LOGIN“Hei… kamu nggak apa-apa, kan?” tanya pria yang tanpa sengaja ditabrak Raisa.
Raisa menggeleng pelan. Namun beberapa detik kemudian wajahnya berubah syok saat menyadari kemeja pria itu basah dan kotor terkena tumpahan minumannya. “Maaf… maaf, saya nggak sengaja,” ucapnya panik sambil mengangkat tangan, berusaha membersihkan noda di kemeja itu.
Pria tersebut segera mundur, tak membiarkan Raisa menyentuhnya. “Sudah, nggak apa-apa,” ujarnya tenang, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Raisa.
Tak puas dengan hanya memandang wajah Raisa. Kini pria itu memandang Raisa dengan intens, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu terdengar kekehan pelan dari pria itu
“Sejak kapan anak kecil boleh masuk ke sini?” gumamnya sinis, menatap penampilan Raisa yang benar-benar mirip bocah dengan piyama bergambar Pororo.
Raisa langsung mengerutkan dahi, jelas tak terima disebut anak kecil. “Aku ini bukan anak kecil! Umurku sudah dua puluh enam tahun. Kenapa kamu bisa seenaknya bilang begitu?” protesnya kesal, menatap pria itu dengan sorot tajam.
Pria itu hanya terkekeh lagi, nadanya terdengar mengejek. “Lihat penampilanmu sendiri. Apa aku salah kalau menganggapmu bocah? Mana ada wanita dewasa datang ke klub pakai piyama.”
Raisa sontak menunduk, memperhatikan penampilannya sendiri. Dan benar saja—ia memang hanya mengenakan piyama. Baru saat itu ia tersadar, hampir lupa tujuan sebenarnya ia datang ke sana untuk membuntuti ayah tirinya. Ia harus bergegas mencarinya sekarang.
Tanpa membalas ucapan pria itu, Raisa bergegas pergi, meninggalkannya yang masih sempat memanggil dari belakang.
Ia menerobos kerumunan, matanya awas meneliti setiap sudut hingga akhirnya menangkap sosok ayah tirinya. Pria itu duduk di kursi depan meja bundar, dikelilingi beberapa pria sebaya dan wanita-wanita bayaran yang menempel di sisi masing-masing.
Ayah tirinya tampak riang, memeluk seorang wanita sambil tertawa terbahak. Raisa tidak bisa menangkap obrolan mereka, suara musik yang menghentak membuat segalanya tertelan bising.
Dengan sigap, Raisa meraih ponselnya, lalu menjepret beberapa foto. Senyum kecil terbit di wajahnya saat melihat hasil tangkapan layar. Cukup banyak bukti untuk disimpan.
Ia tetap bertahan, mencari celah aman untuk mengawasi. Pilihannya jatuh pada sebuah meja kosong tak jauh dari sana. Dari balik kerumunan, matanya tak lepas mengintai gerak-gerik ayah tirinya.
Tak lama, pria itu berdiri dan beranjak, tubuhnya sedikit sempoyongan. Wanita tadi segera memapahnya, membawanya meninggalkan meja menuju deretan kamar yang jelas disediakan klub itu untuk para tamu.
Detik sebelum wanita itu sempat membawanya masuk ke kamar, Raisa melangkah cepat dan menghadang. Gerakan mendadaknya membuat wanita itu kaget hingga melepaskan pelukannya dari pria itu.
Dari raut wajahnya, wanita itu terlihat marah. “Siapa kamu? kenapa kamu tiba-tiba menghadang kami? Kamu mau apa?” tanyanya menatap curiga
“Raisa…” gumam Fajar lirih dengan mata menyipit, memperhatikan Raisa dari dekat. “Kamu ngapain di sini?” tanya Fajar yang masih sadar, walau tak sadar sepenuhnya karena mata pria itu terlihat sudah memerah.
“Saya disuruh Ibu buat ngikutin Bapak,” ucap Raisa, kebohongan yang sengaja ia lontarkan hanya untuk melihat ekspresi pria itu.
