LOGINBeberapa siswa mulai memperhatikan. Ada yang berhenti makan, ada yang pura-pura baca buku sambil menguping.
Tapi Miko tidak peduli.Ia hanya fokus pada gadis di depannya gadis yang ia cintai sejak kelas 10.“Din… aku minta maaf.” Miko melunak, menunduk sedikit.“Kalau aku salah, kalau aku bikin kamu sakit hati… aku minta maaf. Sebanyak-banyaknya.”Dinda menatapnya dingin. “Maaf tidak menghapus fakta bahwa kamu boncengin cewek lain. Dan itu gak Cuma sekali Mik!!’’“Dia cuma tetangga aku Din! Rumahnya searah! Kamu tau banget itu!”Dinda mencibir. “Iya, iya. Pembelaan klasik.”Miko mengusap wajahnya kasar. Jantungnya berdegup terlalu cepat, seolah takut kehilangan Dinda untuk selamanya.“Kalau kamu gak suka aku bonceng dia, oke aku stop. Sumpah. Aku gak bakal lakuin lagi.”“Kenapa gak dari dulu?” Dinda menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu selalu nunggu sampe aku marah dulu baru kaya Gini, tapi nanti ujungnya kamu lakuin lagi!’’“Din…” sFeby menelan ludah. “Tuh cewek… duduk sebangku sama Miko.”Dinda masih diam.Tapi bahunya tegang.Jarinya yang memegang sedotan bergetar sedikit.Feby melanjutkan, suaranya lebih pelan tapi jelas berbahaya.“Dan… gue dengar dari anak-anak tadi pagi… Miko yang anterin cewek itu ke ruang guru.”Dinda membeku.“Banyak yang lihat mereka deket banget,” tambah Feby, semakin menjerumuskan suasana.Keheningan turun ke meja kecil itu. Kantin tetap bising, tapi semua suara seolah meredup di telinga Dinda.Ia menatap jusnya, tapi pikirannya tidak di sana. Rahangnya mengeras. Nafasnya naik turun perlahan, menahan sesuatu dalam dirinya.Satu kalimat akhirnya keluar pelan, dingin, dan menusuk.“Miko nganterin dia?” Feby mengangguk cepat, takut sekaligus penasaran.Dinda menggigit bibir bawahnya, matanya meredup dengan emosi yang sulit ditebak cemburu, marah, atau merasa tersaingi.Ia diam. Beberapa detik. Beberapa detik yang panjang. Feby menela
Tubuh Kayla terpental sedikit, dan ia terjatuh ke lantai dengan kedua telapak tangan menahan tubuhnya. Kaget, malu, dan sakit bercampur jadi satu. Ranselnya tergelincir ke depan, dan rambutnya menutupi sebahagian wajahnya.“Aduh…” gumamnya pelan.Saat ia hendak bangkit sendiri, sebuah tangan terulur ke arahnya. Tangan besar, tegap, dengan jari-jari panjang yang menunjukkan pemiliknya sering beraktivitas fisik. Sentuhan udara dari tangan itu membuat Kayla mendongak.Begitu melihat wajah pemiliknya, matanya langsung melebar dan senyumnya muncul begitu cepat, begitu tulus.“Miko!” serunya tak bisa menahan rasa senang itu.Wajah Miko yang semula datar berubah menjadi sedikit terkejut, kemudian melunak. Suaranya keluar dengan nada yang tidak menyembunyikan keheranan.“Lo ngapain kesini?” tanyanya.Kayla hampir ingin tertawa saking leganya bertemu orang yang ia kenal. Di kota besar seperti Jakarta, di sekolah sebesar ini, bertemu Miko terasa sepe
Hari pertama masuk sekolah.Kayla Anastasia hampir tidak bisa tidur semalaman karena terlalu bersemangat. Begitu alarm berbunyi pukul lima pagi, ia langsung bangun, merapikan kosan kecilnya yang hanya berisi tempat tidur single, lemari plastik, dan meja lipat sederhana. Udara pagi masih lembap ketika Kayla keluar sambil menuntun sepeda tuanya sepeda yang ia bawa jauh dari kampung halaman sebagai satu-satunya alat transportasi yang bisa ia andalkan.“Bismillah,” gumamnya pelan sebelum mengayuh pedal.Perjalanannya menuju sekolah memakan waktu sekitar lima belas menit, melewati ruko-ruko yang baru buka, beberapa pedagang sarapan, dan jalan besar yang mulai ramai oleh mobil para pekerja. Meski sesekali ia harus menepi karena motor dan mobil yang saling berebut jalan, Kayla tetap tersenyum. Hari ini adalah permulaan baru sekolah unggulan, beasiswa penuh, dan kesempatan mengubah hidup.Ketika gerbang sekolah mulai terlihat dari kejauhan, Kayla melambatkan kayuhan sepeda. Matanya membesa
