Home / Rumah Tangga / Sentuhan Panas Ayah Tiri / Tumpahan Kuah Sup dan Suasana Tegang

Share

Tumpahan Kuah Sup dan Suasana Tegang

Author: Marssky
last update Last Updated: 2025-09-28 20:39:47

Memasuki waktu makan siang, Raisa menuju dapur untuk membantu Bi Murni memasak. Namun, saat tiba di sana, semua masakan sudah selesai dibuat dan hanya tinggal disajikan di meja makan.

Raisa membantu membawa makanan itu ke meja. Di kedua tangannya terdapat semangkuk sup ayam yang masih mengepulkan asap. Ia membawanya dengan hati-hati, berjalan keluar dari dapur menuju ruang makan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat ibu dan ayah tirinya sudah berada di sana.

Ia sedikit gugup, apalagi saat ayah tirinya berbalik menatapnya. Pria itu tersenyum, lebih menyerupai seringai. Raisa mencoba menetralkan detak jantungnya agar tetap tenang dan tidak terpengaruh.

“Ngapain kamu masih berdiri di situ? Ayo, Ibu sama Bapak sudah menunggu,” tegur Bi Murni sambil berjalan mendahului Raisa.

Raisa mengangguk kaku. Ia menarik napas berat lalu menghembuskannya perlahan. Setelah merasa cukup tenang, ia melanjutkan langkah mengikuti Bi Murni dari belakang.

Sup ayam yang dibawanya ia letakkan di atas meja. Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya. Raisa sengaja menumpahkan sedikit kuah sup itu ke pakaian ayah tirinya.

“Argh…!” pria itu berteriak kepanasan sambil mengusap pahanya yang baru saja terkena kuah sup.

Raisa pura-pura terkejut. “Maaf… maaf… saya nggak sengaja, Pak,” ucapnya panik. Ia segera membersihkan celana pria itu yang ketumpahan.

Dengan gerakan halus, tangan Raisa menari-nari di atas pahanya. Suasana berubah tegang. Tubuh pria itu tampak terdiam kaku ketika Raisa mengusapnya. Seringai tipis muncul di bibir Raisa. Ia melirik ekspresi pria itu yang tampak menikmati perlakuannya.

Sementara ibunya sama sekali tidak menyadari kelakuannya. Wanita itu masih sibuk dengan ponselnya hingga tak mendengar teriakan suaminya.

“Agh…!” pria itu menggeram tertahan saat Raisa tak sengaja menyenggol sesuatu di balik celananya.

“Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?” Ratri akhirnya mendengar geraman suaminya, tepat ketika ia hendak meletakkan ponselnya di atas meja.

Raisa yang masih menunduk segera berdiri tegak, berusaha bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Ia buru-buru pergi dari sana, meninggalkan pasangan suami istri itu dalam suasana canggung.

“Ada apa, Mas? Kenapa kamu tiba-tiba teriak tadi?” tanya Ratri sambil mengangkat salah satu alisnya, penasaran dengan apa yang terjadi.

“Enggak ada apa-apa, Sayang. Tadi ada kecoak lewat, aku kaget jadi nggak sengaja teriak,” jawabnya tersenyum berusaha untuk tenang, agar istrinya tak bertanya macam-macam lagi. “Udah, yuk kita makan,” ucapnya langsung mengalihkan pembicaraan.

Ratri mengangguk, lalu menyendokkan makanan ke atas piringnya dan tak lupa juga ke piring suaminya. Mereka menikmati makan siang dengan khidmat tanpa suara sama sekali, kecuali dentingan sendok dan piring yang saling beradu.

Dari arah dapur, Raisa mengintip mereka berdua. Ia tidak berhenti cekikikan saat melihat ekspresi tertekan ayah tirinya. Hatinya puas bisa mengerjai pria itu — dan ini baru permulaan. Masih banyak hal yang akan Raisa lakukan agar ayah tirinya benar-benar tergoda padanya. Ia ingin pria itu lebih memprioritaskan dirinya daripada istrinya.

“Raisa, kamu kenapa? Nggak kerasukan setan, kan?” tanya Bi Murni yang tiba-tiba muncul sambil menepuk bahu Raisa dari belakang.

Raisa sontak terkejut. Ia langsung berbalik, lalu tersenyum kecil dan cepat-cepat menggeleng. “Aku nggak apa-apa, Bi.”

“Kirain kamu kerasukan, soalnya Bibi dengar kamu ketawa-tawa sendiri. Takutnya kunti penunggu rumah ini ngerasukin kamu,” ucap Bi Murni santai.

