LOGIN“Mau ke mana kamu, Mas?” tanya Ratri saat suaminya terlihat bersiap untuk pergi.
Pria itu sudah rapi dengan setelan jas mahal yang melekat di tubuhnya, juga rambut klimis yang di tata rapi. Terlihat menawan untuk pria seusianya.
Tak menghiraukan pertanyaan istrinya, Fajar segera mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di atas meja. Lalu melangkah keluar dari kamar. Namun, sebelum ia mencapai pintu, sang istri langsung mengejarnya dan mencegatnya di depan pintu.
“Kamu belum jawab pertanyaanku? Mau ke mana kamu malam-malam begini? Ini sudah jam sembilan malam loh mas, tidak mungkin kan kamu mau ke kantor jam segini,” katanya dengan mata mengkilat tajam menatap suaminya.
Dari raut wajahnya Fajar terlihat sangat kesal. Ia tak suka istrinya selalu menanyakan hal yang sama padanya setiap malam. Ia bahkan sampai bosan mendengarnya berulang kali. Sebagai seorang pekerja kantoran ia butuh refreshing tapi istrinya selalu mengaturnya, dan marah jika ia berkumpul dengan teman-temannya.
Kalau saja bukan karena harta istrinya, ia sudah pergi sejak lama. Namun kepemilikan perusahaan masih di tangan Ratri. Selama itu belum berpindah, ia harus bertahan tak peduli betapa menyiksanya. Ia menolak hidup miskin, apalagi jadi gelandangan.
“Bukan urusanmu!” hardiknya “Minggir!”
Tanpa ragu, Fajar mendorong bahu istrinya dengan kasar. Tubuh Ratri terhuyung hingga membentur kusen pintu. Fajar tak menoleh lagi dan langsung menuruni tangga menuju lantai satu.
“Mas…!” Ratri berteriak histeris, lalu berlari mengejar suaminya hingga ke ruang tamu.
Begitu berhasil mendekat, ia langsung menarik lengan Fajar dengan kasar, membuat tubuh pria itu hampir terhuyung ke belakang.
“Kamu apa-apaan sih? Mau bikin aku jatuh?” teriak Fajar marah, sambil menyentak tangan istrinya yang masih mencengkeram pergelangan tangannya.
“Nggak! Kamu nggak boleh pergi…” Ratri menggeleng keras, suaranya pecah. “Aku tahu kamu mau ke mana! Kamu pasti mau ke klub lagi, kan? Terus nyewa jalang di sana!” tuduhnya dengan mata berkaca-kaca.
Fajar terperanjat. Matanya membelalak tak percaya mendengar tuduhan itu. “Kamu nuduh aku?” suaranya meninggi, penuh amarah bercampur sakit hati. “Kenapa sih, setiap aku keluar malam atau pulang telat, kamu selalu nuduh aku punya wanita lain? Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, ya? Padahal selama ini aku jujur sama kamu. Kapan sih aku pernah bohong?”
Wajah Fajar berubah, bukan hanya marah tapi juga menampilkan ekspresi kecewa yang menusuk, seolah dialah korban dalam pertengkaran itu.
“Siapa yang nggak curiga, Mas? Setiap malam kamu pulang dalam keadaan mabuk! Terus parfum kamu bau parfum cewek!” Ratri berteriak histeris, wajahnya memerah karena emosi. “Mana mungkin aku bisa berpikir jernih?! Aku nggak tahu kamu di luar ngapain aja, sampai-sampai bau parfum orang lain begitu menyengat di tubuh kamu!”
Prang!
Fajar membanting sebuah vas besar yang terletak di samping sofa, hingga pecah berantakan dan menimbulkan bunyi keras.Raisa, yang sedang asyik membaca buku di kamar, sontak terlonjak kaget. “Itu suara apa, ya?” gumamnya sambil menaruh bukunya sembarangan di atas kasur, lalu mengambil ponselnya yang ia letakkan samping kepala Gendis yang sedang tidur.
