Share

Sentuhan Panas Suami Cacat
Sentuhan Panas Suami Cacat
Author: UmiPutri

Ban 1

Author: UmiPutri
last update Last Updated: 2025-11-18 16:16:52

“Mau tidak mau harus menikah dengan saya, orang tua kamu sudah menjualmu pada saya.” Suara bariton menggema di sebuah ruang tamu bercat putih bersih. Seorang pria berusia matang duduk di sebuah sofa dengan tatapan setajam elang.

Seorang gadis berjilbab berusia sembilan belas tahun awal mendadak memucat. “ Apa maksud perkataan Tuan? Saya dikirim orang tua saya ke sini untuk bekerja bukan untuk—” Tawa lelaki itu terdengar membuat kalimat si gadis mendadak terhenti. Bahkan tubuh yang duduk di sofa berhadapan dengan si lelaki sangat gemetar.

“Apa perkataan saya kurang jelas?” Wajah si pria mengeras, tatapan tidak pernah melunak.

“Tuan, itu ….” Kembali si gadis menjadi gagu padahal biasanya dia lancar bicara.

“Amara.”

Lelaki itu memanggil namanya hingga sang gadis menegang tiba-tiba semakin takut dihadapkan dengan sosok tegas dan berkuasa.

“Bapak kamu sudah banyak berhutang pada saya dan kamu adalah pelunas hutang!

Dada Amira kembang kempis menahan banyak perasaan campur aduk. Tangan kurus meremas gamis kumal yang dikenakan. Gadis tersebut mulai memberanikan membuka mulut “Saya tidak tahu menahu masalah hutang Bapak saya. Tetapi bapak hanya mengatakan kalau saya akan bekerja di rumah Tuan.”

Si pria itu tersenyum sinis sambil menatap gadis yang ada di depannya. “Tapi kenyataannya kamu dijual sama bapak kamu untuk menikah dengan saya. Dan semuanya sudah tertera dalam surat perjanjian.”

Kepala Amara menggeleng, bak disambar petir pada kenyataan di mana orang tua yang dipercaya bagaimana mungkin menjualnya untuk dijadikan istri seseorang yang sama sekali tidak dikenal? Amara kembali berbicara dengan menahan tubuh yang gemetaran. “Tidak! Saya tidak mau menikah dengan Tuan.”

Si pria menaikkan satu alis dengan tatapan mengejek, gadis kecil yang terlihat akan remuk jika tangan berototnya mencengkram tubuh itu. “Kamu berani menolak keinginan saya? Silahkan kamu perg, tetapi kembalikan dulu uang yang sudah saya berikan sama bapak kamu!” Suara pria itu meninggi.

“Berapa uang yang Tuan berikan sama bapak saya? Saya akan menggantinya segera!” Balas sang gadis mencoba bernegosiasi.

Si pria itu kembali tertawa terbahak-bahak, karena tidak mungkin gadis itu mengembalikan uang yang sudah diberikan sama bapaknya. “150 juta.”

Mata Gadis itu hampir saja melompat dari cangkangnya. Saat mendengar uang yang diberikan pria itu.

“ 150 juta,” gumam gadis itu membeo.

“Saya kasih waktu satu hari! Karena bapak kamu juga mengambil uang dari saya satu hari.”

“Bagaimana kamu sanggup?” tanya pria itu lagi.

Lolos juga air mata Si Gadis itu, kesedihan yang mendalam dia rasakan saat ini. Dirinya dijebak oleh keluarga sendiri. Kedua orang tuanya tega menjual seorang anak perempuan demi melunasi hutang-hutang mereka.

Beberapa jam sebelum Amara datang ke sebuah bangunan yang sudah ditentukan sebelumnya. Masih terngiang jelas dalam ingatan Amara saat sang ibu menyuruh Amara ikut dengan sang bapak. Mereka hanya beralasan Amara akan bekerja di kediaman seseorang yang berpengaruh di kota untuk membantu meringankan beban keuangan keluarga. Wanita yang Amara hormati dan sayangi itu bahkan menangis tersedu-sedu sambil memeluk Amara. Sampai hati Amara tak kuasa berpisah dengan keluarga yang dicintai. Namun, apa yang terjadi? Kenyataannya lain, dirinya malah dijual sama sebagai pelunas hutang, belum lagi nominalnya sangat fantastis.

‘Sebenarnya untuk apa uang sebanyak itu?’ Amara merengek di dalam hati. Tangan mencengkeram gamis di bagian dada.

“Bagaimana?” Pria kaya raya itu kembali bertanya sama Amara, tatapannya sangat tajam. Tanpa simpati meski melihat Amara sudah menangis sesegukan. “Jangan membuat waktu saya terbuang percuma! Masih banyak pekerjaan yang lebih penting daripada kamu!” Suara pria itu menggelegar memenuhi ruang kerjanya.

Amara menegakkan kepala, matanya menatap kosong ke arah si pria itu. Tatapan penuh kekalahan dan kepasrahan tanpa bisa melawan. Siapa Amara sampai bisa melawan sosok di hadapannya? Dalam mimpi pun tidak akan berani.

“Baik, saya setuju,” jawab Amara lirih, tetapi cukup terdengar.

Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan.” Bagus, jadilah anak yang patuh! Sopir akan membawamu pergi! Jangan coba-coba melarikan diri!”

Amara membisu, melawan pun percuma, posisinya tidak menguntungkan untuk berdebat. Pria yang membeli Amara bernama Alex Wiranata Kusuma. Seorang pimpinan dari beberapa perusahaan cukup ternama. Alex berusia 30 tahun, dia menggantikan posisi ayahnya yang sudah pensiun. Dalam keadaan terguncang, Amara bahkan tidak ingat bagaimana dirinya menyeret kaki untuk keluar ruangan menuju teras dengan tangan menenteng tas.

“Bawa gadis ini ke rumah yang sudah saya siapkan, tolong jangan kasih tahu dulu nyonya, biar nanti saya sendiri yang berbicara sama Nyonya.” Alex berbicara dengan seorang sopir lelaki.

Ketika Alexe menoleh kembali ke arah Amara, lelaki itu menatap jijik pada tas dan barang bawaan ditenteng Amara. “Buang semua barang itu! Kau hanya membawa badan. Semuanya sudah tersedia.”

Miris, baju Amara dianggap sampah oleh orang kaya. Hati Amara perih bukan main. Dia memejamkan mata sambil menahan rasa semakin menyayat hati.

“Tuan, tapi ini—” Kalimat Amara terhenti, tubuhnya membeku. Melihat sorot mata tajam Alex seakan menguliti. “Baik Tuan.”

Jawaban keluar dari mulut yang tidak sesuai dengan kata hati. Gadis itu terlalu takut untuk melawan. Bahkan tidak punya hak untuk diri sendiri. Amara benar-benar menjadi boneka yang kini menjadi milik Tuan Alex, gadis patuh yang langsung masuk ke dalam mobil dan duduk tanpa berkomentar ketika sang Tuan memberikan titah. Pikiran terlalu sibuk sendiri sampai tidak tahu harus marah atau menangis. Perasaan campur aduk itu mendadak hendak melompat keluar.

Suara decit ban terdengar nyaring mobil yang dinaiki Amara mengerem mendadak membuat gadis itu terkantuk ke arah depan dan seketika lamunan buyar. “Ada apa ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 8

    Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 7.

    Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 6.

    PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 5.

    Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 4.

    Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 3

    Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status