Mag-log inMeysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati.
"Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ...." "Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala. "Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap." Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlarang di novelmu. Itu bagus! Saya sudah siapkan akomodasi terbaik. Ada dua kamar terpisah, tentu saja. Anggap saja ini adalah tuntutan profesional yang harus kalian jalankan. Besok pagi, Wildan akan menjemputmu, dan kalian berangkat." Keputusan itu mutlak. Meysa menoleh ke Wildan, mencari secercah penolakan, tetapi Wildan hanya menatapnya dengan pandangan tenang, seolah berkata, 'Terimalah, ini adalah aturan mainnya.' "Jadi, sudah beres ya. Sampai jumpa di bulan depan, saat Season 2 kalian siap untuk diedit. Go, Meysa and Wildan!" Pak Adam mengakhiri pertemuan itu sembari mengingibaskan kedua tangannya seolah mengusir mereka berdua dari ruangan. Meysa keluar dari ruangan CEO dengan kepala berdenyut. Ia baru saja diikat dalam sebuah kontrak kolaborasi paksa di satu atap dengan mentor arogan yang berstatus sebagai suami orang. "Aku tidak percaya ini. Ini gila, Wildan," bisik Meysa saat mereka kembali berjalan menuju lift. Wildan tersenyum sinis yang samar. "Selamat datang di dunia bisnis, Meysa.” *** Sore itu, kepala Meysa terasa dipenuhi angka-angka besar nominal keuntungan uang yang beberapa jam lalu digambarkan oleh Fiona–direktur di PenaKata, rencana franchise untuk Kehangatan Rudal Paman Mantanku, dan janji kerja sama ‘seumur hidup’ dengan Wildan. Entah sudah berapa kali ia harus menghela napas, berusaha menekan sisi idealisnya demi menjadi penulis yang realistis. Ia sudah setuju, ia akan mengejar uang! Meysa melangkah keluar dari lobi gedung dengan langkah gontai. Udara sore Jakarta yang lembap menerpa wajahnya. Ia mengambil napas lega, berharap bisa segera memanggil taksi dan melupakan tekanan seharian. Tiba-tiba, sebuah suara yang ia kenal dan dibencinya kini memanggilnya dari samping pilar besar yang menaungi pintu keluar. “Meysa. Ternyata kamu di sini.” Meysa tercekat. Jantungnya langsung berdegup sangat kencang. Di sana berdiri Dimas. Mantan kekasihnya yang obsesif. Ia mengenakan jaket kulit yang biasa dipakai, dengan tatapan mata yang tajam dan sedikit mengancam. “Dimas? Kenapa kamu di sini?” Meysa menyuarakan ketidaknyamanannya, berusaha menjaga jarak. “Tentu saja mencarimu, Sayang. Kenapa? Kamu menghindariku? Kamu sudah sukses sekarang, ya? Sampai-sampai mengabaikan teleponku.” Dimas melangkah mendekat, auranya yang posesif membuat Meysa refleks mundur. “Aku sudah bilang, jangan hubungi aku lagi. Hubungan kita sudah selesai, Dimas. Aku sibuk bekerja. Tolong, pulanglah.” Dimas tersinggung. Wajahnya mengeras, dan ia melangkah semakin dekat, meraih pergelangan tangan Meysa dengan kasar dan mencengkeramnya. “Bekerja? Dengan siapa? Editor barumu itu? Kenapa kamu berpakaian rapi begini, Meysa Sayang? Kamu sudah melupakan semua yang pernah kita miliki, hanya demi pria lain dan uangmu itu?” Rasa sakit dan panik menjalar di lengan Meysa. “Lepaskan aku, Dimas! Ini menyakitkan!” Tiba-tiba, bayangan tinggi dan tegap muncul dari belakang. Suara berat dan dingin menusuk ketegangan seperti pisau es. “Lepaskan tanganmu, sekarang! Dimas menoleh kaget. Di sana, Wildan berdiri, baru saja keluar dari gedung PenaKata. Ekspresinya datar, tetapi matanya yang tajam menatap Dimas dengan dingin dan mengancam. Wildan tidak perlu berteriak, otoritasnya terasa nyata. Dimas tertegun sejenak. Ia melepaskan pergelangan tangan Meysa. Wildan melangkah mendekat, Meysa segera berlindung di belakang punggungnya yang tegap. Wildan memancarkan aura yang jauh lebih berbahaya dari Dimas, bukan karena emosi, melainkan karena kontrol mutlaknya. Dimas menyeringai getir, tatapannya beralih ke Wildan, lalu ke Meysa yang gemetar di belakangnya. “Aku pastikan akan mengingatmu, Editornya. Ingat, kalian belum selesai denganku!” Dimas akhirnya pergi dengan langkah cepat, menghilang di keramaian trotoar, tetapi tatapan mengancamnya pada Wildan dan Meysa terasa seperti janji buruk. Wildan tetap berdiri tegak, membiarkan punggungnya menjadi perisai bagi Meysa. Setelah dipastikan Dimas sudah jauh, ia menoleh sedikit ke belakang, hanya untuk memastikan Meysa baik-baik saja, sebelum kembali memandang ke arah jalan raya, seolah-olah mengusir bayangan Dimas sepenuhnya. Setelah yakin Dimas sudah benar-benar pergi, Wildan berbalik menatap Meysa yang kini berwajah pucat karena ketakutan. “Siapa dia, Mey?” BersambungMeysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus
Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara
Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej
[Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na
“Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k
“Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a







