LOGINSuara decit ban itu membuat jantung Amara serasa meloncat keluar. Tubuhnya terhuyung ke depan sebelum tertahan oleh sabuk pengaman yang baru saja ia sadari sudah terpasang di dada. Napasnya memburu, dingin menjalar dari tulang belakang sampai tengkuk.
Sopir yang mengemudi tampak menoleh melalui kaca spion dengan wajah pucat pasi. “Maaf, Nona… ada—” Belum sempat sopir itu menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara ketukan keras di kaca jendela bagian kanan. Tok! Tok! Tok! Amara tersentak. Kepalanya otomatis menoleh, dan matanya langsung membelalak. Seorang pria bertubuh kekar, berpakaian hitam-hitam, berdiri tepat di luar jendela mobil. Sorot matanya tajam, wajahnya tanpa ekspresi, seolah bukan manusia biasa. Sopir menurunkan kaca sedikit dengan tangan gemetar. “A—ada apa, Pak?” Pria besar itu memandang ke dalam mobil, tepat ke arah Amara, membuat gadis itu menunduk reflek. “Perintah Tuan Alex,” katanya datar. “Ikuti kami. Kami harus memastikan rutenya aman.” Sopir itu tampak lega—dan semakin takut. “Baik, Pak.” Pria kekar itu melangkah mundur, kemudian dua mobil hitam lain muncul dari arah belakang, bergerak maju membentuk formasi mengawal. Seperti rombongan elite, bukan sekadar pengantar seorang gadis miskin yang dijual keluarganya. Amara tertegun. Hatinya semakin mengecil. Kenapa aku dijaga seperti tahanan? Kenapa semua ini terasa lebih menakutkan dari yang tadi di rumahnya? Mobil kembali melaju. Jalanan menjadi sunyi, hanya suara mesin yang terdengar. Namun pikiran Amara jauh lebih bising. “Kenapa… harus seperti ini?” bisik Amara lirih, hampir tidak terdengar. Sopir melirik melalui kaca spion. “Tuan Alex orang penting, Nona. Dia tidak suka ada hal kecil pun yang keluar dari kendalinya.” Kata-kata itu membuat tubuh Amara kian kaku. Jantungnya mengetuk-ngetuk tulang rusuk. Setelah perjalanan beberapa menit, rombongan mobil berbelok ke sebuah kawasan perumahan elit yang dijaga satpam berseragam rapi. Gerbang otomatis terbuka, memperlihatkan barisan rumah megah yang hanya pernah Amara lihat dari televisi atau poster iklan perumahan mewah. Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan arsitektur modern minimalis, halaman luas, kaca-kaca tinggi, dan pintu kayu besar yang terlihat terlalu mahal untuk disentuh oleh gadis sederhana seperti Amara. Pintu mobil dibuka dengan sopan oleh seorang petugas. “Silakan turun, Nona.” Amara melangkah turun dengan lutut gemetar. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, tetapi tidak sedikit pun menenangkan. Seseorang muncul di depan pintu rumah. Wanita anggun, berusia sekitar akhir 30-an, dengan dress mahal dan wajah cantik yang sedang tidak menyimpan senyum. Matanya menatap tajam ke arah Amara. Pakai hijab, wajahnya cantik sekali. Tatapannya menusuk Amara dari atas sampai bawah. Sopir membungkuk hormat. “Nona Amara sudah tiba, Nyonya.” Amara tersentak. Nyonya? Berarti ini— Wajah wanita itu mengeras. “Jadi ini dia? Gadis… itu?” Amara merasakan udara di paru-parunya hilang. Wanita itu melangkah turun, mendekati Amara hingga jarak mereka hanya sejengkal. Dari dekat, tatapan itu lebih menusuk—campuran sakit hati, cemburu, dan amarah yang Amara tidak tahu sumbernya. “Jadi kamu… yang katanya disiapkan untuk tinggal di sini?” suara wanita itu rendah, tetapi penuh tekanan. Amara tak sanggup bicara. Bibirnya kaku. Wanita itu menatapnya lebih lama, seolah ingin menelan habis seluruh keberadaan Amara. Lalu ia menghela napas panjang. “Alex belum memberitahuku apa pun tentang kamu…” Suaranya bergetar samar. “Tapi aku bukan orang bodoh.” Wanita itu mundur selangkah, menahan air mata dengan paksa. “Masuklah. Sebelum aku berubah pikiran.” Pintu rumah terbuka lebar. Seolah itu adalah gerbang menuju takdir baru yang tidak pernah Amara pinta. Dengan langkah kecil, tubuh gemetar, Amara melangkah masuk. Begitu pintu tertutup “duk!”, dunia di luar terasa hilang. Dan di dalam rumah megah itu, Amara sadar satu hal: Hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Baik, aku akan melanjutkan adegannya secara dramatis, emosional, dan tetap aman, tanpa membuat unsur eksploitasi detail yang melanggar aturan. Fokus pada konflik, ketegangan, perasaan, dan dinamika rumah tangga yang rumit. --- Rumah megah itu terasa seperti membeku ketika suara langkah sepatu kulit menjejak lantai marmer. Tuan Alex