Rasa penasaran mendorongnya keluar kamar. Ia berjalan perlahan menuju ruang tamu. Sayup-sayup terdengar suara keributan dari sana. Begitu sampai di dekat ruang tengah, Raisa buru-buru bersembunyi di balik tembok yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu. Dari celah itu, ia bisa melihat ibu dan ayah tirinya sedang beradu argumen hebat.
“Di sana banyak orang, Ratri. Tentunya juga banyak cewek. Makanya parfum mereka nempel di bajuku!” tekan Fajar, nadanya terdengar jengkel karena sudah capek meladeni istrinya.
“Kalau begitu, aku ikut! Aku mau lihat kamu ketemu sama siapa saja,” potong Ratri, matanya berkilat. Ia sudah bulat memutuskan untuk ikut, apa pun alasannya.
Ia tidak akan membiarkan suaminya digoda wanita lain di luar sana, apalagi wanita murahan yang hanya haus uang. Lagipula, uang yang dihambur-hamburkan Fajar adalah miliknya. Tidak mungkin ia biarkan suaminya menghamburkan hartanya untuk membayar jalang murahan.
Fajar menghela napas kasar, menahan amarah. “Kamu pikir ini pertemuan formal yang harus bawa istri masing-masing? Nggak, Ratri. Teman-temanku nggak ada yang bawa istrinya. Jadi tolong ngerti. Aku cuma pengen ketemu mereka, itu aja. Stop curiga! Aku mau pergi sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar rumah.
“Mas! Mas, tunggu dulu!” teriak Ratri, suaranya pecah oleh tangis.
Namun Fajar tak menoleh. Dengan langkah tegas, ia keluar meninggalkan rumah, membiarkan istrinya meraung dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat ayah tirinya sudah meninggalkan rumah, Raisa buru-buru keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mengendap lalu keluar melalui pintu belakang. Ia ingin mengikuti ke mana ayah tirinya pergi di jam segini.
Sekaligus, ia ingin mencari bukti, apakah benar pria itu sering menyewa perempuan bayaran untuk diajak tidur, atau hanya tuduhan ibunya semata.
Begitu tiba di depan, Raisa melihat mobil ayah tirinya sudah melaju menjauh meninggalkan rumah. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju gerbang. Kebetulan, seorang tukang ojek melintas. Raisa segera menghentikannya dan naik tergesa.
“Ikuti mobil yang di depan, ya, Pak!” pintanya dengan suara tegas bercampur gugup.
Tukang ojek itu menoleh sekilas, sedikit heran, tapi tetap mengangguk. “Siap, Mbak.” Ia langsung memacu motornya, mengikuti mobil hitam yang melaju beberapa puluh meter di depan.
Raisa merapatkan tubuhnya, matanya tak lepas dari sorot lampu belakang mobil ayah tirinya. Jantungnya berdetak cepat. Jalanan malam itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa kendaraan yang sesekali melintas.
“Pak, jangan terlalu dekat. Nanti dia curiga,” bisik Raisa, nadanya penuh kewaspadaan.
Bapak ojek mengangguk lagi, menurunkan sedikit kecepatan, menjaga jarak. Lampu jalan menerangi sebagian jalan, sementara sebagian lainnya gelap, menciptakan suasana yang semakin menegangkan.
Mobil itu terus melaju, berbelok ke arah jalan kota yang lebih ramai. Raisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan cemas.
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu neon mencolok. Dari jauh, Raisa bisa membaca papan namanya, sebuah klub malam. Musik berdentum samar, terlihat jelas beberapa perempuan dengan pakaian minim keluar masuk tempat itu.
Raisa memegang erat tasnya, matanya membelalak. Nafasnya tercekat. “Jadi… benar…” bisiknya, hampir tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya.