“Assalamualaikum! Mamaaa, anaknya pulang nih!” Suara Miko menggema memenuhi ruang tamu begitu pintu utama dibuka. “Waalaikumsalam! Kenapa sih harus teriak begitu? Heran deh ah!” Marsha yang sedang memotong buah di meja makan langsung menoleh dan mengomel, walau tatapannya tetap lembut. “Hehehe, maaf Ma.” Miko nyengir, menurunkan tas sekolahnya ke sofa, lalu menggaruk tengkuk tanpa rasa bersalah. “Buruan mandi sana, abis itu makan. Mama masak sop ayam kesukaan kamu.” ucap Marsha sambil berjalan menghampiri anak semata wayangnya. “Papa belum pulang?” tanya Miko sambil melepas sepatu dan melemparkan tubuhnya ke sofa. “Besok,” jawab Marsha singkat. Miko langsung memutar kepala. “Loh, kok besok? Katanya hari ini?” Marsha menghela napas panjang. Nampak jelas wajah lelah seorang istri yang sudah terlalu sering mendengar kata “besok” dari suaminya. “Ada urusan mendadak di sana.” “Apa lagi sih, Ma?” Miko bangkit duduk. “Papa tuh terlalu sibuk di luar.” “Miko.” Nada Marsha mengeras.
“Udah, ayo gue anter. Lo mau kemana? Gue baik, gue bukan preman. Gue masih sekolah, nih seragam gue.” Miko sampai membuka jaketnya sambil memaksa gadis itu melihat logo SMA Gaharu di dada kirinya. “Kalau gue macem-macem, lo bisa laporin ke polisi!” Dia bicara cepat, panjang, dan terlihat sangat ingin membuktikan dirinya bukan penjahat. Gadis itu terpaku beberapa detik. Matanya meneliti seragam Miko, lalu beralih ke wajahnya. “Kamu anak Gaharu?” tanya Kayla sedikit terkejut. “Nah!” Miko mengangkat tangan, lega. “Lo tahu sekolah gue?” Gadis itu mengangguk pelan, meski ekspresinya masih waspada. “Ya udah ayo gue bantu. Gue cuma mau tanggung jawab doang elah!” kata Miko setengah mengeluh, tapi tetap menunduk mengambil kardus gadis itu. ‘’Tapi—“ ‘’Gak usah tapi-tapian. Masih untung lo ketemunya sama malaikat kaya gue, sama kaya yang lo bilang, Jakarta itu keras. Daripada lo nanti ketemu preman beneran, mending gue anter, ayo buruan!’’ Akhirnya, setelah tarik ulur bati
Pulang sekolah, halaman parkiran sudah mulai lengang. Beberapa murid bergegas pulang, beberapa nongkrong sambil memesan es teh di kantin kecil dekat gerbang. Di antara deretan motor yang berjejer, Miko baru saja mengeluarkan helm dari dalam jok ketika dua sahabat karibnya, Rizky dan Ryan mendekat sambil mengunyah permen karet. Rizky menyikut lengan Miko dengan gaya sok akrab. “Gimana tadi pagi? Cancel lagi putusnya?” Miko menghembuskan napas, memasang wajah bangga. “Iyalah. Sampai mati juga gak bakal gue biarin kita putus!” jawabnya mantap sambil mengetuk dadanya sendiri. Ryan langsung tertawa pecah. “Hahahaha! Lo gak capek apa, Mik? Putus nyambung mulu!” Rizky ikut menimpali sambil menyandarkan diri ke motor Miko. “Gue hitung-hitung, dari SMP sampai sekarang… kayaknya udah lewat seratus kali kalian putus-nyambung. Sumpah! Seratus, Mik! Harusnya kalian bikin kartu stamp gitu, setiap sepuluh kali putus dapat voucher baikan!” “Asli! Drama kalian tuh lebih panjang dari e