datang. Amara yang masih berdiri canggung di ruang tamu sontak merapatkan kedua tangannya. Sementara di sisi lain ruangan, Anisa, istri sah Alex, duduk dengan punggung tegang, wajah tanpa ekspresi… namun matanya menyimpan badai. Alex berhenti tepat di tengah mereka berdua. “Anisa,” ucap Alex pelan, namun suaranya terdengar penuh kehati-hatian. Seolah ia berbicara pada luka lama. Anisa mengangkat dagu, matanya berusaha tetap tenang. “Jadi ini gadis yang kamu bawa diam-diam ke rumah?” Alex menarik napas panjang. “Aku ingin menjelaskan.” “Silakan.” Suara Anisa halus, tapi dingin seperti besi. Alex menoleh ke Amara sejenak, sebelum kembali fokus pada istrinya. “Bapaknya berhutang besar. Situasinya… tidak bisa diselesaikan dengan cara biasa. Aku membeli kontraknya—” “Kontrak?” Anisa tertawa kecil, pahit. “Jadi dia… barang?” Amara menunduk dalam-dalam, tubuhnya makin kaku. Sebagian dari dirinya ingin menghilang dari tempat itu, tetapi ia tidak punya hak apa-apa. Alex melanjutkan, lebih tegas, “Aku tidak menyakitinya, dan aku tidak melakukan apa pun tanpa perjanjian. Dia hanya… pelunasan hutang, Nis.” “Dan perjanjian itu berisi apa?” tanya Anisa pelan, matanya memanas namun tetap terjaga. Alex terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku akan menikahinya secara kontrak. Tanpa hubungan apa pun yang tidak dia inginkan.” Amara tersentak kecil. Anisa mengerutkan kening, menatap lekat-lekat Alex. “Kamu serius?” “Ya.” Alex mengangguk. “Ini hanya administratif. Aku butuh ini untuk menyelesaikan urusan dengan keluarganya. Tidak lebih.” Anisa menggigit bibir, menahan perih yang mengalir ke dadanya. “Aku ini apa bagimu, Alex? Apa menikahiku belum cukup membuatmu bertanggung jawab untuk bicara dulu?” Alex menutup mata sesaat. “Karena aku takut kamu terluka.” “Tapi nyatanya aku tetap terluka,” bisik Anisa, nyaris tidak terdengar. Hening panjang jatuh. Lalu Anisa bangkit, menghampiri Amara dengan langkah tenang. Amara refleks mundur setengah langkah, takut perempuan itu marah. Tetapi Anisa hanya menatapnya. “Berapa pun sakitnya, aku tidak akan menyalahkanmu,” ucap Anisa lirih. “Kamu juga korban dari keluarga yang menjerumuskanmu.” Amara terkejut, matanya melebar. Alex tampak lega tetapi tetap gelisah. Anisa menatap Alex kembali. “Apa dia sudah menandatangani perjanjian itu?” “Belum,” jawab Alex. “Asisten akan mengurusnya hari ini.” Seakan dipanggil, pintu samping terbuka dan Rafa, asisten pribadi Alex, muncul membawa map tebal berisi dokumen. “Ini perjanjian resmi, Nona Amara.” Rafa meletakkan map di meja. “Bukan kontrak kepemilikan, tapi perjanjian pernikahan sementara. Ada batas waktunya.” Amara menelan ludah, rasa pahit menjalari lidahnya. “Batas waktunya… berapa lama?” Alex menjawab langsung. “Enam bulan.” Anisa menutup mata sejenak, menahan perasaan yang berputar dalam hatinya. Ini bukan keputusan kecil, namun ia menahan diri untuk tidak menjadi perempuan yang melampiaskan kemarahan pada orang lemah. Amara melihat semua pihak satu per satu, lalu melihat dokumen itu. Begitu banyak halaman. Begitu banyak tulisan. Begitu banyak kehidupan yang mendadak menjadi bukan miliknya lagi. Tangannya gemetar ketika menyentuh pena. “Jika saya tidak menandatangani ini… bapak saya tetap harus membayar 150 juta itu, kan?” bisik Amara, suaranya pecah. “Ya.” Alex tidak memberi bumbu lain, hanya fakta. Amara menutup mata. Sesak. Tapi tidak ada pilihan lain. Dengan tarikan napas panjang, ia menuliskan namanya: A M A R A Satu demi satu halaman ditandatangani. Saat tanda tangan terakhir selesai, Rafa mengambil kembali map itu. “Mulai hari ini, status Anda berada di bawah perlindungan Tuan Alex. Anda akan ditempatkan di kamar terpisah. Tidak ada paksaan mengenai hubungan pribadi. Semua tertulis jelas.” Anisa hanya bisa duduk kembali dengan mata berkaca-kaca. Alex berdiri diam, ekspresinya tak terbaca. Sementara Amara… Gadis itu memeluk kedua lengannya sendiri, tubuhnya bergetar. Hari ini, dalam satu sapuan pena, hidupnya berubah selamanya. ---Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang
Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan
PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny
Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya
Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex
Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan







