Share

Mencari Bukti

Author: Marssky
last update Last Updated: 2025-09-29 19:50:32

“Mau ke mana kamu, Mas?” tanya Ratri saat suaminya terlihat bersiap untuk pergi.

Pria itu sudah rapi dengan setelan jas mahal yang melekat di tubuhnya, juga rambut klimis yang di tata rapi. Terlihat menawan untuk pria seusianya.

Tak menghiraukan pertanyaan istrinya, Fajar segera mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di atas meja. Lalu melangkah keluar dari kamar. Namun, sebelum ia mencapai pintu, sang istri langsung mengejarnya dan mencegatnya di depan pintu.

“Kamu belum jawab pertanyaanku? Mau ke mana kamu malam-malam begini? Ini sudah jam sembilan malam loh mas, tidak mungkin kan kamu mau ke kantor jam segini,” katanya dengan mata mengkilat tajam menatap suaminya.

Dari raut wajahnya Fajar terlihat sangat kesal. Ia tak suka istrinya selalu menanyakan hal yang sama padanya setiap malam. Ia bahkan sampai bosan mendengarnya berulang kali. Sebagai seorang pekerja kantoran ia butuh refreshing tapi istrinya selalu mengaturnya, dan marah jika ia berkumpul dengan teman-temannya.

Kalau saja bukan karena harta istrinya, ia sudah pergi sejak lama. Namun kepemilikan perusahaan masih di tangan Ratri. Selama itu belum berpindah, ia harus bertahan tak peduli betapa menyiksanya. Ia menolak hidup miskin, apalagi jadi gelandangan.

“Bukan urusanmu!” hardiknya “Minggir!”

Tanpa ragu, Fajar mendorong bahu istrinya dengan kasar. Tubuh Ratri terhuyung hingga membentur kusen pintu. Fajar tak menoleh lagi dan langsung menuruni tangga menuju lantai satu.

“Mas…!” Ratri berteriak histeris, lalu berlari mengejar suaminya hingga ke ruang tamu.

Begitu berhasil mendekat, ia langsung menarik lengan Fajar dengan kasar, membuat tubuh pria itu hampir terhuyung ke belakang.

“Kamu apa-apaan sih? Mau bikin aku jatuh?” teriak Fajar marah, sambil menyentak tangan istrinya yang masih mencengkeram pergelangan tangannya.

“Nggak! Kamu nggak boleh pergi…” Ratri menggeleng keras, suaranya pecah. “Aku tahu kamu mau ke mana! Kamu pasti mau ke klub lagi, kan? Terus nyewa jalang di sana!” tuduhnya dengan mata berkaca-kaca.

Fajar terperanjat. Matanya membelalak tak percaya mendengar tuduhan itu. “Kamu nuduh aku?” suaranya meninggi, penuh amarah bercampur sakit hati. “Kenapa sih, setiap aku keluar malam atau pulang telat, kamu selalu nuduh aku punya wanita lain? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, ya? Padahal selama ini aku jujur sama kamu. Kapan sih aku pernah bohong?”

Wajah Fajar berubah, bukan hanya marah  tapi juga menampilkan ekspresi kecewa yang menusuk, seolah dialah korban dalam pertengkaran itu.

“Siapa yang nggak curiga, Mas? Setiap malam kamu pulang dalam keadaan mabuk! Terus parfum kamu bau parfum cewek!” Ratri berteriak histeris, wajahnya memerah karena emosi. “Mana mungkin aku bisa berpikir jernih?! Aku nggak tahu kamu di luar ngapain aja, sampai-sampai bau parfum orang lain begitu menyengat di tubuh kamu!”

Prang!

Fajar membanting sebuah vas besar yang terletak di samping sofa, hingga pecah berantakan dan menimbulkan bunyi keras.

Raisa, yang sedang asyik membaca buku di kamar, sontak terlonjak kaget. “Itu suara apa, ya?” gumamnya sambil menaruh bukunya sembarangan di atas kasur, lalu mengambil ponselnya yang ia letakkan samping kepala Gendis yang sedang tidur.

