Share

Godaan

Author: Marssky
last update Last Updated: 2025-09-30 20:57:40

“Hei… kamu nggak apa-apa, kan?” tanya pria yang tanpa sengaja ditabrak Raisa.

Raisa menggeleng pelan. Namun beberapa detik kemudian wajahnya berubah syok saat menyadari kemeja pria itu basah dan kotor terkena tumpahan minumannya. “Maaf… maaf, saya nggak sengaja,” ucapnya panik sambil mengangkat tangan, berusaha membersihkan noda di kemeja itu.

Pria tersebut segera mundur, tak membiarkan Raisa menyentuhnya. “Sudah, nggak apa-apa,” ujarnya tenang, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Raisa.

Tak puas dengan hanya memandang wajah Raisa. Kini pria itu memandang Raisa dengan intens, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu terdengar kekehan pelan dari pria itu

“Sejak kapan anak kecil boleh masuk ke sini?” gumamnya sinis, menatap penampilan Raisa yang benar-benar mirip bocah dengan piyama bergambar Pororo.

Raisa langsung mengerutkan dahi, jelas tak terima disebut anak kecil. “Aku ini bukan anak kecil! Umurku sudah dua puluh enam tahun. Kenapa kamu bisa seenaknya bilang begitu?” protesnya kesal, menatap pria itu dengan sorot tajam.

Pria itu hanya terkekeh lagi, nadanya terdengar mengejek. “Lihat penampilanmu sendiri. Apa aku salah kalau menganggapmu bocah? Mana ada wanita dewasa datang ke klub pakai piyama.”

Raisa sontak menunduk, memperhatikan penampilannya sendiri. Dan benar saja—ia memang hanya mengenakan piyama. Baru saat itu ia tersadar, hampir lupa tujuan sebenarnya ia datang ke sana untuk membuntuti ayah tirinya. Ia harus bergegas mencarinya sekarang.

Tanpa membalas ucapan pria itu, Raisa bergegas pergi, meninggalkannya yang masih sempat memanggil dari belakang.

Ia menerobos kerumunan, matanya awas meneliti setiap sudut hingga akhirnya menangkap sosok ayah tirinya. Pria itu duduk di kursi depan meja bundar, dikelilingi beberapa pria sebaya dan wanita-wanita bayaran yang menempel di sisi masing-masing.

Ayah tirinya tampak riang, memeluk seorang wanita sambil tertawa terbahak. Raisa tidak bisa menangkap obrolan mereka, suara musik yang menghentak membuat segalanya tertelan bising.

Dengan sigap, Raisa meraih ponselnya, lalu menjepret beberapa foto. Senyum kecil terbit di wajahnya saat melihat hasil tangkapan layar. Cukup banyak bukti untuk disimpan.

Ia tetap bertahan, mencari celah aman untuk mengawasi. Pilihannya jatuh pada sebuah meja kosong tak jauh dari sana. Dari balik kerumunan, matanya tak lepas mengintai gerak-gerik ayah tirinya.

Tak lama, pria itu berdiri dan beranjak, tubuhnya sedikit sempoyongan. Wanita tadi segera memapahnya, membawanya meninggalkan meja menuju deretan kamar yang jelas disediakan klub itu untuk para tamu.

Detik sebelum wanita itu sempat membawanya masuk ke kamar, Raisa melangkah cepat dan menghadang. Gerakan mendadaknya membuat wanita itu kaget hingga melepaskan pelukannya dari pria itu.

Dari raut wajahnya, wanita itu terlihat marah. “Siapa kamu? kenapa kamu tiba-tiba menghadang kami? Kamu mau apa?” tanyanya menatap curiga

“Raisa…” gumam Fajar lirih dengan mata menyipit, memperhatikan Raisa dari dekat. “Kamu ngapain di sini?” tanya Fajar yang masih sadar, walau tak sadar sepenuhnya karena mata pria itu terlihat sudah memerah.

“Saya disuruh Ibu buat ngikutin Bapak,” ucap Raisa, kebohongan yang sengaja ia lontarkan hanya untuk melihat ekspresi pria itu.

Benar saja, wajah Fajar langsung menegang. Sorot matanya dipenuhi rasa takut. “Kamu jangan macam-macam, ya! Meskipun istri saya yang nyuruh, jangan pernah bilang hal sebenarnya ke dia. Kalau sampai ketahuan, kamu sendiri yang bakal tanggung akibatnya,” ancamnya dengan suara bergetar tapi tetap menekan.

Raisa menahan tawa, hanya menyeringai tipis, hampir tak terlihat. “Saya mana berani bohong, Pak. Kalau ketahuan, Ibu bisa pecat saya,” ucapnya dengan wajah polos.