Raisa mendadak merinding mendengarnya. “Emang rumah ini ada penunggunya, Bi?” tanyanya mulai sedikit takut.

Seingatnya, waktu kecil dulu selama tinggal di rumah itu, tidak pernah ada kejadian aneh. Tapi kenapa sekarang Bi Murni bicara begitu? Jangan-jangan selama ia pergi, ibunya sempat melakukan ritual pesugihan lagi di rumah ini? Serem banget.

Bi Murni tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Raisa yang tampak ketakutan. Raisa mendengus kesal saat sadar dirinya baru saja dikerjai oleh wanita paruh baya itu. Ia langsung membalas dendam dengan menggelitiknya.

“Udah, udah, Bibi cuma bercanda. Kapan lagi Bibi bisa ngerjain penghuni baru di rumah ini,” ujar Bi Murni masih sambil tertawa. “Lagian ya mana ada kunti di rumah ini, kalau ada pun pasti dia sudah kabur duluan gara-gara dengerin ibu marah-marah tiap hari,” lanjutnya dengan tawa sudah mulai mereda.

Raisa mengerutkan dahinya. “Maksud bibi marah-marah gimana?” tanya Raisa penasaran.

“Ya itu… Ibu biasa marah kalau suaminya nggak bisa dihubungi, terus suaminya pulang telat. Mereka bertengkar setiap malam karena Ibu selalu curiga kalau Bapak punya wanita lain di luar sana.”

Raisa menyimak setiap ucapan Bi Murni. Ternyata rumah tangga ibunya memang sudah renggang. Itu berarti akan lebih mudah baginya untuk menghancurkannya.

“Lagian ya, kalau saya jadi Ibu, pasti marah juga. Apalagi Bapak kalau pulang selalu bau parfum cewek, mana beda-beda lagi tiap malamnya. Jadi wajar saja Ibu curiga,” ucap Bi Murni dengan wajah sedih.

“Jadi Bi Murni kasihan sama Ibu?”

Wanita paruh baya itu mengangguk. “Iya, walau Ibu sering bertindak kasar pada pekerjanya, tapi dia itu loyal banget kalau soal uang. Makanya saya betah di sini.”

Andai Bibi tahu kalau Ibu tak sebaik yang Bibi pikir. Apa Bibi masih akan tetap kasihan sama Ibu, atau justru melakukan hal yang sama kayak aku jika Bibi ada di posisiku? Raisa membatin. Ia tak suka jika ada seseorang yang membangga-banggakan ibunya dengan kebaikan. Padahal, selama ini wanita itu iblis berwujud manusia.

“Kalian lagi ngegosipin apa di sini?” Suasana tiba-tiba berubah dingin saat ibunya muncul di dapur. “Apa kalian nggak dengar kalau saya dari tadi teriak-teriak manggil kalian, buat beresin meja makan! Atau kalian nggak punya kupinga?!” Ratri masih berteriak marah.

“Maaf, Bu…” lirih Bi Murni sambil menundukkan wajahnya.

“Maaf, maaf terus… kalian niat kerja nggak sih?!” Ratri kembali tersungut, matanya memicing tajam menatap kedua orang yang berdiri di hadapannya.

Tidak ada yang berani menjawab. Raisa bisa saja menjawab, tapi kalau ibunya sudah emosi begini, pasti ia akan melampiaskannya dengan memecahkan barang-barang di rumah. Raisa masih sangat ingat, saat ibunya marah dan menghukumnya, wanita itu pernah melempar barang-barang di dekatnya. Bahkan, Raisa pernah terkena vas bunga hingga kepalanya bocor, dan sampai saat ini bekasnya masih ada di belakang kepalanya.

Suasana dapur mendadak kaku, hanya tersisa detak jantung Raisa yang berdegup semakin cepat. Lalu terdengar helaan napas kasar keluar dari mulut wanita itu, panjang dan penuh amarah. Ratri mengusap wajahnya dengan gerakan keras, seolah sedang menahan ledakan emosi yang nyaris tak terbendung.

“Sekali lagi saya panggil kalian nggak ngejawab, saya pecat kalian.” Suaranya terdengar sangat rendah. Matanya berkilat penuh ancaman. “Bilang juga sama teman kamu yang sakit-sakitan itu, kalau besok dia nggak kerja, lebih baik angkat kaki dari rumah ini.”

Lalu, tanpa menunggu reaksi siapa pun, Ratri melangkah pergi meninggalkan area dapur dengan hentakan sepatu yang bergema di lantai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pencarian Raisa

    Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Dikhianati

    Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pertengkaran Dua Pria

    “Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Orang Misterius

    “Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Bukti yang Hilang

    Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Di Jambret

    “Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status