Rasa penasaran mendorongnya keluar kamar. Ia berjalan perlahan menuju ruang tamu. Sayup-sayup terdengar suara keributan dari sana. Begitu sampai di dekat ruang tengah, Raisa buru-buru bersembunyi di balik tembok yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu. Dari celah itu, ia bisa melihat ibu dan ayah tirinya sedang beradu argumen hebat.

“Di sana banyak orang, Ratri. Tentunya juga banyak cewek. Makanya parfum mereka nempel di bajuku!” tekan Fajar, nadanya terdengar jengkel karena sudah capek meladeni istrinya.

“Kalau begitu, aku ikut! Aku mau lihat kamu ketemu sama siapa saja,” potong Ratri, matanya berkilat. Ia sudah bulat memutuskan untuk ikut, apa pun alasannya.

Ia tidak akan membiarkan suaminya digoda wanita lain di luar sana, apalagi wanita murahan yang hanya haus uang. Lagipula, uang yang dihambur-hamburkan Fajar adalah miliknya. Tidak mungkin ia biarkan suaminya menghamburkan hartanya untuk membayar jalang murahan.

Fajar menghela napas kasar, menahan amarah. “Kamu pikir ini pertemuan formal yang harus bawa istri masing-masing? Nggak, Ratri. Teman-temanku nggak ada yang bawa istrinya. Jadi tolong ngerti. Aku cuma pengen ketemu mereka, itu aja. Stop curiga! Aku mau pergi sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar rumah.

“Mas! Mas, tunggu dulu!” teriak Ratri, suaranya pecah oleh tangis.

Namun Fajar tak menoleh. Dengan langkah tegas, ia keluar meninggalkan rumah, membiarkan istrinya meraung dan menangis sejadi-jadinya.

Melihat ayah tirinya sudah meninggalkan rumah, Raisa buru-buru keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mengendap lalu keluar melalui pintu belakang. Ia ingin mengikuti ke mana ayah tirinya pergi di jam segini.

Sekaligus, ia ingin mencari bukti, apakah benar pria itu sering menyewa perempuan bayaran untuk diajak tidur, atau hanya tuduhan ibunya semata.

Begitu tiba di depan, Raisa melihat mobil ayah tirinya sudah melaju menjauh meninggalkan rumah. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju gerbang. Kebetulan, seorang tukang ojek melintas. Raisa segera menghentikannya dan naik tergesa.

“Ikuti mobil yang di depan, ya, Pak!” pintanya dengan suara tegas bercampur gugup.

Tukang ojek itu menoleh sekilas, sedikit heran, tapi tetap mengangguk. “Siap, Mbak.” Ia langsung memacu motornya, mengikuti mobil hitam yang melaju beberapa puluh meter di depan.

Raisa merapatkan tubuhnya, matanya tak lepas dari sorot lampu belakang mobil ayah tirinya. Jantungnya berdetak cepat. Jalanan malam itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa kendaraan yang sesekali melintas.

“Pak, jangan terlalu dekat. Nanti dia curiga,” bisik Raisa, nadanya penuh kewaspadaan.

Bapak ojek mengangguk lagi, menurunkan sedikit kecepatan, menjaga jarak. Lampu jalan menerangi sebagian jalan, sementara sebagian lainnya gelap, menciptakan suasana yang semakin menegangkan.

Mobil itu terus melaju, berbelok ke arah jalan kota yang lebih ramai. Raisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan cemas.

Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu neon mencolok. Dari jauh, Raisa bisa membaca papan namanya, sebuah klub malam. Musik berdentum samar, terlihat jelas beberapa perempuan dengan pakaian minim keluar masuk tempat itu.

Raisa memegang erat tasnya, matanya membelalak. Nafasnya tercekat. “Jadi… benar…” bisiknya, hampir tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya.

Raisa segera turun dari motor lalu membayar ongkos ojek. “Terima kasih, ya, Pak,” ucapnya singkat. Ia masih berdiri di depan, matanya tak lepas dari mobil ayah tirinya, menunggu pria itu keluar.