Raisa segera turun dari motor lalu membayar ongkos ojek. “Terima kasih, ya, Pak,” ucapnya singkat. Ia masih berdiri di depan, matanya tak lepas dari mobil ayah tirinya, menunggu pria itu keluar.
Tak lama kemudian, Fajar keluar dari mobil, ia melangkah masuk ke dalam gedung bercahaya neon itu. Raisa mengikutinya dari belakang, menjaga jarak agar tidak ketahuan.
Begitu masuk, gelombang suara musik menghantam telinganya. Bau alkohol yang menyengat bercampur dengan asap rokok menusuk hidung. Lampu warna-warni berputar liar di atas kerumunan orang yang menari di lantai dansa.
Raisa berusaha menjaga pandangan agar tetap terarah pada sosok ayah tirinya. Namun, kerumunan terlalu padat. Tubuhnya terdesak, didorong ke kanan dan kiri, hingga akhirnya ia kehilangan jejak.
Panik, Raisa mulai mendorong satu per satu orang yang menghalangi jalannya, berusaha menembus kerumunan.
Hingga akhirnya—
Bruk!
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Suami? Calon suami? Sejak kapan?!" cecar Raisa dengan suara tertahan namun penuh penekanan. "Kamu sadar nggak sih, kamu baru aja bikin kekacauan di depan pelanggan aku?"Alan bukannya merasa bersalah, ia malah bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke meja kerja Raisa dengan santai. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya, Sa. Daripada pria itu terus-terusan mendekatimu tanpa tahu batasan.""Namaku Nesya di sini! Berhenti panggil aku Raisa di depan orang-orang!" bentak Raisa lagi. "Dan soal suami itu... itu bohong besar, kan? Kamu cuma mau bikin skenario supaya orang-orang kasihan sama kamu dan nganggep aku ini istri yang durhaka karena amnesia?"Alan melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka hingga Raisa terpaksa mundur sampai punggungnya membentur pintu. Alan menatapnya dalam, suaranya kini merendah, terdengar lebih serius."Aku nggak bohong soal perasaan aku," bisik Alan pelan. "Kalau kamu nggak suka aku bilang begitu ke pria tadi, itu karena aku ngg
Sudah tiga hari ini Alan terus-terusan muncul di toko. Dia rajin sekali menceritakan potongan-potongan masa lalu mereka, tapi di kepala Raisa, semuanya masih gelap. Kalaupun ada yang terlintas, rasanya cuma seperti bayangan buram yang lewat sekilas. Raisa sudah berusaha keras untuk mengingat, tapi tetap saja buntu.Malahan, yang menghantuinya justru mimpi buruk yang itu-itu saja. Suara amarah seorang wanita dan caci maki tajam selalu terngiang setiap malam, membuat kepalanya terasa mau pecah setiap kali bangun tidur.Pagi ini, Alan kembali lagi. Bahkan sebelum toko dibuka, pria itu sudah berdiri di depan pintu. Sekarang Alan sedang menunggu di ruangan Raisa, sementara Raisa sendiri masih sibuk melayani pelanggan yang kebetulan cukup ramai hari ini.Saat sedang merapikan beberapa barang, seorang pria masuk dan menyapa.“Hai…”“Eh, hai!” Raisa tampak terkejut, tapi sedetik kemudian senyumnya merekah. “Ke mana aja? Kok baru kelihatan lagi?” tanya Raisa dengan nada yang sangat akrab.“Bar
Alan langsung menoleh. Wajahnya seketika berubah gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu. Ia buru-buru memutus panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu melangkah cepat menghampiri Raisa seolah tak ada yang terjadi.“Nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil memasang senyum tipis yang terlalu dipaksakan.Raisa mengerutkan dahinya. Tatapannya penuh curiga. Ia jelas tak percaya begitu saja. Tadi ia mendengar dengan jelas namanya disebut. Pasti ada masalah, dan besar kemungkinan masalah itu ada hubungannya dengan dirinya. Tapi dengan ingatan yang belum pulih sepenuhnya, Raisa memilih menahan diri. Bertanya terlalu jauh justru bisa memperkeruh keadaan.Ia akhirnya hanya mengangguk pelan. “Oh… gitu. Umm… kamu masih mau di sini? Atau mau pulang?”Alan melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya aku pulang aja deh. Lagian toko kamu juga sebentar lagi tutup, kan?”Raisa ikut mengangguk. “Iya, bentar lagi tutup.”“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu.” A