Benar saja, wajah Fajar langsung menegang. Sorot matanya dipenuhi rasa takut. “Kamu jangan macam-macam, ya! Meskipun istri saya yang nyuruh, jangan pernah bilang hal sebenarnya ke dia. Kalau sampai ketahuan, kamu sendiri yang bakal tanggung akibatnya,” ancamnya dengan suara bergetar tapi tetap menekan.
Raisa menahan tawa, hanya menyeringai tipis, hampir tak terlihat. “Saya mana berani bohong, Pak. Kalau ketahuan, Ibu bisa pecat saya,” ucapnya dengan wajah polos.
Raut wajah Fajar makin pucat. Dengan gugup, ia melangkah lebih dekat, menekan tubuh Raisa hingga punggungnya membentur dinding
Wanita yang bersama Fajar tadi tampak syok. “Mas…” panggil wanita itu, berusaha menyentuh lengan Fajar. Namun, tangannya langsung ditepis kasar.
“Kamu lebih baik pergi sekarang. Uang sudah saya transfer ke bosmu,” ucap Fajar dingin, jelas menyuruh wanita itu pergi.
Wanita itu akhirnya melangkah pergi, meski wajahnya terlihat jengkel karena malam itu ia gagal untuk bersenang-senang.
Kini lorong itu hanya menyisakan Raisa dan ayah tirinya. Tempat itu cukup sepi, sebuah area privat dengan deretan kamar khusus tamu VIP, termasuk Fajar.
“Jadi, apa maumu sekarang, Raisa? Apa dengan mengadukan saya ke istri saya akan bikin kamu puas?” tanya Fajar, suaranya serak, berusaha tegar meski ketakutan masih jelas tergambar di wajahnya.
Raisa tersenyum tipis, lebih menyerupai senyum menggoda daripada senyum polos. Perlahan tangannya menyentuh dada pria itu, sementara tubuhnya condong ke depan. Bibirnya mendekat ke telinga Fajar, lalu berbisik halus, “Bapak mau tahu… apa sebenarnya yang saya inginkan?”
Fajar menelan ludah dengan kasar ketika hembusan napas Raisa menyapu kulitnya. Suara lembut wanita itu membuat bulu kuduknya meremang. “Ya… saya ingin tahu. Saya akan berikan apa pun yang kamu minta, asal jangan sekali-kali mengadu pada istri saya,” ucapnya terbata, menatap Raisa dengan sorot intens.
Raisa kembali menampilkan senyum tipis, matanya sayu. Perlahan tangannya terulur, membelai wajah pria itu. Tubuh Fajar seketika menegang merasakan sentuhan lembutnya. “Kalau yang saya mau itu… Bapak sendiri, gimana?” bisiknya rendah.
Fajar terperangah, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Maksud kamu apa?” suaranya nyaris bergetar.
Raisa menoleh sedikit, tatapannya tajam namun bibirnya tetap melengkung dengan senyum samar.
“Masa Bapak masih pura-pura nggak ngerti juga sama maksud saya?” bisiknya, sebelum tubuhnya kembali condong ke depan. Lalu sekejap kemudian, bibirnya mendarat singkat di pipi Fajar.Fajar terdiam kaku, matanya membola tak percaya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja disambar kilat. “Kamu…” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya, suaranya serak bercampur kaget.
Raisa kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, tatapannya penuh tantangan. “Bagaimana, Pak? Masih kurang jelas?” ucapnya pelan, dengan nada menggoda
Di sudut bibir Fajar, perlahan terbit seringai kecil, ia kemudian merengkuh pinggang Raisa. “Berani banget kamu ya, tadi katanya takut bohong sama istrinya. Tapi sekarang kamu berani menggoda saya? emang kamu nggak takut, kalau kamu tiba-tiba saya terkam di sini?” ucapnya dengan nada menggoda.
Raisa menggeleng pelan, berusaha tetap tenang menatap pria itu. “Kalau saya takut, nggak mungkin saya ada di sini sekarang,” ucapnya lembut namun penuh tantangan.