Tak lama kemudian, Fajar keluar dari mobil, ia melangkah masuk ke dalam gedung bercahaya neon itu. Raisa mengikutinya dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Begitu masuk, gelombang suara musik menghantam telinganya. Bau alkohol yang menyengat bercampur dengan asap rokok menusuk hidung. Lampu warna-warni berputar liar di atas kerumunan orang yang menari di lantai dansa.

Raisa berusaha menjaga pandangan agar tetap terarah pada sosok ayah tirinya. Namun, kerumunan terlalu padat. Tubuhnya terdesak, didorong ke kanan dan kiri, hingga akhirnya ia kehilangan jejak.

Panik, Raisa mulai mendorong satu per satu orang yang menghalangi jalannya, berusaha menembus kerumunan.

Hingga akhirnya—

Bruk!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pencarian Raisa

    Lima menit kemudian, Ratri masuk ke dalam ruangan itu. Matanya langsung menangkap sosok Raisa yang terkapar di lantai, tak sadarkan diri. Senyum miring muncul di wajah Ratri. Ia berjongkok di hadapan Raisa dan berbisik pelan, “Inilah akibatnya kalau kamu berani berurusan dengan saya.”Ia sudah mengenal Raisa sejak lama, bahkan sebelum gadis itu keluar dari rumahnya dan memilih menjadi sekretaris suaminya. Ratri bukanlah wanita bodoh yang akan diam saja saat seseorang terang-terangan mendekati suaminya.Namun, ia sempat membiarkan hal itu terjadi. Ratri ingin melihat sejauh mana keberanian Raisa untuk menyingkirkannya. Dan ternyata, ia hampir saja kecolongan. Ratri baru mengetahui bahwa gadis itu bekerja sama dengan mantan pengacara keluarganya setelah secara tak sengaja melihat pria itu di café yang sedang menemui Gendis.Kesempatan itu tidak disia-siakan Ratri. Ia memanfaatkan rasa iri Gendis untuk menyingkirkan Raisa, dan ternyata rencananya berjalan mulus. Gendis begitu mudah dipen

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Dikhianati

    Sementara itu, mobil yang membawa Raisa berhenti di depan sebuah gedung tua yang letaknya sangat jauh dari perkotaan. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan besar dan rimbun, menyerupai hutan yang sunyi.Bersamaan dengan berhentinya mobil itu, kelopak mata Raisa perlahan terbuka, wanita itu mulai sadar kembali. Hal pertama yang ia lihat ada seorang wanita yang sedang duduk di sampingnya, memakai topi juga sebuah masker. Raisa tak mengenalinya sama sekali dan ia baru sadar kalau tangannya kini terikat ke belakang.“Siapa kau? Kenapa membawaku ke sini?” tanya Raisa memandang tajam wanita dengan tubuh menggeliat berusaha melepas ikatan tangannya.Kekehan pelan terdengar keluar dari mulut wanita itu. ia beberbalik menghadap Raisa dengan senyum miring tersungging di bibirnya. Lebih tepatnya senyum yang terkesan mengejek menurut Raisa.“Percuma kau berusaha melepaskan diri karena kau tetap tak akan bisa kabur dari sini,” suara itu terdengar dalam. Raisa merasa suaranya familiar, tapi ia tak ing

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Pertengkaran Dua Pria

    “Mau ke mana lagi, Al?” tanya Haryo saat melihat putranya bergegas turun dari lantai dua. Padahal, setahunya baru lima belas menit lalu Alan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya setelah berbicara dengannya.Alan menghentikan langkahnya dan berbalik menatap ayahnya. “Saya harus ke apartemen Raisa sekarang, Yah. Saya udah janji sama dia buat beli HP baru.”Kening Haryo berkerut samar. “Bukannya kamu baru-baru ini beliin dia HP? Memangnya HP yang sebelumnya ke mana?”“Dijambret, Yah.”Haryo tampak terkejut. “Tapi dia nggak apa-apa, kan? Ada yang luka nggak?” tanyanya khawatir dengan keadaan Raisa.Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap Raisa seperti anaknya sendiri. Jadi apa pun yang terjadi pada gadis itu, ia merasa ikut bertanggung jawab.Alan menggeleng. “Untungnya nggak ada yang luka.”“Syukurlah…” Haryo menghela napas lega. “Ya sudah, kamu ke sana sekarang. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan langsung hubungi Ayah, ya. Raisa itu tanggung jawab Ayah juga, bukan cuma kamu.”Ala