Saat kesadarannya mulai kembali, Raisa refleks mendorong tubuh Alan agar tidak terlalu dekat. “Menjauh… jangan terlalu dekat,” ujarnya sambil menggeser duduknya menjauh.Wajah Alan seketika tampak kecewa. “Maaf…” ucapnya lirih, disertai senyum miris. “Kalau begitu… mau aku lanjutkan ceritanya atau tidak?” tanyanya, sama sekali tidak memaksa bila Raisa tidak ingin mendengarnya lagi.Mungkin lain kali ia akan mencoba lagi. jika Raisa tak mau mendengarnya lagi. apalagi kondisi Raisa sekarang sepertinya sedang kurang sehat..Raisa hanya terdiam. Tatapannya terarah pada Alan dengan intens, menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun ada ketakutan lain yang membayangi—kepalanya sering berdenyut setiap kali ia memaksa diri untuk mengingat sesuatu.Dokter bilang lupa ingatannya tidak permanen. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan yang kembali. Ia sudah mengonsumsi obat sesuai anjuran, berharap ingatannya pulih lebih cepat, tapi anehnya, semakin ia berusaha meng
Alan tiba di depan Toko Raisa. Tanpa ragu, ia melangkah masuk. Hal pertama yang menyambutnya adalah Raisa, berdiri di balik meja kasir, melayani pelanggan dengan senyum yang hangat dan menawan.Senyum itu... sudah lama sekali Alan tidak melihatnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis ikut merekah di bibirnya. Senyum Raisa begitu indah dan murni hingga sekali lagi, Alan merasakan debaran hangat yang tak asing di dadanya.Melihat Raisa tersenyum bahagia sungguh melegakan. Itu adalah bukti bahwa selama masa menghilangnya, wanita itu baik-baik saja. Sebuah rasa syukur yang mendalam menyelimuti hati Alan.Setelah pembeli terakhir keluar, Alan melangkah pelan mendekati Raisa."Hai..." sapa Alan pelan, disertai senyum manis yang tulus.Raisa tersentak kaget. Ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya melihat Alan kini berdiri tepat di hadapannya."Ke-kenapa kau di sini? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Raisa bertubi-tubi, nada suaranya sedikit meninggi. "Jangan-jangan... kau mengun
Sesuai jadwalnya, hari ini Alan sudah ada janji meeting penting dengan para investor. Pagi itu, ia tampak sudah sangat rapi. Kemeja warna biru muda berpadu sempurna dengan jas hitam yang melekat di badan tegapnya, menonjolkan aura kesuksesan. Tak lupa, jam tangan bermerek yang melingkar apik di pergelangan tangannya menambah kesan elegan.Kring. Kring.Tepat sebelum keluar dari kamarnya, tiba-tiba Alan mendengar panggilan masuk di ponselnya. Ia cepat-cepat meraihnya, melihat nama Rain di layar.“Halo, gimana lo udah selesai penyidikan, dapat bukti nggak?” tanya Alan to the point, jantungnya sudah berdebar tak sabar.“Iya, ternyata besok hari setelah kecelakaan itu, ada sepasang suami istri yang datang ke rumah sakit di daerah di mana kecelakaan itu terjadi,” jawab Rain dari ujung telepon. “Mereka membawa seorang wanita yang terlibat kecelakaan. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, wanita itu mengalami hilang ingatan karena benturan keras di kepalanya.”Deg!Jantung Alan berdet







