melegakan. Itu adalah bukti bahwa selama masa menghilangnya, wanita itu baik-baik saja. Sebuah rasa syukur yang mendalam menyelimuti hati Alan.Setelah pembeli terakhir keluar, Alan melangkah pelan mendekati Raisa."Hai..." sapa Alan pelan, disertai senyum manis yang tulus.Raisa tersentak kaget. Ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya melihat Alan kini berdiri tepat di hadapannya."Ke-kenapa kau di sini? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Raisa bertubi-tubi, nada suaranya sedikit meninggi. "Jangan-jangan... kau mengun
Sesuai jadwalnya, hari ini Alan sudah ada janji meeting penting dengan para investor. Pagi itu, ia tampak sudah sangat rapi. Kemeja warna biru muda berpadu sempurna dengan jas hitam yang melekat di badan tegapnya, menonjolkan aura kesuksesan. Tak lupa, jam tangan bermerek yang melingkar apik di pergelangan tangannya menambah kesan elegan.Kring. Kring.Tepat sebelum keluar dari kamarnya, tiba-tiba Alan mendengar panggilan masuk di ponselnya. Ia cepat-cepat meraihnya, melihat nama Rain di layar.“Halo, gimana lo udah selesai penyidikan, dapat bukti nggak?” tanya Alan to the point, jantungnya sudah berdebar tak sabar.“Iya, ternyata besok hari setelah kecelakaan itu, ada sepasang suami istri yang datang ke rumah sakit di daerah di mana kecelakaan itu terjadi,” jawab Rain dari ujung telepon. “Mereka membawa seorang wanita yang terlibat kecelakaan. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, wanita itu mengalami hilang ingatan karena benturan keras di kepalanya.”Deg!Jantung Alan berdet