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Orang Misterius

    “Kamu tenang dulu,” ucap Alan sambil berdiri dan memegang kedua bahu Raisa, berusaha menenangkannya. Ia kemudian menuntun wanita itu untuk duduk kembali.Raisa memegang kepalanya sambil menunduk. Rasa takut kini benar-benar menguasainya. Bagaimana jika orang itu melihat dan menyebarkan video tersebut? Bukan hanya Fajar yang akan terseret, tetapi juga dirinya. Meskipun wajahnya tidak terlihat di rekaman itu, pihak berwajib pasti akan menyelidikinya, apalagi jika Fajar tertangkap dan membocorkan semuanya.Padahal Raisa tidak pernah berniat menyebarkan video itu. Ia hanya ingin mengancam Fajar. Tapi sekarang, jika video itu benar-benar tersebar, apa yang harus ia lakukan?Alan menatap Raisa dengan wajah cemas. “Kamu yakin nggak ada orang lain yang tahu soal video itu?” tanyanya pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meski pikirannya kalut.Raisa menggeleng lemah. “Nggak ada, Mas. Cuma aku sama dia yang tahu. Tapi... ponselku hilang. Di situ ada salinannya,” suaranya bergetar,

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Bukti yang Hilang

    Setelah mengantar Raisa ke klinik, Alan langsung membawanya pulang ke apartemennya. Wanita itu benar-benar membutuhkan banyak istirahat. Kini Raisa tertidur di sampingnya, dengan dengkuran halus yang terdengar lembut.Alan menoleh dan terkekeh pelan. Wajah Raisa tampak begitu polos saat terlelap. Melihatnya membuat Alan merasa iba, teringat pada penderitaan yang telah wanita itu alami selama lebih dari dua puluh tahun hidupnya.Perlahan, tangan Alan terulur membelai rambut Raisa dengan lembut. “Aku janji akan selalu ada di sisimu. Aku akan memperjuangkan hakmu, meski harus mempertaruhkan nyawaku,” gumamnya lirih sambil terus menatap wajah Raisa.“Engh…” lenguhan kecil keluar dari bibir mungil wanita itu. Raisa berganti posisi menjadi menyamping, membuat Alan segera menarik tangannya dengan cepat.Alan tersenyum samar, lalu menghela napas pelan. Ia memperhatikan wajah Raisa yang kini tertutup sebagian oleh helaian rambutnya. Perlahan, Alan merapikan rambut itu agar tidak menutupi wajah

  • Sentuhan Panas Ayah Tiri   Di Jambret

    “Udah mau pulang?” tanya Bima pada Raisa yang tengah sibuk merapikan mejanya yang cukup berantakan.Raisa mengangguk sambil tetap membereskan tumpukan berkas di depannya. “Iya nih, udah jam lima juga, kan,” jawabnya santai. “Kamu kenapa belum pulang? Bukannya teman-teman yang lain udah pulang dari tadi?”Bima tersenyum. “Masih ada kerjaan yang belum selesai tadi.”Raisa mengangguk-angguk, menunjukkan rasa mengerti.Rekan-rekan kerja mereka sebenarnya sudah pulang sejak pukul empat sore. Raisa termasuk yang terbiasa pulang lebih telat dari yang lain bukan karena lembur, tapi karena ia biasanya menunggu Fajar pulang lebih dulu. Namun, hari ini berbeda. Ia justru bisa pulang lebih cepat karena sejak kembali dari makan siang, Fajar tak terlihat lagi di ruangannya.Ia pun tak tahu ke mana pria itu pergi. Setelah pertengkaran mereka siang tadi, Fajar sama sekali belum menghubunginya, dan Raisa juga memilih untuk tidak menghubunginya lebih dulu. Toh, hari ini tidak ada pekerjaan mendesak atau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status