Raut wajah Fajar makin pucat. Dengan gugup, ia melangkah lebih dekat, menekan tubuh Raisa hingga punggungnya membentur dinding

Wanita yang bersama Fajar tadi tampak syok. “Mas…” panggil wanita itu, berusaha menyentuh lengan Fajar. Namun, tangannya langsung ditepis kasar.

“Kamu lebih baik pergi sekarang. Uang sudah saya transfer ke bosmu,” ucap Fajar dingin, jelas menyuruh wanita itu pergi.

Wanita itu akhirnya melangkah pergi, meski wajahnya terlihat jengkel karena malam itu ia gagal untuk bersenang-senang.

Kini lorong itu hanya menyisakan Raisa dan ayah tirinya. Tempat itu cukup sepi, sebuah area privat dengan deretan kamar khusus tamu VIP, termasuk Fajar.

“Jadi, apa maumu sekarang, Raisa? Apa dengan mengadukan saya ke istri saya akan bikin kamu puas?” tanya Fajar, suaranya serak, berusaha tegar meski ketakutan masih jelas tergambar di wajahnya.

Raisa tersenyum tipis, lebih menyerupai senyum menggoda daripada senyum polos. Perlahan tangannya menyentuh dada pria itu, sementara tubuhnya condong ke depan. Bibirnya mendekat ke telinga Fajar, lalu berbisik halus, “Bapak mau tahu… apa sebenarnya yang saya inginkan?”

Fajar menelan ludah dengan kasar ketika hembusan napas Raisa menyapu kulitnya. Suara lembut wanita itu membuat bulu kuduknya meremang. “Ya… saya ingin tahu. Saya akan berikan apa pun yang kamu minta, asal jangan sekali-kali mengadu pada istri saya,” ucapnya terbata, menatap Raisa dengan sorot intens.

Raisa kembali menampilkan senyum tipis, matanya sayu. Perlahan tangannya terulur, membelai wajah pria itu. Tubuh Fajar seketika menegang merasakan sentuhan lembutnya. “Kalau yang saya mau itu… Bapak sendiri, gimana?” bisiknya rendah.

Fajar terperangah, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Maksud kamu apa?” suaranya nyaris bergetar.

Raisa menoleh sedikit, tatapannya tajam namun bibirnya tetap melengkung dengan senyum samar.

“Masa Bapak masih pura-pura nggak ngerti juga sama maksud saya?” bisiknya, sebelum tubuhnya kembali condong ke depan. Lalu sekejap kemudian, bibirnya mendarat singkat di pipi Fajar.

Fajar terdiam kaku, matanya membola tak percaya. Jantungnya berdegup kencang, seolah baru saja disambar kilat. “Kamu…” hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya, suaranya serak bercampur kaget.

Raisa kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, tatapannya penuh tantangan. “Bagaimana, Pak? Masih kurang jelas?” ucapnya pelan, dengan nada menggoda

Di sudut bibir Fajar, perlahan terbit seringai kecil, ia kemudian merengkuh pinggang Raisa. “Berani banget kamu ya, tadi katanya takut bohong sama istrinya. Tapi sekarang kamu berani menggoda saya? emang kamu nggak takut, kalau kamu tiba-tiba saya terkam di sini?” ucapnya dengan nada menggoda.

Raisa menggeleng pelan, berusaha tetap tenang menatap pria itu. “Kalau saya takut, nggak mungkin saya ada di sini sekarang,” ucapnya lembut namun penuh tantangan.

“Jadi kamu nggak keberatan kalau saya minta itu sekarang?” Fajar menyeringai licik. Sorot matanya sudah penuh hasrat, tubuhnya tak sabar ingin menyentuh gadis dalam dekapannya.

Sejak awal, ia memang menyimpan ketertarikan pada Raisa. Namun, ia menahan diri, sadar bahwa Raisa hanyalah pembantu di rumahnya. Tapi kini, ketika Raisa sendiri yang justru memancing, bagaimana mungkin ia bisa menolak?

Raisa tak menjawab. Keterdiamannya justru membuat Fajar semakin yakin bahwa ia tidak keberatan. Keyakinan itu mendorongnya bertindak. Tanpa pikir panjang, ia mencondongkan wajah, hendak meraih bibir Raisa.

Namun sebelum sempat, Raisa dengan cepat mengangkat telunjuknya, menahan bibir Fajar. Gerakan kecil, tapi cukup menghentikan niatnya.“Jangan di sini…” bisiknya halus, matanya menatap penuh arti.

Fajar membeku sejenak, lalu sebuah senyum puas tersungging di wajahnya. Ia menangkap maksud tersirat dari ucapan Raisa. Tanpa banyak bicara, ia langsung meraih tubuh Raisa, lalu menggendongnya masuk, menuju kamar VIP di belakangnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pencarian Raisa

    Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Dikhianati

    Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pertengkaran Dua Pria

    “Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Orang Misterius

    “Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Bukti yang Hilang

    Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Di Jambret

    “Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status