“Jadi kamu nggak keberatan kalau saya minta itu sekarang?” Fajar menyeringai licik. Sorot matanya sudah penuh hasrat, tubuhnya tak sabar ingin menyentuh gadis dalam dekapannya.
Sejak awal, ia memang menyimpan ketertarikan pada Raisa. Namun, ia menahan diri, sadar bahwa Raisa hanyalah pembantu di rumahnya. Tapi kini, ketika Raisa sendiri yang justru memancing, bagaimana mungkin ia bisa menolak?
Raisa tak menjawab. Keterdiamannya justru membuat Fajar semakin yakin bahwa ia tidak keberatan. Keyakinan itu mendorongnya bertindak. Tanpa pikir panjang, ia mencondongkan wajah, hendak meraih bibir Raisa.
Namun sebelum sempat, Raisa dengan cepat mengangkat telunjuknya, menahan bibir Fajar. Gerakan kecil, tapi cukup menghentikan niatnya.“Jangan di sini…” bisiknya halus, matanya menatap penuh arti.
Fajar membeku sejenak, lalu sebuah senyum puas tersungging di wajahnya. Ia menangkap maksud tersirat dari ucapan Raisa. Tanpa banyak bicara, ia langsung meraih tubuh Raisa, lalu menggendongnya masuk, menuju kamar VIP di belakangnya.
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Suami? Calon suami? Sejak kapan?!" cecar Raisa dengan suara tertahan namun penuh penekanan. "Kamu sadar nggak sih, kamu baru aja bikin kekacauan di depan pelanggan aku?"Alan bukannya merasa bersalah, ia malah bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke meja kerja Raisa dengan santai. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya, Sa. Daripada pria itu terus-terusan mendekatimu tanpa tahu batasan.""Namaku Nesya di sini! Berhenti panggil aku Raisa di depan orang-orang!" bentak Raisa lagi. "Dan soal suami itu... itu bohong besar, kan? Kamu cuma mau bikin skenario supaya orang-orang kasihan sama kamu dan nganggep aku ini istri yang durhaka karena amnesia?"Alan melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka hingga Raisa terpaksa mundur sampai punggungnya membentur pintu. Alan menatapnya dalam, suaranya kini merendah, terdengar lebih serius."Aku nggak bohong soal perasaan aku," bisik Alan pelan. "Kalau kamu nggak suka aku bilang begitu ke pria tadi, itu karena aku ngg
Sudah tiga hari ini Alan terus-terusan muncul di toko. Dia rajin sekali menceritakan potongan-potongan masa lalu mereka, tapi di kepala Raisa, semuanya masih gelap. Kalaupun ada yang terlintas, rasanya cuma seperti bayangan buram yang lewat sekilas. Raisa sudah berusaha keras untuk mengingat, tapi tetap saja buntu.Malahan, yang menghantuinya justru mimpi buruk yang itu-itu saja. Suara amarah seorang wanita dan caci maki tajam selalu terngiang setiap malam, membuat kepalanya terasa mau pecah setiap kali bangun tidur.Pagi ini, Alan kembali lagi. Bahkan sebelum toko dibuka, pria itu sudah berdiri di depan pintu. Sekarang Alan sedang menunggu di ruangan Raisa, sementara Raisa sendiri masih sibuk melayani pelanggan yang kebetulan cukup ramai hari ini.Saat sedang merapikan beberapa barang, seorang pria masuk dan menyapa.“Hai…”“Eh, hai!” Raisa tampak terkejut, tapi sedetik kemudian senyumnya merekah. “Ke mana aja? Kok baru kelihatan lagi?” tanya Raisa dengan nada yang sangat akrab.“Bar
Alan langsung menoleh. Wajahnya seketika berubah gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu. Ia buru-buru memutus panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu melangkah cepat menghampiri Raisa seolah tak ada yang terjadi.“Nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil memasang senyum tipis yang terlalu dipaksakan.Raisa mengerutkan dahinya. Tatapannya penuh curiga. Ia jelas tak percaya begitu saja. Tadi ia mendengar dengan jelas namanya disebut. Pasti ada masalah, dan besar kemungkinan masalah itu ada hubungannya dengan dirinya. Tapi dengan ingatan yang belum pulih sepenuhnya, Raisa memilih menahan diri. Bertanya terlalu jauh justru bisa memperkeruh keadaan.Ia akhirnya hanya mengangguk pelan. “Oh… gitu. Umm… kamu masih mau di sini? Atau mau pulang?”Alan melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya aku pulang aja deh. Lagian toko kamu juga sebentar lagi tutup, kan?”Raisa ikut mengangguk. “Iya, bentar lagi tutup.”“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu.” A
Saat kesadarannya mulai kembali, Raisa refleks mendorong tubuh Alan agar tidak terlalu dekat. “Menjauh… jangan terlalu dekat,” ujarnya sambil menggeser duduknya menjauh.Wajah Alan seketika tampak kecewa. “Maaf…” ucapnya lirih, disertai senyum miris. “Kalau begitu… mau aku lanjutkan ceritanya atau tidak?” tanyanya, sama sekali tidak memaksa bila Raisa tidak ingin mendengarnya lagi.Mungkin lain kali ia akan mencoba lagi. jika Raisa tak mau mendengarnya lagi. apalagi kondisi Raisa sekarang sepertinya sedang kurang sehat..Raisa hanya terdiam. Tatapannya terarah pada Alan dengan intens, menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun ada ketakutan lain yang membayangi—kepalanya sering berdenyut setiap kali ia memaksa diri untuk mengingat sesuatu.Dokter bilang lupa ingatannya tidak permanen. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan yang kembali. Ia sudah mengonsumsi obat sesuai anjuran, berharap ingatannya pulih lebih cepat, tapi anehnya, semakin ia berusaha meng
Alan tiba di depan Toko Raisa. Tanpa ragu, ia melangkah masuk. Hal pertama yang menyambutnya adalah Raisa, berdiri di balik meja kasir, melayani pelanggan dengan senyum yang hangat dan menawan.Senyum itu... sudah lama sekali Alan tidak melihatnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis ikut merekah di bibirnya. Senyum Raisa begitu indah dan murni hingga sekali lagi, Alan merasakan debaran hangat yang tak asing di dadanya.Melihat Raisa tersenyum bahagia sungguh melegakan. Itu adalah bukti bahwa selama masa menghilangnya, wanita itu baik-baik saja. Sebuah rasa syukur yang mendalam menyelimuti hati Alan.Setelah pembeli terakhir keluar, Alan melangkah pelan mendekati Raisa."Hai..." sapa Alan pelan, disertai senyum manis yang tulus.Raisa tersentak kaget. Ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya melihat Alan kini berdiri tepat di hadapannya."Ke-kenapa kau di sini? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Raisa bertubi-tubi, nada suaranya sedikit meninggi. "Jangan-jangan... kau mengun
Sesuai jadwalnya, hari ini Alan sudah ada janji meeting penting dengan para investor. Pagi itu, ia tampak sudah sangat rapi. Kemeja warna biru muda berpadu sempurna dengan jas hitam yang melekat di badan tegapnya, menonjolkan aura kesuksesan. Tak lupa, jam tangan bermerek yang melingkar apik di pergelangan tangannya menambah kesan elegan.Kring. Kring.Tepat sebelum keluar dari kamarnya, tiba-tiba Alan mendengar panggilan masuk di ponselnya. Ia cepat-cepat meraihnya, melihat nama Rain di layar.“Halo, gimana lo udah selesai penyidikan, dapat bukti nggak?” tanya Alan to the point, jantungnya sudah berdebar tak sabar.“Iya, ternyata besok hari setelah kecelakaan itu, ada sepasang suami istri yang datang ke rumah sakit di daerah di mana kecelakaan itu terjadi,” jawab Rain dari ujung telepon. “Mereka membawa seorang wanita yang terlibat kecelakaan. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, wanita itu mengalami hilang ingatan karena benturan keras di kepalanya.”Deg!Jantung Alan berdet







